Harianmomentum.com--Dalam bidang jurnalistik, kode etik sangat
diperlukan karena adanya tuntutan yang sangat asasi, yaitu kebebasan pers.
Tetapi, wartawan kerap cenderung lupa atau sengaja melupakan
hak orang lain sehingga dapat merugikan profesinya.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua PWI Lampung Bidang pembelaan
wartawan, Juniardi, saat menjadi pembicara, tentang kode etik Jurnalistik, dalam
sosialisasi OJK Lampung kepada insan pers di Lampung, Kamis (7/12).
Menurut Juniardi, kode etik merupakan panduan etika kerja
sekaligus panduan moral yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi.
Sebagian orang menyamakan kode etik dengan kode kehormatan, deklarasi hak-hak
dan kewajiban, prinsip-prinsip atau standar profesi.
"Padahal, kode etik dibuat untuk melindungi organisasi
dan anggota seprofesinya dari tekanan atau hal-hal yang merugikan," kata
Juniardi.
Wartawan, kata Juniardi wajib memiliki dan menaati kode etik
jurnalistik. Kode etik jurnalistik membatasi wartawan tentang apa yang baik dan
tidak baik diberitakan.
"Kode etik jurnalistik sebagai acuan dasar yang berisi
pedoman etika dalam pelaksanaan tugas dan perilaku jurnalistik. Karena itu,
sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh asosiasi profesi wartawan
bersangkutan," ujarnya.
Sanksi ini, katanya lebih bersifat moral. Wartawan yang
melanggarnya akan disebut tidak bermoral, dikucilkan dari kehidupan media pers
atau diskors.
Agar dapat menghindari pelanggaran kode etik, misalnya nama
korban asusila perlu dilindungi identitas korban pelecehan atau perundungan seksual
agar mereka tidak mengalami trauma berkepanjangan.
Namun dalam kenyataannya masih saja banyak
pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jurnalis seperti pada
berita yang masih ditemukan berita yang menulis identitas korban seksual, bahkan
lengkap dengan usia maupun alamatnya.
Pada berita tersebut, wartawan telah melanggar kode etik
jurnalistik pada pasal 5. Pada pasal 5 dikatakan, Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Disini identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah
seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Dengan menyebutkan identitas korban asusila tersebut, wartawan
secara tidak langsung telah ikut menyebarluaskan informasi yang merusak nama
baik korban dan secara otomatis juga telah merusak masa depan korban asusila
itu sendiri.
Juniardi menjelaskan, ada dua model faktor pelanggaran kode
etik, yaitu kesengajaan dan tidak sengaja.
Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor
ketidaksengajaan, termasuk dalam pelanggaran kategori 2. Artinya masih
dimungkinkan adanya ruang yang bersifat toleransi.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna.
Sehebat-hebatnya satu media pers, bukan tidak mungkin suatu saat secara tidak
sengaja atau tidak sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Dalam kasus seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan
kekeliruan atau kesalahannya, pers yang bersangkutan segera memperbaiki diri
dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik dengan benar, bahkan kalau perlu dengan
kesatria meminta maaf.
Memang, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah
tersandung masalah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Tetapi, pers yang setelah
melakukan pelanggaran itu segera menyadarinya dan tidak mengulangi lagi serta
kalau perlu meminta maaf kepada khalayak.
Sebaliknya, jika pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang
disengaja dan termasuk dalam pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang
berat. Sebagian pelanggarnya bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang
telah dibuatnya setelah diberitahu atau diperingatkan tentang kekeliruannya.
Berbagai macam argumentasi yang tidak relevan sering mereka kemukakan.
"Biasa yang sengaja setelah mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar dengan tepaksa mau mengikuti aturan yang berlaku," katanya. (rls)
Editor: Harian Momentum