MOMENTUM, Bandarlampung-- Mengubah data dan fakta kependudukan tanpa prosedur yang sah, dapat dijerat hukum. Tindakan tersebut termasuk kategori pemalsuan dokumen.
Hal itu diungkapkan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Bandar Lampung (FH-UBL), Benny Karya Limantara kepada harianmomentum.com, Selasa (27-5-25).
Terlebih, jika tujuan pemalsuan data tersebut demi memenuhi syarat seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN). “Nah, jika hal itu benar terbukti, maka yang bersangkutan dapat dijerat pidana. Ancaman hukumannya enam hingga delapan tahun penjara ,” kata Benny.
Penjelasan Benny tersebut merujuk pada pernyataan Eka Afriana, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandarlampung. Ia mengakui sengaja merubah data dan fakta penting mengenai status dan peristiwa kelahirannya. Fakta yang seharusnya lahir 25 April 1970. Diubah menjadi 25 April 1973.
Baca Juga: Kembaran Walikota Diduga Palsukan Dokumen Sebelum Diangkat PNS
“Waktu kelahiran tidak bisa dirubah. Karena itu bersifat fakta mengikat. Kecuali nama, itu lazim terjadi. Tetapi, itu pun harus melalui persidangan di pengadilan,” jelasnya.
Berbeda dengan alamat, status perkawinan, agama dan pekerjaan yang tercantum dalam KTP. Karena sifatnya bisa berubah kapan pun.
“Contoh, seseorang yang awalnya berstatus kawin, kemudian bercerai. Nah, status KTP-nya bisa berubah menjadi duda atau janda,” paparnya.
Sehingga, pemalsuan identitas adalah tindakan memalsukan atau menyalahgunakan identitas seseorang, baik secara fisik maupun digital, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau merugikan pihak lain.
“Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, tindakan ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Dr Benny, Selasa (27-5-2025).
Pertama, papar dia, dasar hukum pemalsuan identitas. Pemalsuan identitas dapat dijerat dengan beberapa pasal, tergantung pada bentuk dan media yang digunakan.
"Seperti halnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 263 KUHP, barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal dengan maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
“Kemudian, Pasal 264 KUHP, pemalsuan surat yang dilakukan terhadap akta otentik, misalnya akta notaris, akan dikenakan pidana penjara paling lama delapan tahun," paparnya.
Dosen Fakultas Hukum itu menjelaskan, kasus merubah data demi mencapai keinginan tertentu juga masuk dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 35 UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016.
Ia juga menjelaskan contoh pemalsuan dokumen yang berkesesuaian dengan pasal di atas. Menurutnya, pelaku pemalsuan identitas bisa dikenai hukuman pidana penjara, denda, dan pertanggungjawaban perdata jika mengakibatkan kerugian materiil.
Tak hanya itu, alasan irasional tidak ada dalam hukum pidana. Artinya, meskipun alasan yang dikemukakan terkesan irasional seperti karena sering kesurupan atau gangguan mistik, selama perbuatan tersebut dilakukan secara sadar, sistematis, dan dengan tujuan tertentu (misalnya agar diterima sebagai ASN karena memenuhi batas usia), maka secara hukum unsur kesengajaan dan niat untuk memperoleh keuntungan sudah terpenuhi.
Apalagi, jika dokumen yang sudah diubah tersebut dipakai untuk keperluan seleksi ASN, maka hal ini juga berdampak pada keabsahan status kepegawaian yang bersangkutan, karena proses pengangkatan dilakukan berdasarkan data yang tidak benar.
“Ini berpotensi berujung pada sanksi administratif berupa pembatalan kelulusan atau pengangkatan ASN.
Padahal, dalam negara hukum, setiap dokumen negara memuat kebenaran administratif yang dijaga otentisitasnya. Karena itu, perubahan atas data-data penting seperti tahun lahir harus dilakukan secara sah melalui proses hukum dan pembuktian yang jelas. Jika dilakukan secara manipulatif, maka konsekuensinya bukan hanya moral dan sosial, tapi juga konsekuensi hukum pidana.
"Jelas ketika data yang dipalsukan digunakan untuk mendapatkan keuntungan baik yang membantu dan melakukan jelas sudah masuk unsur pidana. Ketika seorang mendaftar ASN lalu merubah tahun lahirnya agar mencukupi atau agar usia pensiunnya lebih lama dan sebagainya itu jelas akan merugikan pihak pemerintah," tuturnya.
Contoh, lanjut dia, jika seseorang terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan identitas, maka pemerintah bisa membatalkan SK pengangkatan ASN tersebut dan memberhentikan yang bersangkutan.
"Kemungkinan nanti akan melibatkan pengadilan tata usaha negara (PTUN) juga terkait pembatalannya," ujarnya.
Pernyataan Benny tersebut merespons viralnya kasus dugaan pemalsuan identitas yang dilakukan Kepala Disdikbud Kota Bandarlampung, Eka Afriana.
Saudari kembar Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana itu dengan sengaja mengubah data pribadi, khususnya tahun lahir dalam dokumen kependudukan seperti KTP dan akta kelahiran.(**)
Editor: Agus Setyawan