Oleh : Airlangga *)
TAHAPAN penyelenggaraan Pilkada 2018 masih menghadapi kendala, sebagai
ekses internal seperti
masa bakti Komisioner
yang akan habis dan eksternalseperti penolakan terhadap Coklit, keterlambatan pembayaran honor
petugas dan data pemilih
bermasalah, yang mengindikasikan selain
akibat ketidaksiapan
penyelenggara, namun juga disebabkan
karena pencairan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) akibat banyak faktor
seperti jumlah NPHD yang tidak sesuai ajuan ataupun indikasi politis yaitu
adanya hubungan kurang harmonis antara kepala daerah dengan KPUD/Panwaslu,
sehingga rentan menghambat
pelaksanaan Pilkada, seperti
pelaksanaan Coklit.
Sementara masih
terjadinya permasalahan data pemilih, lebih disebabkan karena kesalahan
administrasi dan persoalan e-KTP.
Permasalahan
selama Pencocokan dan Penelitian (Coklit)
Daftar Pemilih diperkirakan masih akan
terjadi di daerah lain. Hal ini disebabkan selain karena adanya
ketidaksinkronan data antara Disdukcapil dengan data DP4 yang menyulitkan
proses Coklit yang saat ini dilakukan KPU. Masalah ini juga dikarenakan
beberapa hal seperti banyaknya pemilih yang sudah memiliki hak pilihnya tidak
memiliki e-KTP, pendatang baru, serta masyarakat terutama pelajar yang baru
berusia 17 tahun belum terdaftar. Selain
itu, masalah ini juga dikarenakan lokasi warga yang berada di pedalaman/daerah
terpencil/pulau terluar/lokasi elit, sehingga menyulitkan KPU untuk melakukan
Coklit Daftar Pemilih, termasuk adanya pemilih yang dipengaruhi ideologi
tertentu, sehingga tidak mempercayai mekanisme demokrasi.
Berbagai
permasalahan yang dihadapi penyelenggara Pilkada di beberapa daerah pada tahapan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) Daftar Pemilih diperkirakan masih akan terjadi di
daerah lain, disebabkan karena adanya ketidaksinkronan antara data pada
Disdukcapil dengan data DP4 akan menyulitkan proses Coklit yang saat ini
dilakukan KPU. Sementara masalah sarana dan prasarana yang dinilai kurang
memadai perlu menjadi perhatian agar kinerja penyelenggara Pilkada menjadi
lebih optimal, termasuk pengawasan terhadap pelanggaran ASN yang sering
dianggap ikut serta dalam dukungan terhadap salah satu Paslon maupun
keselamatan penyelenggara akibat aksi kekerasan yang dilakukan OTK juga perlu
mendapat perhatian yang cukup serius.
Sementara itu, adanya anggota Panwas yang diduga menggunakan Narkoba dan
mengalami psikopat akan dapat menurunkan kredibilitas mereka, sekaligus
menunjukkan pola dan proses rekrutmen unsur penyelenggara Pilkada di daerah
masih perlu direvitalisasi kembali.
Penemuan kecurangan dari Panwaslu di beberapa daerah dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) Daftar Pemilih yang dilakukan KPU, menujukkan
kurang profesionalnya kinerja penyelenggara di daerah dalam melakukan kerjanya,
kurangnya sosialisasi yang dilakukan KPU ke bawahannya (PPL, PPK dan PPDP), sehingga banyak terjadi
kesalahan dan kecurangan, sekaligus juga tidak tertutup kemungkinan adanya
masalah anggaran di internal KPU daerah. Permasalahan ini kemungkinan terjadi
di daerah lain, terutama daerah-daerah yang jauh dengan KPU
Provinsi/kabupaten/Kota.
Berbagai
kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah partai pendukung Paslon maupun Paslon peserta Pilkada, tampaknya sudah gencar dilakukan
baik dalam bentuk kegiatan internal partai maupun mobilisasi massa, kendati
belum memasuki tahapan kampanye. Kegiatan pertemuan dan silaturahmi antar
kader Parpol bersama Timses Paslon Pilkada, selain menunjukkan ambisi politik yang
tinggi dan menjaga soliditas koalisi yang sudah dibentuk, juga untuk menarik simpati dan dukungan dari
calon pemilih agar memenangkan Paslon yang
diusung Parpol tertentu. Sementara, maraknya keterlibatan ASN, selain disebabkan masih lemahnya
pengawasan internal Pemda maupun Bawaslu dan belum adanya sanksi hukum yang
tegas untuk memberikan efek jera, juga karena masih rendahnya kesadaran ASN dalam
mematuhi kode etik dan perundang-undangan yang berlaku.
Kegiatan
sejumlah calon peserta Pilkada pada masa belum
memasuki tahapan kampanye merupakan bentuk kampanye terselubung yang melanggar
UU Pilkada serta PKPU No.1 Tahun 2017 tentang Pilkada 2018. Adanya “kampanye
terselubung” tersebut karena Bapaslon membutuhkannya untuk menebar janji-janji
kampanye, mencari simpati dan dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya dalam
Pilkada tersebut, serta upaya mereka untuk menurunkan citra dan pamor lawan
politiknya. Kondisi ini menunjukkan ambisi politik calon peserta Pilkada untuk
menang dalam Pilkada, serta tidak tegasnya Panwaslu dalam melakukan pengawasan
langsung ke tengah masyarakat.
Pentahapan kampanye belum dimulai, namun sejumlah bakal calon pimpinan
daerah sering memanfaatkan momentum-momentum tertentu untuk melakukan kegiatan
pertemuan dengan sejumlah massa pendukungnya yang di dalamnya terisi dengan
pesan-pesan terselubung untuk memilih Paslon tertentu yang diiringi dengan akan
merealisasikan janji-janji jika terpilih sebagai kepala daerah, termasuk
menetralisir isu-isu yang kurang menguntungkan Paslon tertentu yang dapat
menurunkan tingkat keterpilihannya. Kegiatan tersebut tentunya menjadi atensi
tersendiri bagi penyelenggara Pilkada, terutama untuk panitia pengawas, agar
kegiatan tersebut tidak menodai partisipasi masyarakat di dalam menentukan
bakal Paslon pilihan politiknya.
Langkah
KPU yang akan memproses aduan pelanggaran etika penyelenggara Pilkada di
sejumlah daerah dan rencana pengguguran Paslon yang tidak memenuhi syarat di Sumut,
merupakan langkah positif dan tegas untuk menjaga kontestasi Pilkada 2018 tetap
dalam koridor demokrasi dan hukum. Sementara rencana pembentukan struktur
Bawaslu sampai di daerah-daerah dan pembentukan sejumlah Satgas seperti Satgas
Siber dan Komisi Penyiaran Indonesia, akan mendukung pelaksanaan dan pengawasan
Pilkada. Sedangkan dugaan adanya vendor-vendor yang membiayai kampanye Paslon
tertentu, merupakan sinyal buruk bagi perkembangan demokrasi, yang dapat
membuat upaya menekan praktek korupsi pasca Pilkada hanyalah utopia. Terkait manuver secara massif dan terstruktur yang dilakukan salah satu
Paslon di Papua, merupakan bentuk kepanikan dan kurangnya kesiapan calon
menerima kekalahan, sehingga mereka memaksakan agar Pilgub hanya diikuti calon tunggal,
yang berpotensi menciderai proses demokrasi.
Sementara
itu permasalahan anggaran selain dapat menghambat KPU dalam menjalankan tahapan
Pilkada selanjutnya, juga akan menghambat proses
pelaksanaan mengingat perangkat KPU
dibawahnya seperti PPL dan PPK juga dikhawatirkan tidak dapat menjalankan
kegiatannya. Selain itu, masalah ini juga rawan dipolitisasi pihak-pihak
tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah.
Penyelenggaraan
polling elektabilitas selain dapat “direkayasa” menjadi instrumen politik untuk
mengarahkan dan memobilisasi dukungan massa untuk meningkatkan elektabilitas
Paslon tertentu, juga rentan menyesatkan karena hasilnya belum tentu
merepresentasikan pilihan mayoritas masyarakat. Sementara, elite Parpol dan
Paslon terus memanfaatkan kelompok masyarakat di Jatim, untuk mengklaim
dukungan yang sifatnya mengunggulkan Paslon tertentu dalam rangka mendongkrak
pamor politiknya.
Pernyataan dukungan sejumlah elemen masyarakat terhadap calon peserta
Pilkada tertentu mengindikasikan selain tingginya antusias masyarakat dalam
Pilkada serentak 2018, juga elemen masyarakat tersebut sangat mengharapkan
pemimpin di daerahnya yang memiliki wawasan dan upaya untuk mensejahterakan
masyarakat. Namun demikian, dukungan tersebut juga bertujuan untuk menggiring
opini masyarakat terhadap salah satu calon yang akan mengikuti Pilkada.
Penyebarluasan
tulisan terkait Pilkada Gubernur Sumut yang dilakukan grup Asli Anak Labuhanbatu (ASAL) dalam akun Facebooknya disatu sisi merupakan bentuk
propaganda, wujud kurang menghargai pluralisme, perbedaan politik dan hak suara
masyarakat, selain disisi lain untuk mendukung Paslon tertentu. Namun demikian,
cara tersebut juga tidak tertutup kemungkinan digunakan untuk mendiskreditkan
Paslon lain. Penandatanganan Memorandum
of Actions (MoA) antara Kementerian Kominfo, KPU RI dan Bawaslu RI dengan
sejumlah platform Medsos seperti Google Indonesia, Facebook Indonesia,
Telegram Indonesia, BBM Indonesia, Line Indonesia, Bigo Live Indonesia, Twitter
Indonesia, Live Me Indonesia dan Metube Indonesia diharapkan dapat
meminimalisir tulisan, gambar atau meme dll yang memuat konten ujaran kebencian, hoax dan bigotry,
sehingga Pilkada sebagai sarana edukasi politik warga (civil political
education) dapat tercapai.
Minimnya peminat pemantau
Pilkada yang terjadi di Kota
Serang menunjukkan rendahnya antusias masyarakat maupun lembaga pemantau
Pilkada dalam mengawasi pelaksanaan Pilkada Kota Serang 2018. Hal ini
dikarenakan kemungkinan kurang profesionalnya
Komisioner KPU Kota Serang dalam
melakukan sosialisasi terkait Pilkada.
Keberadaan pemantau Pilkada sangat penting
mengingat dapat memberikan second opinion apabila
terjadi kekisruhan dalam penghitungan suara, disamping itu mereka juga dapat menjadi “watchdog”
untuk memastikan Pilkada berjalan sesuai dengan koridor hukum dan rule of
the game yang disepakati bersama.
Masih ditemukannya ketidaknetralan ASN dalam Pilkada serentak 2018
menujukkan adanya oknum ASN yang terlibat dan tertarik dalam politik praktis atau bahkan tidak memiliki pilihan
untuk bersikap netral, sebagai ekses kepala daerah sebagai pembina ASN di
daerah. Kondisi ini diperparah dengan upaya incumbent/Petahana untuk memobilisasi ASN
guna memenangkan Pilkada.
Berakhirnya
masa jabatan Komisioner KPU, Bawaslu dan Panwaslu di beberapa Provinsi,
Kabupaten/Kota yang waktunya bersamaan dengan proses dan tahapan Pilkada 2018,
berpotensi memicu sejumlah resistensi penyelenggaraan Pilkada di daerah, mengingat kedua lembaga tersebut memiliki peran
strategis dan menentukan terhadap jalannya pesta demokrasi. Proses penggantian
jabatan di kedua lembaga tersebut harus dipersiapkan secara matang agar tidak
menghambat tahapan dan hasil Pilkada 2018.
Munculnya
calon tunggal dan politik dinasti di beberapa daerah merupakan representasi
belum berhasilnya kaderisasi Parpol dalam menyiapkan calon pemimpin. Fenomena dinasti politik sangat berdampak negatif terhadap
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena dinasti politik merupakan cara melanggengkan kekuasaan,
baik politik maupun ekonomi. Fenomena ini akan memperlebar indikasi
penyalahgunaan kekuasaan.
Adanya
ajakan Golput dalam Pilkada Jateng memperlihatkan adanya kelompok masyarakat
yang menolak faham demokrasi dalam bernegara, sekaligus upaya propaganda
penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Disamping
itu, kesenjangan kontestasi politik,
keluarga incumbent memanfaatkan fasilitas pemerintah dengan segala akses
atau jaringan incumbent untuk memperbesar peluang menang dalam
pemilihan. Last
but not least, dinasti politik memperbesar peluang manipulasi politik dan meningkatkan apatisme
masyarakat dalam Pilkada. Sementara itu, rencana sejumlah pihak yang menggalang dukungan politik untuk memilih
kotak kosong, merupakan bagian dari skenario politisi lokal yang tidak lepas dari
kepentingan politiknya, serta kemungkinan dapat meningkatkan Golput.
*) Penulis adalah CEO Strategic Assessment, Airlangga.
Editor: Harian Momentum