Oleh : Toni Sumintardjo*)
DALAM 60 hari ke depan,
Malaysia akan mempunyai Perdana Menteri yang baru dari hasil Pemilu. Sosoknya
adalah reelectednya PM Malaysia saat ini, Najib Razak ataupun “come back”nya
mantan PM Malaysia, Mahathir Mohamad yang saat ini diusung oleh kelompok
oposisi di Malaysia. “Pertarungan politik” antara murid (Najib Razak) vs mantan
mentornya (Mahathir Mohamad) diperkirakan akan berlangsung seru bahkan
berpotensi menimbulkan situasi chaos. Disebut-sebut oleh banyak kalangan di
Malaysia bahwa pemilu mendatang adalah pemilu paling berat yang dihadapi
koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN) sejak kemerdekaan pada 1957. “Pemilu
ke-14 ini persimpangan jalan. Ini pemilu yang akan memutuskan kelangsungan
hidup Malaysia. Ini akan memutuskan takdir kita,” kata Najib saat mengumumkan
manifesto janji kebijakan.
Untuk “merayu” konstituen atau pemilihnya, Perdana Menteri
(PM) Malaysia Najib Razak mengumumkan paket janji kebijakan untuk menjanjikan
sejumlah insentif bagi etnik Melayu dan para operator perkebunan kelapa sawit.
Dia berjanji membawa Malaysia untuk terus membangun dan mengatasi kenaikan
biaya hidup.
PM Malaysia menjelaskan, jika BN tetap berkuasa, dia akan
menaikkan upah minimal menjadi 1.500 ringgi per bulan, memodernisasi
infrastruktur transportasi, menciptakan 3 juta lapangan kerja baru, menyediakan
lebih banyak perumahan murah, layanan anak universal dan memperkuat berbagai
lembaga agama.
Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak berjanji akan
menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan menyiapkan anggaran 1,46 miliar
ringgit (USD378,04 juta atau Rp5,4 triliun). Hal itu menjadi strategi Najib
untuk mendapatkan dukungan dari pegawai pemerintah menjelang pemilu. Jumlah PNS
di Malaysia mencapai 1,6 juta orang dan mayoritas adalah penduduk etnik Melayu.
Mereka memiliki ikatan tradisional dengan koalisi Barisan Nasional.
Sebelumnya Najib menjanjikan pemberian dana tunai senilai
1.500 ringgit (Rp5,3 juta) pada Oktober bagi PNS dan 750 ringgit (Rp2,6 juta)
bagi para pensiunan. Itu termasuk dalam aggaran 2018. Dulu, jelang pemilu 2012,
PNS Malaysia juga mendapatkan kenaikan gaji antara 7 hingga 13%.
Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak fokus merebut
dukungan dari warga etnik Melayu dan negara bagian yang vital, seperti Johor,
agar bisa memenangkan pemilu parlemen nanti. Berbagai janji dan program khusus
bagi warga etnik Melayu diberikan Najib. Dia akan menaikkan upah minimum 1.500
ringgit (Rp5,3 juta) perbulan, memodernisasi infrastruktur transportasi,
penciptaan tiga juta lapangan kerja, perumahan murah, perawatan kesehatan, dan
memperkuat institusi keagamaan.
Selain etnik Melayu, Najib juga fokus untuk menang di negara
bagian Johor. Beberapa hari sebelum dia mengumumkan rencana pemilu pekan lalu,
dia langsung menuju ke Johor dengan serangkaian janji program. Dia berjanji
akan merevitalisasi jalur kereta api, memperlebar jalan raya, dan membangun
stadion olah raga baru.
Selain warga etnik Melayu, negara bagian yang penting seperti
Johor juga menjadi rebutan koalisi BN dan oposisi. PM Najib sangat khawatir
kehilangan Johor karena skandal korupsi yang melilitnya. Apalagi, banyak analis
memperkirakan jika Najib mengalami kekalahan di Johor akan berakibat melemahnya
pemerintahan. “Jika Johor jatuh ke oposisi, itu akan merusak kekuatan politik
Najib dan kredibilitas UMNO setelah pemilu,” ungkar Direktur konsultan risiko
politik Eurasia Group, Peter Mumford, dilansir Reuters.
Kenapa Johor? Johor merupakan negara bagian di semenanjung
Malaysia. Itu menjadi permata bagi UMNO. Itu menjadi negara ketiga terkaya di
Malaysia dan menjadi penghubung investasi dalam beberapa tahun terakhir. Di
sana, China membangun proyek real estate Country Garden Holdings senilai USD100
miliar. Johor memiliki anggota parlemen terbesar kedua dari 222 kursi dan 16
negara bagian setelah Sarawak.
Johor merupakan tempat kelahiran UMNO. Negara bagian itu
merupakan barometer dukungan warga etnik Melayu yang diperkirakan mencapai 32
juta orang. Oposisi mengklaim dukungan di Johor akan menjadi “tsunami Melayu”
untuk menggoyang koalisi BN. “Johor bukan hal sulit bagi oposisi. Ada waktu di
mana Johon akan mengalami perubahan. Saya pikir hal itu akan terjadi,” kata
anggota parlemen oposisi Partai Aksi Demokratik (DAP) Liew Chin Tong.
Koalisi Barisan Nasional (BN) yang dipimpin UMNO (Organisasi
Nasional Melayu Bersatu) diperkirakan akan kembali memenangkan pemilu yang akan
digelar beberapa pekan mendatang. Namun, kubu oposisi yang kini mendapatkan
dukungan dari mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad juga membuat kubu Najib
menghadapi kekhawatiran.
Sebelumnya, Najib mengeluarkan Undang-Undang (UU) berita
palsu di mana mengancam bagi penyebar hoaks enam ahun penjara. UU itu
menjatuhkan denda USD123.000 (Rp1,75 miliar) bagi mereka yang menyebarkan
berita palsu. UU itu mendefinisikan berita palsu sebagai berita, informasi,
data, dan laporan yang seluruh atau sebaginya adalah palsu. Itu termasuk,
tulisan, visual, atau rekaman. Berita palsu itu termasuk publikasi digital dan
media sosial yang dibuat warga Malaysia atau pun orang asing.
Najib melalui kekuasaannya berusaha untuk menghegemoni
kekuatan politik yang ada di Malaysia, termasuk kelompok oposisi. Hal inilah
yang menimbulkan beberapa warga Malaysia sudah bosan dengan kepemimpinan Najib.
Menurut teori Hegemoni yang dipopulerkan oleh seorang Marxist asal Italia,
Antonio Gramscii, juga berupaya menjelaskan suatu keadaan dimana kaum
penguasa berupaya mempertahankan kekuasaanya atau dominasinya. Gramsci
mendefinisikan hegemoni sebagai suatu keadaan dimana suatu kelompok
sosial, dapat itu berupa suatu kelompok atau negara berkuasa berupaya untuk mempertahankan
kekuasaannya tidak hanya melalui penggunaan kekerasan atau force, tetapi
yang lebih utama adalah melalui consensual submission atau
persetujuan bersama (Litowitz, 2000: 518).
Suara dan Kekuatan Oposisi
Najib mendapat tekanan untuk menghasilkan kemenangan bagi BN.
Apalagi sekarang dia menghadapi kritik terkait skandal keuangan miliaran dolar
di lembaga investasi negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Saat ini
publik juga banyak memprotes pemerintah atas kenaikan harga kebutuhan dan biaya
hidup. Biaya hidup yang terus meningkat, banyak PNS bisa saja memberikan
dukungan kepada oposisi jika partai berkuasa tidak memperhatikan isu tersebut.
Apalagi, skandal korupsi yang melanda Najib juga menumbuhkan sentiment negatif.
Ditambah dengan mantan mentor Najib, Mahathir Mohamad yang kini sudah bergabung
dengan oposisi.
Pamor Mahathir masih diperhitungkan di sebagian warga etnik
Melayu. Selama ini, oposisi memang kerap tidak mampu mendapatkan dukungan luas
dari warga etnik Melayu. Masuknya Mahathir ke kubu koalisi oposisi akan
memberikan semangat baru kalau mereka juga akan merebut dukungan dari warga
Melayu. Menurut analis media sosial firma analisis Politweet Ahmed Kamal Nava,
faktor PAS (Partai Islam se-Malaysia) juga menjadi pertimbangan. Banyak partai
yang memperebutkan warga Melayu menjadikan suara mereka tetap terpecah.
Secara tradisi, etnik Melayu memiliki ikatan kuat untuk
mendukung koalsi BN. Namun, warga Melayu yang di kota, etnik China, dan etnik
India lebih tertarik ke oposisi yang menjanjikan diakhirinya keberpihakan
terhadap warga etnik Melayu dalam bisnis, pendidikan, dan perumahan.
Namun, banyak warga Melayu menganggap Najib tidak lagi
membela mereka. Berbeda dengan Mahathir yang pernah memimpin Malaysia selama 22
tahun. Dia mampu menjadikan warga Melayu sebagai kekuatan dengan memodernisasi
dan menjadikan kebanggaan nasional.
Banyak pemilih yang marah dengan skandal korupsi yang diduga
dilakukan Najib dan koleganya. Ditambah dengan biaya hidup yang terus naik
serta beban pajak membuat rakyat Malaysia semakin merana. Banyak petani kelapa
sawit yang mendapatkan dukungan kebijakan Najib juga sudah bosan.
Koalisi oposisi yang kini dipimpin mantan mentor Najib dan PM
terlama Malaysia, Mahathir telah menjadikan Johor sebagai fokus utama. Dia
mengeksploitasi kelemahan Najib di Johor. Dalam setiap kampanyenya, Mahathir
dan kubu oposisi selalu mengaitkan Najib dengan skandal korupsi 1Malaysia
Development Berhad (1MDB). Dia juga mengungkapkan tentang kesalahan manajemen
fiskal pemerintah, tingginya harga rumah, dan biaya hidup yang terus meningkat.
Pada kampanye di Pagoh, Johor, mantan deputi PM Muhyiddin
Yassin yang bergabung dengan oposisi, mendeklarasikan kalau Johon akan dikuasai
pada pemilu mendatang. “Ini akan menjadi pesan kuat ke seluruh negara,” kata
Muhyiddin. Dia bergabung dengan oposisi setelah dipecat oleh PM Najib.
Ekonom peraih Nobel Bidang Ekonomi Amartya Sen pernah
berujar, bahwa kebahagiaan seseorang tidak hanya diukur secara material dengan
angka-angka pertumbuhan ekonomi semata. Memakai kaca mata ekonomi untuk
mengukur pembangunan, adalah sebuah kesalahan dan salah arah. Menurut Sen, yang
saat ini mengajar di Harvard University, kebahagiaan seseorang diukur dari
sejauh mana ia memiliki kebebasan atas apa yang diinginkan (freedom from want).
Ia mengenalkan konsep Capability Approach (Pendekatan Kapabilitas)
dalam mengukur kebahagiaan seseorang. Pada prinsipnya, Capability
Approach melihat pada sejauh mana kemampuan seseorang dalam mencapai apa
yang ia inginkan. Ia memakai beberapa indikator, di antaranya yaitu pendidikan,
kesehatan, rasa aman, dan spiritualitas.
Yang pasti, pemilu di Malaysia ataupun di beberapa negara
lainnya perlu dipelajari dan dipahami masyarakat bukan pilihan mudah menghadapi
masalah. Pemilu hasilnya jangan membenarkan pendapat Larry Crabb, psikolog dan
penulis buku Connecting mengatakan, dalam menghadapi suatu masalah
kita cenderung melontarkan salah satu dari dua pemecahan berikut ini:
"Lakukan apa yang benar" (Harus begini, harus begitu) atau
"Perbaiki yang salah" (Jangan begini, jangan begitu).
Sedangkan untuk mengelola kondusifitas pasca pemilu, siapapun
pemenangnya apakah Najib atau Mahathir Mohamad, perlu memperhatikan pendapat
Steven Lukes. Menurut Steven Lukes yang menelurkan teori the three
dimesions of power. Lukes menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki tiga dimensi
(Lorenzi, 2006: 89-90). Dimensi pertama adalah apa yang disebut obvious
power atau onedimensional view yang dapat dipahami dengan
melihat pihak manakah yang memenangkan peperangan dan sebagainya. Fokus dari
dimensi ini terletak pada sikap, pengambilan keputusan, isu-isu penting,
konflik yang dapat terlihat dan kepentingan subjektif. Dimensi kedua
adalah agenda-setting power atau twodimensional view of
power yaitu jenis kekuasaan yang mampu membatasi pembatasan mengenai
isu-isu tertentu dengan mengecualikan isu-isu lainnya yang dinilai tidak
signifikan atau dapat membahayakan kekuasaan jika dibahas. Fokus dari dimensi
ini adalah pengambilan keputusan dan kontrol terhadap agenda politik, isu-isu
potensial, konflik yang dapat atau tidak dapat terlihat dan kepentingan
politik. Dimensi terakhir atau yang ketiga disebut invisible
power atau three-dimensional view of power, yaitu kekuasaan yang
tidak terlihat. Fokus dari dimensi ini terletak pada pengambilan keputusan dan
kontrol atas agenda politik, isu-isu yang ada dan isu-isu potensial, konflik
yang terlihat maupun tersembunyi dan kepentingan subjektif yang nyata (Lorenzi,
2006: 89-90).
*) Pemerhati masalah
strategis internasional dan studi kawasan.
Editor: Harian Momentum