Harianmomentum--
Akhirnya ada juga tindakan kongkrit dari Pemerintah Presiden Jokowi terhadap
kegaduhan yang terjadi di masyarakat akibat fatwa MUI terkait larangan
pemakaian atribut non Muslim.
Pemerintah, melalui Menko Polhukam Wiranto,
menyatakan bahwa MUI harus melakukan koordinasi dengan Kemenag dan Polri
sebelum mengeluarkan fatwa. Koordinasi antara Pemerintah dan MUI harus
dilakukan “agar fatwa yang dikeluarkan bisa menghasilkan kebaikan dan tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat.”
Munculnya sikap Pemerintah ini tentu saja
terkait dengan tindakan-tindakan sweeping di tempat publik seperti mall atau
pertokoan yang pegawainya memakai atribut atau hiasan yang terkait dengan
Natalan.
Kapolri telah mengambil langakah disipliner
kepada beberapa Kapolres yang ikut menyebarluaskan fatwa MUI itu. Selain itu
Kapolri juga memerintahkan seluruh jajarannya utk menindak setiap pelaku sweeping terhadap atribut
Natalan.
Tindakan Pemerintah untuk meminta MUI
berkoordinasi ini merupakan langkah maju, walupun harus tetap dilihat buktinya
apakah setelah ini fatwa-fatwa produksi MUI masih akan menciptakan kegaduhan
dan keresahan seperti saat ini.
Polri yang sudah tegas mengemukakan bahwa
fatwa MUI bukan hukum positif, juga merupakan sebuah progress. Dan ini akan
lebih baik lagi jika fatwa-fatwa MUI tidak lagi digunakan sebagai satu-satunya
sumber fatwa keagamaan (Islam) oleh aparat Pemerintah baik di pusat maupun
daerah. Sebab jika MUI masih memiliki klaim monopoliostik seperti itu, niscaya
kemungkian akan terulangnya pembuatan fatwa yang divisive seperti yang yang berkaitan dengan
atribut non Muslim tersebut, akan terbuka.
Sejatinya yang lebih penting lagi adalah
mendudukkan perkara status MUI dalam konstelasi relasi negara dan masyarakat
sipil. MUI bukan lembaga negara atau kuasi negara, walaupun ia mendapat
anggaran dari APBN/APBD. Oleh sebab itu banyak pihak yang serta merta
menganggap MUI adalah pihak yang merepresentasikan otoritas negara dalam urusan
keagamaan, bahkan kadang-kadang Kemenagpun tidak terlalu jelas sikapnya ketika
berhadapan dengan ormas yang satu ini.
Padahal dibanding dengan ormas-ormas Islam
besar seperti NU, Muhammadiyah, persis, Al-Washliyah, atau bahkan dengan LDII
sekalipun, MUI tak punya basis massa.
Namun karena warisan kekuasaan rezim Orba
yang masih berlanjut sampai Pemerintah pasca-Reformasi, maka MUI seakan-akan
menjadi semacam lembaga negara. Bahkan sementara tokoh MUI menganggap
seakan-akan MUI ini adalah perwakilan ummat Islam dan lembaga tertinggi Ulama
di Indonesia! Padahal kapasitas keulamaan di dalam struktur MUI sendiri kini
sering diragukan, menyusul sering munculnya fatwa-fatwa yang kontroversial
serta keterkaitan mereka dengan kelompok kepentingan politik.
MUI tak perlu dibubarkan, tetapi organisasi
ini perlu direformasi total sehingga kesan yang ada di ranah publik,
seolah-olah mewakili aspirasi seluruh ummat dan ulama Islam, serta satu-satunya
lembaga pembuat fatwa itu, tidak ada lagi.
Kalaupun MUI membuat fatwa, silakan
saja, namun juga tidak harus digunakan sebagai satu-satunya sumber pertimbangan
atau rekomendasi dalam masalah keislaman, termasuk bidang hukum. Biarkan saja
ormas-ormas Islam yang ada di negeri ini juga ikut berkontribusi terhadap
wacana dan kiprah keagamaan. Kemenag tetap menjadi lembaga negara yang
melakukan koordinasi hubungan antara mereka dan Pemerintah/Negara. Yang tak
kalah penting dlm reformasi MUI adalah akuntabilitas keuangannya, yang selama
ini menjadi pertanyaan publik, mesti dibuka, baik MUI Pusat maupun MUI Daerah.
Hanya dengan reformasi total seperti itu MUI
akan menjadi bagian integral yang produktif dan mandiri bagi upaya pemberdayaan
ummat Islam Indonesia dalam kerangka kebangsaan dan NKRI.
Bagaimanapun juga, kata “Indonesia” didalam
singkatan MUI adalah sebuah penanda (signifier)
yg paling utama. Apapun yang dilakukan MUI, harus tetap berlandaskan dan
berorientasi kepada NKRI.(***)
Editor: Harian Momentum