Internasionalisasi Masalah Papua

img
Penulis: Amril Djambak, wartawan senior di Riau. Koordinator Forum Pemerhati Sosial Kemasyarakatan. Foto: ilustrasi

Harianmomentum--Kualitas pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia kembali ditinjau lewat mekanisme UniversalPeriodicalReview atauUPR yang berada di bawah struktur Dewan HAM PBB.

 

Meski bukan pengadilan, namun lewat mekanisme ini, kondisi pelaksanaan hak asasi manusia di berbagai negara ditinjau secara silang dan bergantian oleh sedikitnya 193 negara anggota PBB, dengan tujuan agar kualitas HAM di negara masing-masing bisa ditingkatkan. Pada peninjauan tahun ini di Jenewa, Swiss, catatan penegakan HAM di Indonesia diteliti oleh 93 negara, Rabu (03/05). Sebelumnya, Indonesia pernah menjalani pengujian yang sama pada 2008 dan 2012.

 

Dalam tinjauan 2017, beberapa isu yang menjadi sorotan adalah memburuknya intoleransi agama di Indonesia, isu pelanggaran HAM di Papua, selain pelaksanaan hukuman mati, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, serta kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual. Delegasi pemerintah dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, serta Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang menjawab berbagai catatan atau rekomendasi UPR.

 

Menanggapi soal Papua, Menlu Retno Marsudi mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian khusus terhadap Papua dan Papua Barat lewat kunjungan-kunjungan secara reguler. Kunjungan itu untuk 'mengecek pembangunan infrastruktur, berdialog secara langsung dengan orang-orang, dan berkomitmen terhadap kebijakan multifaset, sehingga kedua provinsi tersebut bisa menikmati kesejahteraan yang sama seperti warga Indonesia lainnya.

 

Dalam pernyataannya di forum UPR tersebut, menyebut contoh pembangunan proyek infrastruktur jalan Trans-Papua dan dibentuknya tim Kemenkopolhukam yang bekerjasama dengan Komnas HAM pada 2016 untuk mengatasi kasus-kasus HAM besar di Papua seperti Wasior, Wamena dan Paniai.

 

Retno menyebut bahwa pemerintah juga sudah mencabut aturan soal izin untuk wartawan asing datang meliput ke Papua, alhasil ada peningkatan 41% kunjungan wartawan asing ke sana. Sementara menurut Yasonna Laoly, sepanjang tahun 2015 tercatat 190 demonstrasi di Papua atau satu setiap dua hari, sebagai bukti bahwa hak kebebasan berekspresi telah dijamin.

 

Terkait intoleransi agama, Yasonna menjelaskan, "Mempertahankan harmoni keagamaan adalah tantangan, namun pemerintah sudah mengadopsi revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menanggapi penyebaran ujaran kebencian terkait agama dan etnis yang terjadi lewat media teknologi."

 

Namun Ketua YLBHI Asfinawati mengungkapkan keyakinan bahwa revisi Undang-undang ITE bisa menjadi cara untuk mengatasi penyebaran kebencian agama lewat medium teknologi. "Apalagi jika RUU-nya membuat pidana baru. Pemidanaan tidak akan membuat orang surut, malah mungkin justru akan mengentalkan identitas keagamaan yang mendasari intoleransi," kata Asfinawati.

 

Sementara terhadap ujaran kebencian, Asfinawati berpendapat bahwa 'kebencian beragama' tercermin dalam gugatan penodaan agama. "Jadi tuntutan-tuntutan agar orang didakwa dengan pasal-pasal penodaan agama sebetulnya adalah bentuk intoleransi itu sendiri. Ketika polisi meneruskan kasus-kasus penodaan agama, sebetulnya mereka sedang mengajarkan masyarakat untuk tidak toleran."

 

Beberapa kasus penodaan agama yang ditindaklanjuti polisi antara lain adalah kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan kasus Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar.

 

Selain itu, beberapa kali kejadian ibadah agama menjelang Natal dihentikan karena ancaman kelompok-kelompok intoleran, seperti yang terjadi di Bandung pada Desember 2016 lalu.

 

Penjelasan yang disampaikan pemerintah Indonesia di Jenewa terkait masalah HAM di Papua masih dipertanyakan oleh Yati Andrian, koordinator KontraS. "Persoalan Papua bukan sekadar membuka akses media internasional, menurut kami, dan juga bukan hanya persoalan pembangunan infrastruktur," ujar Yati. Ditambahkan oleh Yati, pembatasan juga masih besar dalam kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat di Papua.

 

Kronologis peristiwa Wasior, 2001

 

Pada 13 Juni 2001 terduga aparat Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan kepada warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Penyerbuan itu dipicu oleh dibunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan PT Vatika Papuana Perkasa. Menurut laopran Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) perusahaan kayu PT VPP dianggap warga mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat.

 

Masyarakat lantas mengekspresikan tuntutan mereka dengan menahan speed boat milik perusahaan sebagai jaminan, setelah memberikan toleransi sekian waktu lamanya. Aksi masyarakat ini dibalas oleh perusahaan dengan mendatangkan Brimob untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat.

 

Masyarakat lantai mengeluhkan mengenai perilaku perusahaan dan Brimob ini lantas disikapi oleh kelompok TPN/OPM dengan kekerasan. Saat PT VPP tetap tidak menghiraukan tuntutan masyarakat untuk memberikan pembayaran pada saat pengapalan kayu, kelompok TPN/OPM menyerang sehingga menewaskan lima orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan PT VPP serta membawa kabur enam pucuk senjata milik anggota Brimob bersama peluru dan magazennya.

 

Saat aparat setempat melakukan pencarian pelaku, terjadi tindak kekerasan berupa penyiksaan, pembunuhan, penghilangan secara paksa hingga perampasan kemerdekaan di Wasior.  Tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang dan 39 orang disiksa.

 

Kronologis peristiwa Wamena, 2003


Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung. Penyisiran dilakukan akibat sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena.

 

Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat. Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi.

 

Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah melakukan penyisiran di 25 kampung, yaitu: Desa Wamena Kota, Desa Sinakma, Bilume-Assologaima, Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma, Kwiyawage -Tiom, Hilume desa Okilik, Kikumo, Walesi Kecamatan Assologaima dan beberapa kampung di sebelah Kwiyawage yaitu: Luarem, Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya, Mume dan Timine. Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat.

 

Selain itu pemindahan paksa terhadap warga 25 kampung menyebabkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa.

 

Komnas HAM juga menemukan pemaksaan penandatanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas umum, (gereja, Poliklinik, gedung sekolah) yang mengakibatkan pengungsian penduduk secara paksa.

 

Kronologis peristiwa Paniai, 2014

 

Menurut Kontras, kejadian bermula pada 8 Desember 2014 tengah malam, saat sebuah mobil hitam melaju dari Enaro menuju kota Madi, diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI, dihentikan tiga remaja warga sipil.

 

Ketiga remaja tersebut meminta lampu mobil dinyalakan karena warga sedang mengetatkan keamanan jelang natal. Mereka pun menahan mobil tersebut. Tidak terima ditahan, terduga anggota TNI tersebut kembali ke Markas TNI di Madi Kota, dan kemudian mengajak beberapa anggota lainnya kembali ke Togokotu, tempat ketiga remaja tersebut menghentikan mereka. Mereka pun kembali dan mengejar tiga remaja tadi.

 

Dua orang lari, satu lainnya dipukul hingga babak belur. Warga lalu melarikan anak yang terluka tersebut ke rumah sakit. Keeseokan paginya warga Paniai berkumpul dan meminta aparat melakukan pertanggung jawaban terhadap remaja yang dipukul.

 

Warga berkumpul di lapangan Karel Gobay, namun sebelum dilakukan pembicaraan, aparat gabungan TNI dan Polri sudah melakukan penembakan ke warga. Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit. Satu orang akhirnya meninggal dalam perawatan di rumah sakit Mahdi.  Kelima orang yang tewas adalah Simon Degei (18 tahun), Otianus Gobai (18 tahun), Alfius Youw (17 tahun), Yulian Yeimo (17 tahun), Abia Gobay (17 tahun). Kesemuanya pelajar di SMA Negeri 1 Paniai.

 

Jangan Mau Diintervensi

 

Pelanggaran HAM sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan pelanggaran HAM juga dilakukan beberapa negara yang menyebut dirinya sebagai “kampium demokrasi dan HAM” seperti Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, namun perbedaannya karena Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia ini, maka belum semua negara berani “mengadili atau memperkarakan” Amerika Serikat, sedangkan di negara-negara lainnya pelanggaran HAM selalu dipersoalkan, termasuk oleh PBB yang notabene juga dibiayai AS sehingga tidak mau mengadili negara yang disebut Paman Sam tersebut.

 

Kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia ataupun kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua selama ini laporan-laporan yang dijadikan acuan untuk “menghantam” Indonesia di arena seperti UPR Dewan HAM PBB tersebut berasal dari kalangan NGO atau LSM di Indonesia yang diduga merupakan “komprador asing”, sehingga untuk apa kita mau didikte oleh mereka.

Yang penting dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memperbaiki kesalahan dan tidak mengulanginya. Memperbaiki keadaan dengan bersedia menyelesaikan berbagai kasus yang “dituduhkan” ke Indonesia, termasuk melakukan penegakkan hukum terhadap oknum aparat negara yang tidak profesional dan tidak proporsional dalam menangani sebuah permasalahan yang mengakibatkan pelanggaran HAM.

 

Jika hal ini sudah diupayakan, maka sebaiknya Indonesia menyatakan ke Dewan HAM PBB agar “tidak mengintervensi” Indonesia.(*)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos