Harianmomentum--Aksi solidaritas sejuta lilin di beberapa kota di Indonesia yang
awalnya dipicu ketidakpuasan massa pendukung Ahok dengan vonis dua tahun
penjara untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang
berlangsung damai.
Di sejumlah daerah antara lain Jakarta,
Denpasar, Medan, Balikpapan, Surabaya, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan
berbagai tempat lain diluar negeri diaspora Indonesia juga melakukan kegiatan
yang sama dengan menyanyikan lagu-lagu nasional dan doa dari tokoh lintas agama
untuk NKRI damai.
Sementara itu,
karangan bunga yang dikirim berbagai elemen masyarakat untuk TNI dan Polri
belakangan ini merupakan bentuk dukungan kepada institusi tersebut dalam
menjaga Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hingga hari ini fenomena ini pun terus
mengalir hingga ke daerah. Hal ini bisa dibaca sebagai indikator keresahan
sekaligus kekhawatiran banyak pihak terhadap kondisi kekinian negeri tercinta
ini. Demikian juga jakan atau gerakan untuk memasang DP (display picture) lambang
negara Burung Garuda pada layar telepon genggam bisa dimaknai sebagai langkah
mengingatkan bangsa ini untuk menjaga keutuhan dan kebhinekaan.
Aksi ini juga menunjukkan adanya rasa
khawatir, rasa cemas akan sepak terjang kelompok radikal dan intoleran yang
ingin mengganti dasar negara. Pemerintah dan sebagian besar warga bangsa tentu
menginginkan tidak ada perpecahan di bumi Nusantara tercinta ini yang
disebabkan perbedaan suku, agama, ras dan sejenisnya.
Kekhawatiran itu
tidaklah berlebihan dan memang harus disikapi secara tegas. Mengingat
akhir-akhir ini dengan mengatasnamakan
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, ada kelompok masyarakat yang
hendak memaksakan keinginan dengan menggunakan kekuatan massa dan kelompok yang
belum dapat menerima hasil demokrasi khususnya dalam Pilgub DKI Jakarta. Kedua
kelompok ini merasa paling benar sehingga apa pun keinginannya harus dituruti.
Sejarah bangsa ini
sudah jelas. Dengan ribuan pulau yang membentang dari Sabang hingga Meraoke dan
dari Miangas hingga Rote, dengan berbagai etnis, suku, agama dan adat istiadat,
telah sepakat mengikat diri dalam NKRI dalam kebhinekaan yang berpondasikan
Pancasila serta UUD 1945. NKRI tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Dengan
demikian tidak boleh ada riak-riak yang mengancam keutuhan NKRI dan akan
mengganti Pancasila. Riak-riak selayaknya dihilangkan sebelum berkembang
menjadi gelombang, bahkan badai. Kalau bisa secara persuasif, kalau tidak bisa,
apa boleh buat harus dilakukan dengan tindakan tegas.
Kebhinekaan yang merupakan anugerah Tuhan Yang
Maha Esa hendaknya terus dijaga dan dirawat untuk mempererat persatuan dan
kesatuan. Komitmen untuk menjaga kebhinekaan hendaknya menjadi pembelajaran
dari semua pihak, khususnya para elit yang sedang mengemban amanat mewujudkan
cita-cita kemerdekaan berupa masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Bagaimanapun juga kegaduhan ini, besar atau
kecil ada kaitannya dengan hajatan atau kegiatan politik. Salah satu tujuan
berpolitik adalah untuk meraih atau merebut kekuasaan. Akan tetapi merebut
kekuasaan dengan cara- cara yang inkonstitusional hanya akan menimbulkan
kegaduhan, bahkan bisa menceraiberaikan bangsa ini.
Low Politics
Tahun 2018 akan ada Pilkada serentak di 17 provinsi
serta 154 kabupaten dan kota. Dan tahun 2019 akan berlangsung pemilu serentak
untuk memilih presiden dan wakil presiden serta DPR, DPD maupun DPRD Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Bukan tidak mungkin hajatan politik ini akan meningkatkan
eskalasi politik di berbagai tingkatan. Bahkan gaduh saat ini pun sudah ada
yang mengaitkan dengan Pilpres 2019. Manuver, akrobat politik sudah mulai
disusun bahkan dimainkan guna memenuhi ambisi kekuasaan.
Pers, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh
organisasi ataupun prominent figure lainnya (jika kondisi saat ini trust
terhadap pemerintah berkurang) perlu menggantikan peran pemerintah untuk mengingatkan,
aksi komitmen menjaga NKRI yang kini muncul di berbagai daerah adalah indikator
masyarakat yang sudah tidak
bisa dibodohi lagi oleh berbagai manuver yang
mengatasnamakan rakyat, bahkan mengatasnamakan agama atau mengandalkan politik
identitas, yang sebenarnya mencerminkan apa yang disebut oleh Amien Rais diera
Orde Baru dulu sebagai praktik “low politics” bukan “high politics”.
Masyarakat sudah muak, bosan dan lama
kelamaan akan marah dengan opera sabun politik (political soap opera), dagelan
politik (political prank) dan politik tanpa etika dan norma (political without
ethics and norms) yang disajikan para elit yang seakan haus dan rakus akan
kekuasaan.
Sulit menemukan negarawan yang benar-benar
berpikir untuk masa depan bangsanya, atau semuanya sudah menjadi politisi.
Semuanya serba pragmatis dan transaksional. Tidak malu melakukan korupsi dan
tidak malu melindungi dan membela yang salah. Pekerjaannya tidak hari memprovokasi
masyarakat, namun anehnya orang-orang seperti ini masih diberikan “ruang gerak”
oleh komunitas media massa di Indonesia dengan memuat pernyataannya, walaupun
pernyataannya sering memanaskan suasana, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
tidak menilai fenomena ini sebagai ancaman di era kebebasan seperti sekarang
ini.
Harus diakui permasalahan bangsa ini cukup kompleks
dan hanya bisa diurai dan ditangani dalam situasi dan kondisi yang tenang dan
damai. Kalau setiap saat gaduh dan ribut, bisa dipastikan tidak akan
menyelesaikan masalah, justru menambah masalah.
Untuk itu, masyarakat berharap komitmen
menjaga dan merawat NKRI yang muncul dari warga bangsa ini menjadi energi untuk
bangkit dan fokus menyelesaikan masalah yang ada. Menjadikan yang lupa menjadi
eling, yang pemarah menjadi sabar.
Menjaga empat pilar
kebangsan yakni Pancadila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yang tidak
bisa diganggu gugat. Tidak bisa dikutak-atik. Bahkan, sudah merupakan harga
mati! NKRI
harga mati, jangan ada yang mengusik lagi! Namun, tugas maha berat ini tidak
akan mampu diemban oleh TNI, Polri ataupun BIN tanpa bantuan, koordinasi,
komunikasi dan sinergitas dengan unsur masyarakat lainnya dan berbagai kelompok
prominent figure disemua level kemasyarakatan. Semoga. (*)
Editor: Harian Momentum