Monologi Susi Pudjiastuti

img
Foto: NET

MONOLOGI atau monolog berasal dari kata monos (sendiri) dan logos (berbicara), arti harfiahnya adalah berbicara sendiri atau pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri. Istilah monologi populer dipakai didunia seni peran atau teater untuk menggambarkan pertunjukan yang hanya menampilkan satu pemeran untuk melakukan suatu adegan.

 

Seni peran monolog pertama kali muncul di era 60-an dengan pelopor utamanya adalah Charlie Chaplin, nama yang tidak asing bagi kita. Lama kelamaan, monolog menjadi satu cabang sendiri dalam ilmu seni peran.

Lawan kata dari monolog adalah dialog, komunikasi dua arah. Kali ini kita tidak sedang membahas perihal seni peran. Namun mencoba memotret fenomena monolog yang terjadi di dunia nyata, khususnya dunia kepemimpinan dan kekuasaan.

Contoh terbesar dari gaya monolog kekuasaan adalah era pemerintahan orde baru, dimana pemimpinnya, pemerintahnya hanya berbicara dengan dirinya sendiri dan menjadikan rakyatnya sebatas penonton pembangunan di pinggiran tanpa memiliki partisipasi signifikan.

Dalam skala tertentu, setelah orde baru-pun kita masih kerap menjumpai gaya kepemimpinan monolog diantara para politisi dan pejabat di negeri ini, yakni gaya kepemimpinan yang mengambil garis batas dengan rakyatnya namun diwaktu yang sama berusaha memaksakan kehendak agar keinginan dan langkahnya diikuti dan dipatuhi.

Tulisan ini akan mengulas secara khusus gaya monolog yang dilakukan oleh menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti. Maka disini saya beri judul " Monologi Susi Pudjiastuti", untuk menelisik lebih dalam gaya dan perilaku monolog Ibu Susi dalam memimpin dan menjalankan roda kementeriannya.

Saya tidak tahu persis, apakah gaya monolog ini by design, artinya sengaja dikemas oleh konsultan komunikasi untuk menampilkan sosok seorang menteri yang memiliki diferensiasi dan positioning ( sekedar diketahui bahwa menteri Susi juga memiliki tim marketing komunikasi yang handal untuk membangun komunikasi publik sekaligus personal branding) atau memang gaya monolog tersebut adalah karakter ibu Susi yang melekat pada dirinya sejak dulu, kalau memang demikian, berarti ini warning bagi masa depan pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Orang monolog biasanya tidak mau diberi masukan, tidak terbiasa menerima kritik, cenderung otoriter dan tidak bisa diatur alias "semau gue".

Media massa adalah panggung terbesar bagi menteri Susi Pudjiastuti untuk memainkan peran monolog. Melalui media massa kita disuguhi tontonan lakon demi lakon monolog yang dimainkan ibu Susi. Dimulai dari aksi atraktif penenggelaman kapal illegal fishing diawal menjabat hingga terbaru adalah aksi tertidur di kursi ruang tunggu Bandar Udara John F. Kennedy, New York, Amerika Serikat. Kita seakan disuguhi sebuah pementasan panjang  dengan lakon tunggal tak berkesudahan.

Cobalah bertanya kepada Mbah Google, kita akan mendapati mayoritas pemberitaan lebih banyak didominasi oleh sudut pandang Susi Pudjiastuti. Sedangkan suara-suara nelayan atau stakeholder di sektor kelautan dan perikanan masih mendapat porsi yang kurang berimbang. 

Media mainstream, untuk urusan kelautan, perikanan dan nelayan serta semua aspek terkait juga lebih banyak meliput dari perspektif "Susi/KKP berbicara", tak heran jika ada yang menilai aroma branding lebih menonjol dalam setiap pemberitaan. 

Gaya monolog lainnya dapat kita jumpai dari sisi produksi regulasi. Beberapa kebijakan atau peraturan kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) - meskipun mekanisme pembuatan regulasi sudah diatur oleh UU - sering tidak didahului oleh kajian dari berbagai aspek serta tanpa ada konsultasi dengan stakeholder yang terlibat. Akibatnya, peraturan-peraturan yang ada kerap mengalami revisi berulang-ulang atau menjadi kontroversi di lapangan.

Sebagai contoh adalah permen KP 32/2016 yang mengatur tentang pembatasan akses kapal buyer untuk berbelanja ikan kerapu hasil budidaya nelayan indonesia selama 2 tahun ini telah mengalami revisi 5 kali. Atau soal permen KP 2/2015 tentang pelarangan beberapa alat tangkap yang sekarang diganti dengan permen KP no. 71/2016 telah menimbulkan gelombang protes nelayan cantrang diseluruh Indonesia.

Para nelayan mengangap kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri Susi Pudjiastuti tidak memiliki dasar karena tidak didahului dengan kajian yang komprehenship, nelayan juga merasa tidak pernah diajak berdialog untuk membahas peraturan tentang pelarangan alat tangkap Cantrang dan sebagainya. 

Gaya monolog selanjutnya dapat kita lihat dari "sikap enggan" ibu Susi untuk berdialog dan membangun jalinan komunikasi intensif dengan nelayan dan stakeholder sektor kelautan-perikanan. Menurut pengakuan beberapa asosiasi, saluran komunikasi mereka dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah lama mengalami kebuntuan, masalah-masalah yang muncul di lapangan saat ini salah satunya dikarenakan komunikasi yang tersumbat. Berbagai forum pertemuan antara pemerintah dengan stakeholder lebih banyak dikuasi sebagai panggung ibu menteri untuk berbicara daripada dimanfaatkan untuk mendengar.

Hal senada juga dirasakan oleh nelayan, pada saat kami berkunjung ke Rembang dan Tegal untuk mendampingi Komnas HAM, terkuak pengakuan dari nelayan bahwa betapa sulitnya membangun dialog dengan menteri Susi Pudjiastuti dalam rangka menyampaikan aspirasi. Salah seorang nelayan menuturkan, pernah sekali digelar pertemuan lapangan dengan nelayan di Kabupaten Pati, namun menurut mereka itu adalah "ajang dialog semu" karena nelayan yang diundang hanya nelayan tertentu, dan dengan materi dialog sudah diatur sebelumnya. Lagi-lagi pertemuan tersebut hanya menjadi ajang ibu menteri untuk banyak berbicara tanpa mau mendengar aspirasi sebenarnya.

Barangkali saking jengkelnya karena permintaan untuk berdialog tidak pernah terwujud, penyampaian aspirasi melalui berbagai saluran tidak pernah didengar, namun melalui media massa ibu menteri malah kerap melontarkan tuduhan bermacam-macam. Dalam beberapa kesempatan saya mendengar tantangan nelayan untuk melakukan "debat terbuka" sekaligus uji tanding hasil kajian ilmiah dengan ibu menteri untuk membuktikan bahwa kebijakan pelarangan alat tangkap cantrang adalah kurang tepat. 

Dari beberapa fakta monologi Susi Pudjiastuti diatas, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya wajah kekuasaan yang monolog selalu menganggap dirinya lebih mengetahui apa yang terjadi dan apa yang terbaik dibandingkan rakyatnya. Kekuasaan monolog kerap memaksakan kehendak agar peraturan dan kebijakan yang dibuat diterima dan dijalankan tanpa mau mendengar aspirasi dari rakyatnya.

Akhir kata, harapan saya pribadi, dan mungkin juga harapan semua pihak, ibu Susi Pudjiastuti mau merubah gaya kepemimpinannya yang monolog menjadi gaya kepemimpinan dialog. 

Tidak ada yang perlu ditakutkan, tidak akan berkurang sedikitpun martabat dan kewibawaan ibu menteri jika mau membuka diri, terjun langsung ke lapangan dan berdialog sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.

Dengan dialog, ibu Menteri dapat mendengar secara langsung setiap aspirasi rakyat tanpa mengalami distorsi informasi. Dengan dialog pula, ibu menteri bersama nelayan dan semua stakeholder terkait dapat bersama mencari titik temu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi.

Mari bu, sebelum resuffle benar-benar terjadi, berdialoglah!
(RMOL) 


Nanang Q. el-Ghazal
Yayasan Nelayan Indonesia, Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP. Muhammadiyah






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos