MOMENTUM, Bandarlampung--Banjir yang melanda beberapa titik di Jabodetabek
memberikan dampak kerugian hingga miliyaran rupian bagi masyarakat. Dari semua
data yang masuk, Alvon Kurnia Palma mengatakan ada 186 orang yang mencatumnkan
kerugian di dalam laporan gugatan. Kerugian yang didapatkan mulai dari 890.000
rupiah hingga 43,32 milyar rupiah. Dengan kerugian tersebut, banyak masyarakat
yang ramai melakukan tindakan Class
Action untuk mengganti kerugian yang mereka dapatkan akibat banjir yang
malanda di awal tahun 2020. Class Action
sendiri merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang
mengalami kesamaan masalah dengan diwakilkan oleh beberap orang.
Menurut UU No 23 Pasal 23 Ayat 1 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Class
Action merupakan hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan masalah, fakta
hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.
Menurut laporan yang sudah masuk, sekitar 600 orang warga
Jabodetabek sudah mendaftarakan gugatan dengan menggunakan mekanisme Class Action pasca banjir. Hal ini sudah
disampaikan oleh Anggota Tim Advokasi Korban Banjir DKI Jakarta. Tindakan class action dilakukan oleh masyarakat
yang menjadi korban banjir karena alasan kerugian materi yang didapatkan sangat
besar. Gugatan ini sudah direspon oleh Pemprov DKI Jakarta bahwa persoalan
banjir yang terjadi beberapa waktu lalu akan ditangani dalam waktu singkat.
Banjir selama ini memang masih menjadi masalah besar bagi
DKI Jakarta dan sekitarnya. Setiap musim hujan datang, beberapa daerah selalu terkena dampak banjir,
khususnya di daerah Bekasi, Jakarta Selatan, Depok, dan lain sebagainya.
Sehingga sangat wajar bila banyak warga yang selalu mengeluh setiap tahun atas
kinerja pemerintah karena dalam mengatasi banjir selalu bermasalah. Belum lagi
dengan julmah kerugian akibat banjir yang tidak sedikit.
Kerugian lain yang juga didapatkan ketika banjir melanda
adalah terhambatnya laju perekenomian baik perekenomian masyarakat dan juga
prekonomian daerah bahkan
negara. Karena banjir tidak hanya merendam rumah-rumah warga dan jalan-jalan
kecil, melainkan beberapa jalan protokol Jakarta yang ikut terendam sehingga
laju ekonomi terhambat dan mengakibatkan kerugian dalam jumlah yang besar. Oleh
sebab itu banjir harus ditangani
secara serius oleh pemerintah. Wacana soal naturalisasi juga
harus dibenahi dengan konsep dan tindakan yang efesien dan efektif agar sesuai
dengan ekspektasi masyarakat Jakarta.
Agar tidak terjadi keramaian publik, rencana class action yang dilakukan oleh
masyarakat harus diberikan jawaban oleh
Gubernur DKI Anies Baswedan. Kebutuahan
atau kerugian yang dialami oleh korban banjir harus diberikan jaminan agar
tidak menambah beban pemerintah kedepan. Pemerintah juga harus memberikan
jangka waktu tertentu kepada pihak yang bertugas menangani gugatan masyarakat dalam
mengatasi kerugian banjir Jakarta. Oleh sebab itu, pemprov DKI harus membentuk tim fungsional
sementara (ad hoc) yang secara khusus
memberikan pelayanan bagi korban banjir agar dipantau langsung oleh gubernur.
Jangan sampai banjir menjadi bahan politisasi yang merugikan warga Jakarta
nantinya.
Dampak Class Action
Gugatan dengan
mekanisme Class Action memang
bukanlah solusi yang bisa menangani banjir secara keseluruhan. Karena class
action sendiri memiliki tujuan yang jelas jauh berbeda dari penanganan banjir.
Jika dicermati, ada dua aspek dampak yang bisa ditimbulkan oleh gugatan Class Action terhadap pemerintahan Anies
Baswedan, yaitu dampak politik dan perekonomian di pemerintahan.
Class Action yang dilakukan oleh masyarakat hari ini lebih berbau
politis. Apalagi beberapa tokoh dan kalangan yang mengajak masyarakat untuk
melakukan gugatan Class
Action berada
diluar jalur politik Anies Baswedan pada Pilgub 2017 lalu. Salah satunya adalah
Diarson Lubis, yang merupakan politisi asal PDIP dan jelas berseberangan secara
politik dengan Anies. Tidak bisa dipungkiri bahwa Class Action dinilai sarat politik karena tidak terlepas dari
adanya kepentingan politik di tahun 2024 mendatang. Melalui Class Action, banyak politikus yang mengambil manfaat dengan cara
memanfaatkan situasi ini sebagai sarana untuk menggerus elektabilitas Anies
Baswedan dihadapan publik demi kepentingan Pilpres 2024.
Beberapa
alasan mengapa gugatan Class
Action lebih
berbau politik diantaranya adalah karena tokoh-tokoh politik yang bersebrangan
ikut campur dalam urusan ini. Bahkan ikut mengajak dan melabeli pemerintah DKI
dengan kalimat lalai menjalankan tugas. Selain itu, berita banjir seakan
dibesar-besarkan agar publik menilai kinerja pemprov DKI yang kurang serius
menangani masalah-masalah yang ada di Ibu Kota. Bahkan, dikaitkan juga dengan
penanganan banjir di Surabaya yang katanya jauh lebih baik penanganannya
dibandingkan dengan Jakarta. Meskipun pada kenyataannya Jakarta dan Surabaya
adalah dua daerah yang berbeda secara geografis dan tentu permasalahan yang
dihadapi juga berbeda.
Class Action sendiri juga bisa dianggap sebagai sebuah framing
yang datang dari kelompok tertentu dengan tujuan membandingkan pemerintahan DKI
Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok jauh lebih baik dibandingkan dengan Anies.
Padahal, pada banjir tahun 2016 Ahok juga pernah digugat oleh masyarakat dengan
kasus yang sama, jumlahnya pun lebih banyak. Jumlah korban banjir juga jauh
lebih banyak dibandingkan Anies yaitu 1.600 orang berbanding 200.000 orang
(kompas.com).
Dampak
ekonomi dari Class
Action juga
pasti akan muncul, karena tidak bisa dipungkiri anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) akan dipangkas beberapa persen untuk mengganti kerugian
masyarakat yang ditimbulkan oleh banjir. Hal ini tentu akan terjadi bilamana
gugatan masyarakat dipenuhi oleh Pemprov DKI maupun Jabar. Dengan dipangkasnya
APBD pasti akan memberikan pengaruh terhadap program pemerintah baik daerah
maupun pusat yang akan dilaksanakan di masa mendatang.(**)
Penulis: Nur Alim MA, pengamat politik dan
pemerintahan, menetap di Kota Malang.
Editor: Harian Momentum