MOMENTUM, Bandarlampung--Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memperkuat sinergi untuk menindaklanjuti temuan-temuan dari hasil pemeriksaan BPK yang terindikasi merugikan negara. Penguatan sinergi itu akan dimulai dengan memperbarui sejumlah kesepakatan dari kedua lembaga negara tersebut.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, BPK dan KPK akan memulai babak baru kerja sama dalam proses upaya mendukung lembaga antirasuah itu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, kerjasama ini memperbaharui kerja sama sebelumnya yang pernah dilakukan kedua belah pihak pada 2006.
"MoU ini diperbaharui dari nota kesepahaman dulu yang pernah dilaksanakan. Kesepakatan bersama ini (mulai) berlaku hari ini. Maka kesepakatan bersama BPK dan KPK Nomor 01/KB/I-VIII.3/09/2006 dan Nomor 22/KPK-BPK /IX/2006 tentang kerja sama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam konferensi pers usai penandatanganan nota kesepahaman antara BPK dan KPK di Gedung BPK, Jakarta, Selasa (7/1/2019).
Ia mengatakan, kesepakatan ini meliputi tindak lanjut penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi pada kerugian negara dan unsur pidana. Kemudian tindak lanjut terhadap permintaan KPK kepada BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara, pencegahan tindak pidana korupsi, serta pertukaran informasi dan koordinasi. Di samping itu, kesepakatan tersebut juga membahas kewenangan antara BPK dan KPK.
“BPK berwenang melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya kerugian negara dan unsur pidana, sedangkan KPK memiliki wewenang untuk menentukan ada atau tidaknya dugaan tindakan pidana korupsi,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, pihaknya berkumpul ke BPK terkait pembangunan kerja sama atau sinergi sesama anak bangsa kelembagaan antara BPK dan KPK. Menurut dia, kerja sama meliputi empat kesepakatan. Pertama, KPK harus mengetahui betul bahwa BPK selalu membuat dan melakukan investigasi baik itu rutin dengan maksud tertentu dan KPK membutuhkan itu.
Kemudian, lanjut dia KPK membutuhkan SDM dari BPK baik yang diperbantukan di KPK maupun KPK yang meminta tenaga melakukan perbantuan, dalam rangka menghitung kerugian negara atas perkara yang ditangani. "Keempat, ini semangat bersama dalam rangka berantas korupsi dengan titik berat tindak pidana yang merugikan keuangan negara,”kata dia.
Penguatan sinergi merupakan bentuk semangat kedua belah pihak dalam memberantas korupsi terkait pencegahan dan penindakan dengan memperbaiki sistem untuk melakukan perbaikan pengelolaan keuangan negara.
Ketua BPK mengungkapkan empat proyek di lingkungan PT Pelindo II (Persero) merugikan negara lebih dari Rp 6 triliun berdasarkan laporan hasil pemeriksaan. Empat proyek di Pelindo II yang merugikan negara itu yakni perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, proyek Kalibaru, dan juga global bond.
Selain mengidentifikasi kerugian negara, BPK juga mengidentifikasi konstruksi perbuatan
melawan hukum dan mengidentifikasi pihak yang tertanggung jawab. Di Pelindo II, ada juga pemeriksaan kasus mobile crane yang ditangani Bareskrim Polri yang sudah masuk meja hijau dan kasus tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC). Pada dua kasus itu, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan kerugian negara mencapai Rp 30-50 miliar.
Sudah selayaknya BPK dan KPK saling bersinergi, koordinasi dan bekerjasama untuk memberantas praktek korupsi yang semakin lama bisa menjerat dan menenggelamkan Indonesia ke depan, apalagi di masyarakat sudah ada adagium bahwa “korupsi dilakukan secara berjemaah”, maka BPK dan KPK harus meningkatkan profesionalisme dan menipiskan ego sektoral masing-masing untuk bersatu padu memberantas praktek korupsi baik yang dilakukan di kementerian/lembaga, termasuk dalam tubuh TNI, Polri dan institusi intelijen.
KPK periode 2016 s/d 2019 telah melakukan 87 kali operasi tangkap tangan (OTT), dimana sebanyak 327 orang tertangkap dan KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp 63,8 Triliun. Dari 327 orang koruptor yang tertangkap, perinciannya yaitu 156 politikus, pengusaha atau swasta 159, 66 kepala daerah, 5 orang dari K/L, ASN 91 orang, hakim 9 dan jaksa 7 tersangka. KPK juga menetapkan 6 korporasi sebagai tersangka korupsi yaitu PT Duta Graha Indah, PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya, PT Merial Esa, PT Tradha dan PT Palma Satu (17 Desember 2019). Fakta itu menjadi tantangan bagi KPK dibawah kepemimpinan Irjen Firli untuk semakin berprestasi dengan UU KPK yang baru (UU No 19 Tahun 2019).
Mengacu kepada studi Rimawan Pradiptya dan kawan-kawan (UGM, 2018) mencatat, dari 542 pelaku korupsi sepanjang 2001-2015 yang mengakibatkan kerugian negara Rp 203,9 triliun, total hukuman finansial yang dijatuhkan hanya dapat mengembalikan kerugian negara Rp 21,26 triliun (sekitar 10 persen). Perhitungan biaya sosial akibat korupsi itu sekurang-kurangnya mencapai 2,5 kali lipat dari kerugian negara (Rp 509,75 triliun). Indonesia juga belum memilliki big data korupsi sehingga skema pencegahan dan pemberantasan korupsi masih parsial.(**)
Oleh: Johan Kogoya. Penulis adalah Pemerhati masalah Indonesia.
Editor: Harian Momentum