MOMENTUM, Bandarlampung--Akhir tahun 2019 masyarakat Indonesia dikagetkan dengan munculnya kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya. Kasus ini menjadi perhatian publik ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) mengambil alih penanganan kasus tersebut dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi DKI Jakarta pada Desember 2019.
Kasus ini sendiri menyeruak sejak PT Jiwasraya gagal membayar polis JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar, yang merupakan produk unggulannya sendiri, pada bulan Oktober 2018. Namun jauh sebelum itu, tepatnya sejak tahun 2008, PT Jiwasraya sendiri sudah bermasalah secara keuangan.
Lazimnya terdapat dua metode untuk menyelesaikan kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya. Metode pertama adalah metode hukum yaitu hukum menjadi panglima sehingga proses penyelesaian masalah dari hulu hingga hilir murni menggunakan jalur hukum dan tidak diintervensi oleh politik. Metode kedua adalah metode non-hukum atau politis yaitu bahwa intervensi politik lebih mendominasi dibandingkan jalur hukum dalam menyelesaikan suatu kasus.
Terkait dengan kasus dugaan korupsi yang membelit PT Asuransi Jiwasraya, Pemerintah sejatinya telah menempuh metode hukum melalui penyidikan dan pemeriksaan yang dilakukan Kejagung RI terhadap berbagai pihak terkait. Selain itu, Kejagung juga telah melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membantu mengungkap kasus tersebut. Hingga saat ini, Kejagung RI telah menetapkan sejumlah tersangka kasus dugaan korupsi tersebut antara lain Hary Prasetyo (Direktur Keuangan Jiwasraya Periode 2008-2018. Hary Prasetyo sendiri sempat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP) di bawah kepemimpinan Moeldoko pada tahun 2018 lalu.
Penetapan Hary Prasetyo tersebut memicu reaksi sejumlah Parpol. Posisi Hary Prasetyo sebagai mantan Tenaga Ahli Utama dibawah Moeldoko menimbulkan spekulasi adanya keterkaitan kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya dengan Istana. Padahal, kasus ini sejatinya adalah dugaan korupsi murni yang tidak memiliki keterkaitan dengan Istana. Sebagai respon atas penetapan tersangka tersebut, setidaknya dua Parpol mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Jiwasraya yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi menyampaikan, parlemen perlu mempertimbangkan pembentukan Pansus untuk menangani kasus PT Jiwasraya. Keberadaan Pansus dapat mempertajam proses investigasi dalam membongkar kasus Jiwasraya lebih detail. Serupa dengan Partai Demokrat, Anis Byarwati (Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS) menyampaikan, Pansus adalah mekanisme terbaik untuk mengusut tuntas kasus PT Jiwasraya karena masalah yang membelit PT Jiwasraya sangat sistemik.
Upaya PD dan PKS membentuk Pansus Jiwasraya adalah metode non-hukum atau politis dalam menyelesaikan kasus tersebut. Jelas sekali bahwa PD dan PKS berkeinginan membentuk Pansus tersebut karena berkeyakinan bahwa kasus dugaan korupsi Jiwasraya memiliki keterkaitan dengan Istana dengan indikasi bergabungnya Hary Prasetyo dalam KSP. Upaya ini hanya akan memperpanjang proses penyelesaian kasus Jiwasraya serta berpotensi menghambat upaya Kejagung membongkar kasus tersebut. Hal ini tentu saja berdampak pada proses pengembalian dana nasabah Jiwasraya yang akan memakan waktu semakin lama.
Oleh karena itu, marilah kita percayakan kepada Kejagung untuk segera membongkar kasus dugaan Jiwasraya sehingga para nasabah Jiwasraya cepat mendapat penggantian dari Pemerintah. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan berbagai langkah lanjutan untuk menyehatkan keuangan PT Jiwasraya dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap PT Jiwasraya. Yang terpenting, segala upaya tersebut harus diikuti dengan pembenahan struktural dalam tubuh PT Jiwasraya dan membangun budaya anti korupsi dalam perusahaan sehingga kasus korupsi tidak terulang kembali di masa mendatang.(**)
Oleh: Yahya Bahasoan. Penulis adalah Pengamat Perekonomian
Editor: Harian Momentum