MOMENTUM, Bandarlampung--Sebaik apapun sistemnya, selalu ada celah untuk tindak korupsi. Mengingat korupsi substansi sebenarnya bukan pada urusan seberapa banyak hukum yang menyangsi dan tindakan tersebut tapi jauh lebih kompleks. Korupsi terjadi lebih pada buruknya pertalian antara faktor-faktor struktur demokrasi, sistem hukum, dan urusan intregitas seseorang atas pekerjaannya itu.
Namun bukan berarti aturan tak perlu diperketat. Justru dengan diperketat akan membantu menutup celah untuk bertindak korupsi, lebih-lebih aturan mengenai kepartaian. Partai sebagai satu-satunya sarana politik yang sah dalam sistem demokrasi, yang sebut-sebut sumber dari segala perkara korupsi. Ironi memang, tapi fakta berbicara demikian.
Biaya politik yang mahal dengan adanya politik elektoral, sikap elitis dengan logika kuasa yang masih mendominasi proses politik, ditambah sistem keuangan partai yang bermasalah, tidak tranparan, tidak akuntabel, sehingga jadi sumber masalah dana gelap pembiayaan partai adalah penyebab terciptanya peluang korupsi.
International Corruption Watch (ICW) pernah merilis data kasus korupsi 2014-2019 ada 22 anggota Dewan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat eksekutif daerah tercatat 105 kasus korupsi dengan 90 di antaranya melibatkan bupati dan walikota, sedangkan 15 sisanya melibatkan gubernur. Lagi-lagi hampir mayoritas pelakunya adalah anggota partai atau terafiliasi ke partai.
Sebagai sarana yang paling sah berpolitik di alam demokrasi, tentunya partai politik perlu berbenah diri. Memburuknya citra partai di masyarakat dan masih banyaknya anggota partai yang tersangkut korupsi perlu dijadikan momentum untuk mengembalikan kembali fungsi kepartaian. Partai selama ini cenderung berjalan formalitas belaka, sementara visi dan spirit partai tak pernah terwujud di aktifitas kepartaian. Sehingga, yang terjadi berebut elektabilitas ketimbang kualitas dari capaian visi partai.
Di alam demokrasi, partai politik hadir untuk mengganti sarana perjuangan masyarakat yang sebelumnya untuk mencapai tujuan dan ketika terjadi beda pendapat, diselesaikan lewat angkat senjata, baku hantam sampai pertumpahan darah. Namun sekarang dengan adanya partai cukup melalui beradu argumen dan electoral vote tentunya atas dasar hukum yang berlaku, masalah dapat diangkat dan diselesaikan. Oleh karena itu, tujuan partai politik di alam demokrasi adalah merebut kekuasaan secara damai dan kostitusional melalui pemilihan umum. Dengan kekuasaan eksekutif atau legislatif maka harapan partai untuk mewujudkan idiologinya dapat relatif dangan mudah dilaksanakan tanpa harus adanya pertumpahan darah.
Dengan demikian partai politik perlu menguatkan kembali perannya dalam memberantas korupsi karena itu merupakan visi ideologinya. Hampir semua partai pasti menginginkan kesejahteraan rakyat, sehingga tak mungkin ada partai yang berideologi membolehkan korupsi karena kesejahteraan rakyat tak mungkin tercipta bila korupsi ada, itu paradoks.
Untuk menguatkan peran partai, langkah awal, partai politik harus memiliki tanggung jawab moral karena telah mendidik dan mengantarkan anggotanya ke lingkaran kekuasaan, sehingga dari internal partai bila anggotanya korupsi maka langsung memecatnya, tidak melindunginya, dan serta turut serta bekerjasama dengan lembaga penindak korupsi membantu mengungkap kasus tersebut. Kemudian, dari internal elit partai juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap intregitas anggotanya sehingga bisa terkontrol dan tidak mendekati perbuatan korupsi.
Pola rekrutmen tak kalah penting dibenahi. Dalam hal ini partai politik harus punya pola rekrutmen yang terbuka, demokratis, dan akuntabel sehingga bisa diukur kesungguhan mereka. Dengan kata lain, penilaian rekrutmen pengurus partai dan pejabat publik lebih menekankan kepada keahlian, kecakapan teknis, dan pengalaman berorganisasi ketimbang rekrutmen yang didasarkan atas kedekatan personal atau pragmatis semata. Mengingat citra yang terbangun selama ini, mendekati masa pemilihan Parpol justru menyodorkan sosok calon wakil rakyat yang cenderung mengedepankan status sosial, yakni dari kalangan borjuis maupun kelompok kepentingan, bukanlah ideologi maupun potensi yang dimiliki oleh si calon wakil rakyat. Dan hal inilah, yang menjadi salah satu factor maraknya tindakan korupsi, yang sering masyarakat sebut sebagai praktik politik dagang sapi atau jual-beli di ranah perpolitikan.
Selanjutnya, partai perlu mengatur pengelolaan keuangan partai yang akuntabel dan transparan sehingga publik secara luas dapat mengaksesnya. Hal ini berdasar amanat UU nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Partai punya kewajiban untuk mempublikasikan informasi partai, termasuk keuangan ke masyarakat. Dengan dipublikasikan informasi dan keuangan partai ke publik, tentu melahirkan iklim saling mengawasi diantara partai dan masyarakat, sehingga memunculkan kepercayaan satu sama lain. Hal ini tentunya bisa mencegah tindak korupsi dan otomatis menguatkan peran partai dalam sistem demokrasi.
Pada akhirnya, besar harapan partai mampu menjadi teladan ke masyarakat dalam pencegahan korupsi. Selayaknya partai mendampingi masyarakat untuk membangun ekosistem yang bebas korupsi. Untuk itu, pembenahan internal setiap partai segera dilakukan. Karena, apabila setiap partai politik steril dari praktik korupsi, lembaga yang lain pun akan ikut steril dengan sendirinya.(**)
Oleh: Almira Fhadillah. Penulis adalah Mahasiswi Universitas Gunadharma>
Editor: Harian Momentum