MOMENTUM, Bandarlampung--Pertama kali saya injakkan kaki di pulau ini, banyak keluh kesah yang saya dengar tentang ketidakadilan yang diterima oleh warga di sini. Tadinya saya berpikir, ketidakadilan itu hanya dilakukan oleh orang-orang dari luar pulau ini saja. Tapi ternyata, warga di sini pun bisa berlaku tidak adil terhadap sesamanya. Kata-kata itu diucapkan Ibu Gembala, guru yang mengajar Denias dalam film Denias, Senandung di Atas Awan (John de Rantau, 2006). Kata-kata itu ia ucapkan ketika Denias, murid kesayangannya, mengalami kesulitan untuk masuk sebuah sekolah yang diperuntukkan kalangan tertentu.
Begitulah, “ketidakadilan” adalah kata yang sering dilekatkan bagi warga Papua bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah di Indonesia lainnya. Upaya mewujudkan keadilan sebenarnya telah diupayakan dan diatur dalam Undang-Undang. Pada 22 Januari 2020, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengusulkan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, salah satunya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua (Indonews, 1-2-2020).
RUU itu menjadi penting untuk dikaji karena aliran dana Otsus dari pemerintah pusat ke Provinsi Papua dan Papua Barat sesuai RUU akan berakhir pada 2021 mendatang. Sejak 2001, Papua (dalam hal ini Provinsi Papua dan Papua Barat) mendapatkan dana Otsus sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional yang dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan di Papua. Besaran dana Otsus yang diterima Papua selalu meningkat tiap tahun.
Namun, manfaat dana Otsus selama ini belum terasa signifikan dalam peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan bila mengukurnya dengan beberapa parameter. Sebagai contoh, di bidang pendidikan, Angka Melek Huruf (AMH) pada 2018 di Provinsi Papua adalah 76,79%; itu masih di bawah rata-rata nasional, yaitu 95,66%. Belum lagi kalau kemajuan pendidikan diukur dari beberapa parameter seperti ketersediaan guru, akses terhadap fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Begitu juga dengan peningkatan kualitas kesehatan.
Karena itu, bila dana Otsus masih akan dilanjutkan, perlu ada tindakan pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan dalam pencairannya. Perlu ada asesmen, atau semacam key performance indicators, untuk mengukur penggunaan atau pemanfaatan dana Otsus yang diberikan sejak tahun 2001: apakah tepat sasaran, melenceng, atau malah digunakan untuk hal-hal yang tidak signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan di Papua? Apakah ketidakadilan—dalam hal ini penyalahgunaan anggaran, atau dana Otsus—juga kerap terjadi di Papua, mirip kata-kata Ibu Gembala di atas?
Walaupun selama pemerintahan Presiden Jokowi telah dilakukan berbagai pembangunan infrastruktur, peningkatan frekuensi berkunjung, dan kebijakan satu harga bahan bakar, namun kesenjangan dalam berbagai hal antara Papua dan provinsi-provinsi lainnya masih terasa. Pembahasan RUU Otsus dengan demikian menjadi penting untuk dijadikan prioritas, tapi juga jangan sampai mengesampingkan dialog antara pemerintah pusat dengan Papua. Apalagi, di luar masalah peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan, benih-benih separatisme telah mengendap sekian lama di Papua, dan keinginan Papua untuk “merdeka” kerap melahirkan gejolak.(**)
Oleh: Stanislaus Riyanta. Penulis adalah mahasiswa doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Editor: Harian Momentum