MOMENTUM, Bandarlampung--Dalam tulisannya berjudul “Keindonesiaan di Asrama Mahasiswa” yang dimuat di Koran Tempo pada 14 Maret 2015, Muhammad Yunan Setiawan mengingatkan kita bahwa sejarah nasionalisme Indonesia pada dekade kedua abad ke-20 bersumber dari asrama mahasiswa.
Dalam tulisan tersebut, Muhammad Yunan Setiawan juga menggambarkan bagaimana flat Ahmad Soebardjo (salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia) di Belanda dikunjungi anggota Perhimpunan Hindia untuk membicarakan permasalahan aktual dan membahas nasionalisme Indonesia. Adapun salah satu tokoh bangsa yang turut nimbrung membahas berbagai permasalahan tersebut adalah Proklamator RI dan mantan Wapres RI Mohammad Hatta.
Sekitar hampir satu abad kemudian, asrama mahasiswa kembali menjadi salah satu tempat bersejarah, meskipun dalam konteks berbeda. Tepatnya di Asrama Kamasan Papua Surabaya, Jatim, terjadi perusakan tiang Bendera Merah Putih oleh oknum tidak bertanggung jawab di depan asrama yang memicu terjadinya teriakan rasialis kepada para penghuni asrama. Kemudian, beredar video teriakan rasialis tersebut di media sosial dan menjadi viral, sehingga memicu munculnya berbagai aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat yang dilakukan masyarakat karena tersinggung atas teriakan rasialis dalam video tersebut.
Apa persamaan kedua cerita di atas? Yaitu adanya asrama mahasiswa namun terjadi perubahan orientasi yang cukup jauh dari apa yang terjadi pada masa pra-kemerdekaan dan pada masa kini. Sebagaimana telah sedikit dijelaskan di atas, asrama mahasiswa pada masa pra-kemerdekaan merupakan tempat berkumpul para intelektual untuk berdiskusi, berbincang, bahkan membuat action plan dalam rangka menginisiasi upaya kemerdekaan Indonesia.
Sementara itu, realitas asrama mahasiswa pada masa kini amat jauh dari kondisi pada masa pra-kemerdekaan dulu. Asrama mahasiswa tidak lagi dijadikan tempat untuk bertukar gagasan dan ide untuk menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara, namun dijadikan tempat untuk menginisiasi kegiatan demonstrasi atau aksi unjuk rasa berlatar kepentingan politis oknum tertentu. Selain itu, asrama mahasiswa saat ini lebih banyak didirikan berlatar belakang kedaerahan, seperti Asrama Mahasiswa Papua, Asrama Mahasiswa Kalimantan Barat, Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan, dan lainnya.
Dalam upaya membangun identitas kebangsaan, diperlukan konsep asrama mahasiswa yang inklusif, berwawasan nasionalisme, dan mampu meningkatkan IPTEK maupun IMTAQ para penghuninya. Dengan demikian, generasi mahasiswa yang lahir dari dalamnya adalah generasi yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual mumpuni, melainkan juga memiliki soft skill yang baik, akhlak yang terpuji, serta berwawasan kebangsaan.
Pada titik inilah upaya Pemerintah Pusat membangun Asrama Mahasiswa Nusantara patut diapresiasi. Asrama Mahasiswa Nusantara adalah konsep asrama mahasiswa yang diinisiasi Pemerintah untuk dapat menyatukan mahasiswa dari berbagai daerah dalam satu tempat guna meningkatkan nilai kebangsaan, membangun tradisi multikultur, dan menanamkan komitmen pada NKRI. Asrama Mahasiswa Nusantara juga akan dilengkapi sejumlah fasilitas seperti perpustakaan dan ruang bina entrepreneurship. Asrama Mahasiswa Nusantara akan dibangun Pemerintah Pusat di enam lokasi yaitu, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Manado, Kota Makassar, Kota Jakarta, dan Kota Yogyakarta. Kapasitas Asrama Mahasiswa Nusantara diperkirakan antara 250 hingga 750 orang, yang akan diisi oleh mahasiswa dari berbagai daerah.
Mahasiswa dan pemuda sebagai tulang punggung bangsa dan negara, perlu disiapkan sejak dini agar dapat menghadapi berbagai tantangan dan hambatan baik pada masa kini maupun pada masa mendatang. Oleh karena itu, langkah Pemerintah Pusat menginisiasi pembentukan Asrama Mahasiswa Nusantara merupakan langkah yang amat strategis dan bernilai jangka panjang, sehingga akan terbentuk mahasiswa Indonesia yang berwawasan kebangsaan, inklusif, dan berkomitmen kuat terhadap NKRI.(**)
Oleh: Fikri Syariati, Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik.
Editor: Harian Momentum