MOMENTUM, Bandarlampung--Kepala daerah dinilai masih gagap dalam memahami regulasi sehingga acapkali melahirkan kebijakan yang bertolak belakang untuk mendukung iklim investasi di daerah. Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Teras Narang di Jakarta (24/2/2020) mengatakan bahwa salah satu penyebab pembangunan daerah terhambat akibat kepala daerah bias dalam memahami regulasi.
Menurutnya, akibat salah paham dalam memahami regulasi menyebabkan para kepala daerah sering membuat kebijakan yang berdampak buruk terhadap pembangunan.
Dia menilai pemerintah sejatinya berupaya untuk mempercepat laju pembangunan di daerah. Namun, upaya itu tidak diimbangi dengan hadirnya regulasi yang bisa menyesuaikan antara pusat dan daerah.
Satu sisi, katanya, kepala daerah yang tidak paham dengan regulasi harus berhadapan dengan hukum karena kasus-kasus korupsi.
“Kalau melihat itu, terlihat bahwa NKRI sudah berupaya secara terus menerus dalam rangka pemberantasan korupsi ini. Dan ini meyakinkan kepada kita bahwa korupsi adalah extra ordinary crime,” ujarnya.
Guna mendorong pembangunan daerah, katanya DPD memiliki peran secara kelembagaan yakni dari sisi legislasi, pengawasan, dan terakhir representasi.
Terkait dengan investasi di daerah, sempat menjadi sorotan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahli Lahadalia, untuk menggerakan investasi di daerah, Bahlil meminta persetujuan dari Presiden Joko Widodo untuk memberikan dana alokasi khusus kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Upaya itu bertujuan agar daerah yang memiliki layanan satu pintu investasi bekerja secara optimal dan lebih cepat.
Menurut penulis, sebenarnya sinyalemen banyak kepala daerah yang gagap dalam memahami regulasi sangat mungkin dipahami, apalagi jika kepala daerah tersebut adalah figur baru dan belum memiliki pengalaman dalam pemerintahan, sedangkan kepala daerah yang sudah berpengalaman maka seharusnya tidak gagap lagi dalam memahami regulasi, kecuali will atau keinginannya yang patut dipertanyakan, atau tata kelola pemerintahan dan regulasinya yang tumpang tindih sehingga perlu diperbaiki.
Tumpang tindih regulasi memang sudah dikeluhkan banyak kalangan, terutama kalangan pelaku bisnis dan investor bahkan overlapping ini menyebabkan daya saing investasi Indonesia kurang baik dan kurang berkembang secara signifikan, termasuk “rent seeker” yang mengular dan “raja raja kecil” dibidang perijinan dan regulasi telah menjadi momok dalam upaya pemerintah menggaet investor menaruh uangnya ke Indonesia.
Upaya strategis yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat UU Omnibus Law yang memiliki 11 kluster permasalahan yang perlu dibenahi agar sistem di Indonesia menjadi kompetitif, namun permasalahannya sekali lagi tidak gampang menyederhanakan regulasi, karena tuduhan ke pemerintah sudah cukup beragam bahkan beberapa kelompok oposan pemerintah berencana menggunakan isu Omnibus Law ini sebagai isu bersama untuk menarik jutaan massa sebelum, selama dan sesudah perayaan Mayday atau hari buruh internasional pada 1 Mei 2020 mendatang.
Tidak gampang menyederhanakan regulasi dalam rangka menarik investasi, namun roda perekonomian perlu terus berjalan. Kalangan buruh juga perlu memahami bahwa peningkatan gaji atau pendapatan mereka juga harus diimbangi dengan peningkatan kinerja dan kemampuan kalangan buruh dalam bekerja membesarkan perusahaan, karena sejatinya baik perusahaan dan buruh sama-sama menginginkan perusahaan berkembang maju sehingga berdampak positif bagi kedua belah pihak.
Pemerintah juga diharapkan tetap melindungi kepentingan nasional dalam hal ini “kepentingan wong cilik” dan tidak buta atau keblinger mencari investasi tanpa memperhatikan dampak negatif investasi, seperti menumpuknya utang atau investasi malah dimakan oleh oknum-oknum koruptor, karena akan menjadi sebuah ironi.(**)
Oleh: Otjih S, Penulis adalah pemerhati masalah Indonesia
Editor: Harian Momentum