MOMENTUM, Bandarlampung--Makin lama pandemi berlangsung, makin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk memitigasi dampak COVID-19 terhadap berbagai sektor.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan berbagai insentif dan bantuan untuk sejumlah sektor terdampak. Namun, kebijakan itu dinilai sejumlah pihak belum terarah dan terimplementasi dengan baik. Tak hanya mendorong percepatan program, Presiden pun acapkali memerintahkan pemberian insentif tambahan.
Sebagai contoh, dalam rapat terbatas mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata yang digelar Kamis (16-4-2020), Presiden memerintahkan pemberian program perlindungan sosial bagi pekerja di industri pariwisata, program padat karya, dan pemberian stimulus ekonomi.
Dalam rapat terbatas sehari sebelumnya, Presiden juga menginstruksikan perluasan pemberian insentif bagi UMKM. Sejauh ini, pemerintah telah menambah belanja APBN 2020 senilai Rp405,1 triliun yang diarahkan untuk sejumlah sektor seperti kesehatan, sosial, dan industri.
Anggaran bantuan sosial (bansos) pun dicairkan lebih awal. Perihal seberapa kuat APBN dapat mendanai kebutuhan belanja insentif dan bantuan penanganan COVID-19 hingga pandemi berakhir, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani enggan berkomentar. Sebagai catatan, penambahan belanja penanganan COVID-19 telah memperlebar defisit anggaran hingga 5%. Selain memperlebar defisit, pemerintah juga menyisir anggaran yang bisa direalokasikan untuk penanganan COVID-19.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan situasi fiskal pemerintah sedang dalam posisi terjepit. Penerimaan pajak terus tergerus akibat banyaknya stimulus dan penurunan aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja terus bertambah. Adapun, tambahan anggaran senilai Rp405,1 triliun dinilai tidak tepat sasaran karena proporsinya masih timpang. Menurutnya, mayoritas tambahan anggaran tersebut harus diarahkan untuk jaring pengaman sosial.
Di lain pihak, kalangan pengusaha menilai dana untuk insentif selama masa pandemi harus dieksekusi secara cermat agar tidak berujung pada pemborosan APBN. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengemukakan, ada tiga kriteria kebijakan prioritas dalam pengalokasian anggaran penanganan COVID-19. Pertama, anggaran untuk penanganan dan pengendalian COVID-19. Kedua, anggaran untuk pengeluaran jaring pengaman sosial, terutama guna melindungi daya beli masyarakat menengah-bawah sepanjang masa pandemi. Ketiga, anggaran untuk mendukung kebutuhan pergerakan ekonomi pelaku usaha, khususnya dalam hal memberikan ruang finansial bagi perusahaan agar kegiatan ekonomi tetap bergerak senormal mungkin sepanjang masa pandemi.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono berpendapat, anggaran harus diprioritaskan untuk bantuan-bantuan yang memiliki manfaat ganda. Selain itu, pengembangan pebisnis baru juga harus jadi perhatian.
Ekonom Core Indonesia Akhmad Akbar Susanto menilai, insentif dari pemerintah harus difokuskan untuk memperkuat ketahanan perekonomian nasional dan menekan jumlah pengangguran. Hal itu dapat dilakukan dengan mendorong dunia usaha mengoptimalkan berbagai alternatif untuk mempertahankan tenaga kerja mereka. Selain itu, bantuan juga dapat diberikan lewat percepatan distribusi bantuan sosial.
Di tengah kebutuhan mendesak pemberian bantuan sosial tunai bagi pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah melalui program Kartu Prakerja justru lebih mementingkan pemberian pelatihan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengalami defisit Rp76,4 triliun atau 0,45 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka realisasi defisit tersebut jauh di bawah target awal APBN 2020 yang ditetapkan 1,76 persen, apalagi berdasarkan target Perppu Nomor 1/Tahun 2020 yang dilebarkan menjadi 5,07 persen. Sri Mulyani menjelaskan, defisit ini terjadi karena selama peridoe tersebut realisasi pendapatan negara tercatat hanya Rp375,9 triliun atau tumbuh 7,7 persen dibanding periode sama tahun lalu dan 16,8 persen dari keseluruhan target APBN setahun.
Sementara itu, belanja negara mencapai Rp452,4 triliun atau hanya tumbuh 0,01 persen dan setara dengan 17,8 persen dari total target APBN setahun.
Menkeu merinci, belanja negara yang mencapai Rp452,4 triliun tersebut meliputi belanja kementerian/lembaga sebesar Rp143 triliun, naik 11 persen dari periode yang sama 2019 serta belanja non K/L yang sebesar Rp134,9 triliun atau hanya tumbuh 2,2 persen dari periode yang sama 2019.
Hingga 31 Maret 2020, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) mengalami kontrkasi 8,8 persen dari periode sama tahun lalu yakni terealisasi Rp174,5 triliun. Pada periode yang sama 2019, jumlah TKDD mencapai Rp191,3 triliun.
Menurut penulis, pandemi Covid-19 jelas telah menghadirkan strong signals yang menggelisahkan dan mengkhawatirkan perekonomian nasional, karena beberapa sektor ekonomi sudah mengalami stagnan, penurunan produksi, terlilit hutang, tidak lancarnya cash flow dan merumahkan banyak tenaga kerjanya. Kondisi ini jelas menunjukkan situasi ekonomi nasional belum terlalu kuat menghadapi “global economic turbulence”, dan situasi bisa jadi memburuk jika penanganan Covid-19 kurang berhasil dicapai dalam tiga bulan ke depan.
Menyikapi dampak negatif Covid-19 terhadap stabilitas keamanan, menurut penulis maka Presiden Joko Widodo perlu memerintahkan Mabes TNI, Mabes Polri, BIN dan jajaran Menko Polhukam untuk pertama, memonitor dan melaporkan situasi dan kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat di wilayah masing-masing. Kedua, mendorong Forkompimda supaya terus menerus mencarikan solusi komprehensif penanganan efek negatif Covid-19. Di samping itu, Kominda terus memantau pergerakan kelompok oposan di wilayah masing-masing menyikapi dilema penanganan Covid-19 dan situasi kondisi ekonomi masyarakat.
Presiden Joko Widodo juga perlu memerintahkan jajaran Kemenko Perekonomian terus mencari solusi mendongkrak daya beli masyarakat yang lesu dan melemah akibat Covid-19.
Di samping itu, kepada Kemenlu dan Kemenkeu perlu diperintah oleh Presiden untuk segera melakukan lobi-lobi ke berbagai negara kreditor untuk mengupayakan adanya keringanan pembayaran hutang bahkan debt swap. Semoga.(**)
Oleh: Oliver Masdarsada, penulis adalah pemerhati masalah ekonomi politik.
Editor: Harian Momentum