Kenapa Buruh Mesti Demo RUU Omnibus Law

img
ilustrasi.

MOMENTUM, Bandarlampung--Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law pada 30 April 2020. Presiden KSPI Said Iqbal menyerukan seluruh elemen buruh untuk ke DPR-RI guna mendesak DPR-RI menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena menganggap DPR-RI dan Pemerintah tidak punya nurani di tengah Pandemi Covid-19. Seruan tersebut pun ditujukan untuk seluruh elemen buruh di daerah agar melakukan aksi serupa secara serentak di seluruh Indonesia.

Satu hal yang menggelitik dari seruan aksi elemen buruh tersebut yakni didasari alasan DPR-RI dan Pemerintah dinilai cenderung memaksakan pembahasan RUU Omnibus Law di tengah Pandemi Covid-19 dan meminta agar fokus dalam penanganan penyebaran Corona di masyarakat. Lantas, apakan seruan Presiden KSPI Said Iqbal tersebut dapat menjamin para buruh tetap mengikuti aturan social distancing dalam aksi tersebut, meskipun dirinya memastikan para buruh paham akan aturan tersebut.

Isu yang diangkat untuk menstimulan reaksi penolakan massa buruh terhadap RUU Omnibus Law karena RUU tersebut dianggap merugikan buruh, menghapus ketentuan upah minimum di Kab/Kota, hingga menurunkan pesangon. Selain itu, KSPI mengganggap Omnibus Law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas dan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. Selain itu, jam kerja yang dianggap eksploitatif serta penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang semakin bebas. Akan tetapi apakah alasan penolakan RUU Omnibus Law tersebut sudah dipahami secara menyeluruh oleh masing-masing individu buruh atau memang hanya menjaga emosional solidaritas buruh yang selalu satu suara ketika menyangkut kesejahteraan buruh.

Dikutip kompas.com, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam rapat kerja bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI pada 14 April 2020, memaparkan draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang merupakan usulan pemerintah. Airlangga menyatakan RUU Cipta Kerja bertujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 melalui upaya pemenuhan hak warga negara atas hak pekerjaan dan penghidupan layak melalui RUU Cipta Kerja di antaranya memberikan pelindungan bagi UMKM, peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja, hingga percepatan proyek strategis nasional. Tujuannya adalah menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dan merata di seluruh NKRI dalam rangka memenuhi hak atas pemenuhan hidup yang layak melalui kemudahan dan pelindungan UMKM, peningkatan ekosistem investasi.

RUU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster pembahasan yang dituangkan dalam 15 bab dan 174 pasal. Sebelas klaster pembahasan RUU Cipta Kerja yakni, 1) Penyederhanaan Perizinan (52 UU, 1.042 pasal) 2) Persyaratan Investasi (4 UU, 9 pasal) 3) Ketenagakerjaan (3 UU, 63 pasal) 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM dan Perkoperasian (3 UU, 6 pasal) 5) Kemudahan Berusaha (9 UU, 20 pasal) 6) Dukungan Riset dan Inovasi (1 UU, 1 pasal) 7) Administrasi Pemerintahan (2 UU, 11 pasal) 8) Pengenaan Sanksi (norma baru) 9) Pengadaan Lahan (2 UU, 14 pasal) 10) Investasi dan Proyek Strategis Nasional (norma baru) 11) Kawasan Ekonomi (3 UU, 37 pasal).

Sebagaimana mekanisme pembuatan Undang-Undang yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, proses pembahasan penyusunan RUU sangatlah panjang dan ada beberapa tahapan yang harus dipenuhi seperti, kelengkapan Naskah Akademik, pembahasan di tingkat rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran atau rapat panitia khusus. Kemudian dilanjutkan dengan pengantar musyawarah, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan penyampaian pendapat fraksi, baru kemudian dibahas dalam rapat paripurna. Selanjutnya akan ada pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakili. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat maka keputusan melalui vooting.

Dengan serangkaian tahapan panjang yang harus dipenuhi dalam pembahasan suatu Undang-Undang, maka rasanya terlalu prematur apabila elemen buruh menyerukan aksi penolakan terhadap pembahasan RUU Omnibus Law. Selain itu, seruan aksi yang dikemukakan oleh Presiden KSPI Said Iqbal di tengah Pandemi Covid-19, semakin menunjukkan egosentrisme sepihak tanpa memikirkan keselamatan para buruh. Virus Corona adalah ancaman tak nampak yang sangat besar kemungkinan ada dalam kerumunan massa. Untuk itu, World Health Organization (WHO) menyerukan guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19 diserukan dengan gerakan Physical Distancing. Kenapa KSPI mengorbankan para buruh untuk semakin terbuka terpapar Covid-19.

Demonstrasi atau menyampaikan gagasan di muka umum merupakan sebuah hak kebebasan bagi seluruh warga negara Indonesia dan diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun terkadang di beberapa kejadian demonstrasi terjadi kekeliruan dari sisi pendemo ataupun pihak yang didemo, sehingga terdapat beberapa anggapan setiap aksi demo itu harus dipenuhi segala tuntutannya.

Indonesia adalah Negara demokrasi dengan ideologi Pancasila. Alangkah baiknya sistem demonstrasi di Indonesia berjalan baik dari segala pihak mulai dari musyawarah mufakat maupun ruang diskusi antara Pemerintah, DPR-RI dan elemen buruh agar ada titik temu atau saling sumbang ide agar nantinya RUU Omnibus Law menjadi suatu regulasi yang kembali lagi bertujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 melalui upaya pemenuhan hak warga negara atas hak pekerjaan dan penghidupan layak melalui RUU Cipta Kerja di antaranya memberikan pelindungan bagi UMKM, peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja, hingga percepatan proyek strategis nasional.(**)

Oleh: Iqbal Fadillah.






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos