Pasang Surut Budaya Baca Masyarakat

img
Arief Azizy.

MOMENTUM, Bandarlampung--Menilik jauh budaya membaca semakin meresahkan. Apalagi, semenjak budaya teknologi yang lambat laun merasuki kita.

Hingga saat ini, gelombang besar teknologi sangat memberikan perubahan besar terhadap budaya membaca masyarakat.

Meski begitu, kita semua tidak bisa menolak gelombang deras teknologi tersebut bahkan mau tidak-mau harus sama-sama melebur dengan kenyataan itu.

Meski di Indonesia memiliki hari istimewa terhadap perayaan buku, tidak berarti juga perayaan itu semeriah yang dibayangkan. Perayaan itu tidak pernah seramai pentas musik dangdut, konser musik lainnya, dan bahkan tidak semeriah malam minggu di Alun-alun.

Kegiatan perayaan hari buku itu lebih banyak dilakukan dalam kesenyapan seperti sarasehan, seminar, pameran buku, perpustakaan keliling, dan hadirnya taman baca di tengah masyarakat.

Hari Buku Nasional yang sering kita peringati menjadi hanya sebuah peringatan yang tanpa memiliki banyak makna dan gerakan. Padahal, jika kita dapat memahami hakikat perayaan Hari Buku Nasional itu merupakan hari pengangkatan harkat dan martabat manusia melalui penyandaraan bangsa agar meraka sadar akan pentingnya budaya membaca. Namun, event seperti itu tidak pernah menarik untuk dijadikan kegiatan besar apa lagi dalam bentuk kegiatan masif secara nasional agar masyarakat menggemari buku dan membudayakan membaca.

Bisa dikatakan kita masih menutup mata terhadap kondisi budaya membaca bangsa Indonesia ini. Kemampuan membaca permulaan saja, seperti membaca pada taraf “melek huruf” dan minat baca ternyata masih sangat rendah sekali. Hasil penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis United Nations Development Programs (UNDP) pada tahun 2002 menyebutkan bahwa data “melek huruf” orang Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. 

Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 pada tahun 2009 dari sini kita dapat melihat budaya literasi di Indonesia masih tidak membanggakan. Dapat dibayangkan bersama, jika data “melek huruf” saja masih serendah itu, membutuhkan beberapa tahun agar masyarakat Indonesia memiliki budaya baca sehingga mampu menguasai ilmu pengetahuan.  

Pada tahun 2009 hasil penelitian Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) mengungkap bila budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Lebih memrihatinkan lagi, indeks minat baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2012 hanya 0,001. Artinya, setiap 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca yang baik.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin bangsa kita memiliki budaya baca secara baik. Budaya membaca pasti dimiliki oleh orang yang sudah mahir membaca saja. Apa lagi jika yang dimaksud adalah membaca untuk menyerap informasi dan memberi tanggapan kritis terhadap berbagai jenis informasi dalam bacaan, kondisi bangsa Indonesia pasti akan jauh lebih rendah lagi.

Jika dilihat data sejak tahun 2002, 2009, dan 2012 hingga saat ini, ternyata kondisi budaya membaca masyarakat Indonesia tidak ada perubahan. Berarti ada sesuatu yang salah dengan pendidikan dan lingkungan di negeri ini. Dengan data seperti itu, dapat dimaknai bahwa daya saing dan daya tawar bangsa Indonesia sangat rendah terhadap bangsa lain. Jika tidak segera diambil langkah konkret untuk mengatasi masalah seperti itu, tidak ada lagi yang dapat diharapkan oleh Bangsa Indonesia untuk dapat ke luar dari kebodohan dan kemiskinan.

Alternatif atau Solusi : Problem Membaca Buku

Bangsa Indonesia membutuhkan kemampuan membaca tingkat tinggi, yaitu membaca pemahaman dan membaca kritis untuk menguasai Ilmu Pengetahuan. Jika yang dimiliki hanyalah kemampuan membaca pada taraf “melek huruf” dan “minat baca” yang rendah, apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini untuk membangun budaya membaca masyarakat Indonesia? Bangsa Indonesia harus mampu membangun budaya baca. Namun, jika modal dasar yang dimiliki hanya seperti data di atas, berarti tantangan yang kita hadapi sangat berat.

Tantangan untuk menumbuhkan budaya membaca sangatlah berat, termasuk menumbuhkan kepada anak-anak terhadap minat baca. Seharusnya teknologi dan kemajuan zaman ini menjadi media untuk membantu menumbuhkan minat baca. Indonesia yang memiliki banyak penulis terkenal seperti, Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Darmono, Ahmad Tohari, dan lain-nya seharusnya menjadi inspirasi kedepan. Apalagi melihat kondisi saat ini, meningkatnya budaya berkomentar dan menurunnya tingkat literasi kita terhadap hal-hal yang baru.

Alternatif yang mungkin harus segera dilakukan adalah mengembangkan budaya membaca masyarakat pada level perguruan tinggi yang akan bekerja menjadi calon guru maupun mahasiswa yang tidak menjadi seorang guru. Para sarjana yang lulus dari Perguruan tinggi akan menjadi sosok yang akan diteladani dimasyarakat, dan bagi Mahasiswa calon guru akan berhadapan langsung dengan anak-anak di sekolah.

Namun, hal ini pun juga bukan persoalan mudah. Para mahasiswa yang berada pada jalur profesi guru dan non profesi guru pendidik juga masih banyak yang budaya bacanya masih rendah. Mereka hanya mau membaca ketika menjelang ujian. Sementara itu, pada hari-hari biasa mereka hanya membaca bacaan ringan.

Jalan yang paling mungkin adalah menerapkan “hukum tangan besi” istilah yang banyak orang tidak tahu. Bagi mereka, pada level perguruan tinggi yaitu, mahasiswa yang menjadi generasi penerus bangsa harus di wajibkan membaca, meringkas, dan memaparkan hasil membacanya untuk dipresentasikan di ruang kuliah atau dalam kelompok diskusi.

Sehingga, mahasiswa mampu merefleksikan dengan prespektif pribadinya sendiri. Setiap mahasiswa wajib membaca minimal tiga judul buku wajib, pada setiap mata kuliah dalam satu semester. Hanya dengan cara seperti itu, budaya baca masyarakat akan dapat dibangun.(**)

Oleh: Arief Azizy, penulis adalah peneliti di Laboratorium ASR Psychology Social Institute Yogyakarta.






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos