MOMENTUM-- Orang makan nangka, ’’timbun’’ yang kena getahnya. Sepertinya peribahasa itu cocok dengan kondisi saat ini.
Kelangkaan minyak goreng sejak sebulan terakhir menjadikan kata ’’timbun’’ sesuatu hal yang negatif. Kata itu terkesan bermakna buruk, tidak baik dan cenderung kriminal.
Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ’’timbun’’ bermakna: tumpukan sesuatu; longgok (yang besar dan tinggi).
Menimbun berarti menaruh sesuatu secara bersusun hingga menjadikan timbunan; menumpuk.
Artinya, jika menelaah ulasan kata dalam KBBI di atas, tidak ada yang salah dengan diksi itu (timbun, pen).
Jika seandainya ada media yang menulis: “Perusahaan A Timbun Minyak Goreng” atau “Perusahaan B Menimbun Minyak Goreng”. Saya rasa sah- sah saja. Tidak salah.
Contoh kasus. Dalam sidak Tim Satgas Pangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, ditemukan 345,6 ribu liter minyak goreng di gudang milik CV Sinar Laut.
Minyak goreng kemasan itu dimasukkan ke dalam karton, kemudian puluhan ribu karton itu disusun sedemikian rupa. Sehingga terlihat rapi.
Artinya, penggunaan diksi ’’timbun’’ atau menimbun dalam penulisan judul maupun isi berita tidak salah. Toh memang faktanya minyak itu memang tersusun rapi dan menumpuk.
Hanya saja, regulasi yang mengatur tentang hal itu sudah terlanjur menggunakan diksi tersebut. Seperti Undang-undang Darurat nomor 17 Tahun 1951, tentang Penimbunan Barang-barang.
Seandainya “Si Timbun’’ punya keluarga, pasti mereka sudah menuntut pemerintah atas segala persoalan yang sedang menimpa negeri ini.
Mungkin mereka akan berkata: Pemerintah yang gagal mengendalikan minyak goreng, kenapa ’’timbun’’ yang menjadi korbannya. Entahlah. Tabikpun. (*)
Editor: Agus Setyawan