MOMENTUM, Bandarlampung-- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung segera menyurati dua perusahaan eksportir CPO (crude palm oil) atau minyak nabati yang menjadi bahan baku minyak goreng.
Kedua perusahaan tersebut: PT Sumber Indah Perkasa dan PT LDC Indonesia. Mereka terbukti belum memenuhi kuota 20 persen CPO domestic market obligation (DMO) atau kewajiban pasar domestik.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Lampung, Elvira Umihanni kepada harianmomentum.com, Rabu (23-2-2022).
Elvira menjelaskan, setiap eksportir diminta memenuhi kuota 20 persen CPO DMO atau kewajiban pasar domestik. CPO tersebut sebagai bahan baku untuk memproduksi minyak goreng.
"Di Lampung ada dua perusahaan eksportir. PT LDC dan PT Sumber Indah Perkasa. Nah, mereka belum memenuhi kuota 20 persen tersebut," kata Elvira.
Hanya PT LDC yang baru akan mengirimkan 100 ribu liter minyak goreng melalui Bulog. “Kalau pun nanti itu terwujud, PT LDC tetap saja belum memenuhi kuota CPO DMO-nya," sebutnya.
Karena itu, Pemprov Lampung segera menyurati dua perusahaan eksportir di Lampung tersebut melalui Kementerian Perdagangan.
"Pak Gubernur siap menyurati Kemendag agar eksportir menyalurkan CPO DMO-nya ke Lampung," sebutnya.
Sebab, menurut dia, jika kewajiban 20 persen CPO DMO itu terpenuhi, maka kebutuhan minyak goreng di Lampung akan tercukupi.
"Dari dua perusahaan itu, kalau semua terpenuhi bisa 12 ribu ton. Itu cukup untuk produksi dan memenuhi kebutuhan minyak goreng di Lampung," sebutnya.
Dia menjelaskan, tidak terpenuhinya kuota CPO DMO, berdampak terhadap produksi minyak goreng. Termasuk pabrik milik CV Sinar Laut yang akan dihentikan sementara waktu.
Padahal, dia meyakini, jika CV Sinar Laut tetap memproduksi minyak goreng, maka kebutuhan di Lampung akan tercukupi.
Sementara, Direktur CV Sinar Laut Andre Wijaya mengatakan, akan menghentikan produksi untuk sementara waktu.
Menurut dia, hal itu dikarenakan harga CPO di pasaran cukup tinggi mencapai Rp18 ribu perkilogram. Sedangkan pihaknya tak mendapatkan CPO DMO yang dijual Rp9.300 perkilogram.
"Kedepan belum bisa memproduksi sama sekali. Kita setiap hari berusaha mendapatkan CPO DMO dengan harga Rp9.300, tapi sangat sulit dan belum mendapatkannya," jelasnya.
Bahkan, dia mengaku, sudah mencari hingga ke luar Lampung. "Tapi sampai sekarang, tidak pernah dapat," ujarnya.
Akibatnya, selama ini CV Sinar Laut terpaksa membeli CPO dengan harga yang relatif tinggi, Rp17 ribu hingga Rp18 ribu.
"Kalau mau beli barangnya ada. Tapi saya tidak bisa menjual. Karena kalau saya beli dengan harga Rp18ribu, biaya produksi minimal Rp2 ribu. Lalu dijual ke pedagang Rp13 ribu, itu tidak mungkin," tuturnya.
Dia menjelaskan, CV Sinar Laut bisa memproduksi minyak goreng hingga 1 juta liter setiap hari.
"Jadi dalam satu bulan 30 juta liter. Kalau memang CPO DMO ada, kami siap mengisi pasar di Provinsi Lampung," sebutnya.
Terpisah, Kordinator Pemantauan dan Evaluasi Kemendag RI Yudi Fadilah menyatakan siap mendorong perusahaan eksportir untuk memenuhi kuota 20 CPO DMO.
"Kami mendorong eksportir ini agar segera menyesuaikan ketentuan DMO nya. Agar proses pengolahan minyak di Lampung kembali lancar," kata Yudi.
Selain CV Sinar Laut, dia mengatakan, ada perusahaan minyak goreng Candi Mas yang juga belum beroperasi karena tidak memiliki bahan baku.
"Kita coba datangi produsen- produsen lewat pimpinan, kami dorong produsen menyelesaikan kewajiban CPO DMOnya," terangnya.
Diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerapkan kebijakan DMO dan Domestic Price Obligation (DPO) pada minyak goreng.
Ketentuan itu merujuk pada Permendag nomor nomor 08 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor CPO.
Regulasi itu dikeluarkan untuk mengatur harga CPO sebesar Rp9.300 per kilogram dan Rp10.300 per liter untuk olein. Upaya ini dilakukan untuk menekan tingginya harga minyak goreng di dalam negeri. (adw/ap)
Editor: Agung Darma Wijaya