MOMENTUM -- Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, ada ungkapan yang lengket dalam ingatannya. Baik yang masih remaja, para pekerja, maupun mereka sudah pensiun.
Ungkapan itu adalah: Salah Sasaran. Ketika kata-kata ini diungkapkan oleh pejabat resmi pemerintah, ingatan masyarakat Indonesia hampir pasti nyambung ke soal bahan bakar minyak (BBM).
Ya, itulah alasan yang selalu digunakan Pemerintah Indonesia saat menaikkan harga BBM bersubsidi. Dengan narasi yang cukup indah dan terkesan membela masyarakat miskin.
Seperti, "Selama ini BBM bersubsidi dinikmati orang yang tidak berhak! Subsidi BBM salah sasaran! Ini tidak boleh dibiarkan karena merugikan warga kurang mampu alias si kismin. Subsidi BMM harus sampai kepada mereka yang berhak!" Dst.
Namun, aneh enggak sih. Yang salah, sasaraan kebijakan. Lalu, kenapa "hukumannya", harga BBM dinaikkan? Lebih aneh lagi, alasan dan "hukuman" itu sudah berlangsung sejak zaman old sampai era now. Setiap kenaikan harga BMM bersubsidi.
Baca Juga: Baznas dan Birahi Kekuasaan
Belakangan, sepertinya pemerintah ingin mengoreksi soal salah sasaran. Khususnya untuk solar bersubsidi. Dengan menerapkan aturan pembatasan pembelian solar bersubsidi. Alasannya, konsumen membeli solar berkali-kali tanpa ada pengawasan.
Kebijakan yang diterbitkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas itu, akan menggunakan sistem teknologi informasi (IT) untuk pembelian BBM bersubsidi.
Maksudnya. Pembelian BBM bersubsidi (solar) akan terintegrasi menggunakan sistem IT. Seperti yang dilakukan PT Pertamina dengan menyiapkan pendaftaran pembeli BBM bersusidi melalui aplikasi MyPertamina.
Sampai di sini, silakan bingung aja dulu. Terhadap kebijakan yang sangat mungkin akan makin menjepit mereka yang hidupnya sudah penuh dengan kesulitan!
Yang jelas, dalam kebijakan pemerintah itu akan berlaku: Penerima jatah BBM subsidi, ketika kuota perharinya habis, pada hari yang sama tidak bisa membeli BBM lagi di SPBU mana pun di Indonesia.
Dalam kebijakan itu disebutkan, volume (jatah) untuk transportasi darat, kendaraan pribadi plat hitam, maksimum 60 liter per hari. Angkutan umum orang atau barang roda empat jatahnya 80 liter per hari. Angkutan umum roda enam 200 liter per hari.
Sampai di sini, silakan tambah bingung.
Namun ada yang tidak membingunkan. Kondisi di masyarakat yang tidak berubah. Untuk membeli solar bersubsidi, masyarakat harus nunggu giliran sampai dua jam. Antrean truk dan mobil pribadi mengular yang tak jarang membuat jalanan macet. Kondisi ini sudah berlangsung sejak entah kapan.
Pemandangan itu terjadi hampir setiap hari. Terutama SPBU di wilayah kabupaten dan kecamatan. Seperti di wilayah Lampung Timur.
Jika ada SPBU yang tidak ada antrean kendaraan, berarti sedang tak memiliki solar. Pom bensin ini --jumlahnya lebih banyak daripada yang menjual solar.. biasanya memasang status: "Solar Masih di Pejalanan". Lengkapnya: Kami tidak tahu kapan pengiriman solar akan datang. Atau, soal BBM, bukan urusan gue. Asyik, kan?
Melihat kondisi itu, sudah mendesak bagi para pembuat kebijakan BBM, atau mereka pejabat dan wakil rakyat di daerah, untuk plesiran ke desa-desa. Guna akurasi data. Sekaligus memahami susahnya masyarakat memperoleh solar. Juga, jangan lupa, dampak kenaikan solar bagi masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan yang dibuat pemerintah semoga saja tidak sekadar ungkapan indah dan kata-kata manis yang berasa pahit dan menyakitkan masyarakat. Namun, benar-benar kebijakan yang manis dan menggembirakan masyarakat kecil. Semoga.
Tabik.
Editor: Muhammad Furqon