MOMENTUM, Bandarlampung--Kontroversi gugatan sistem pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih terus bergulir. Hingga kini, belum ada putusan resmi terkait persoalan itu.
Mengulas persoalan itu, pemerhati politik Provinsi Lampung menggelar diskusi bertajuk "Kontroversi Sistem Pemilihan dalam Pemilu di Indonesia", Senin (5-6-2023).
Diskusi yang berlangsung di Cafe Lamban Gunung, Bandarlampung, menghadirkan pembicara dari Akademisi Universitas Lampung (Unila) yakni Budiyono, Nanang Trenggono, pengasuh Komunitas Ruang Demokrasi (Rudem) Wendy Melfa, serta beberapa perwakilan parpol seperti Demokrat, PKS, Gerindra, dan PAN.
Dalam paparannya, ahli hukum tata negara Budiyono menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga yang tepat untuk memutuskan bagaimana sistem politik yang cocok untuk Indonesia.
"Saat ini seharusnya bukan membicarakan terbuka atau tertutup, tapi MK seharusnya membicarakan kedudukan hukum (legal standing). Sementara yang melakukan gugatan ke MK bukan peserta pemilu, bukan bacaleg, lalu legal standingnya dimana. Harusnya dari awal gugatan itu ditolak," ujar Budiyono.
"Mudah untuk memutuskan sistem proporsional terbuka atau tertutup itu. Pahami legal standing. Kembali ke kewenangan MK harus konsistensi dengan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, menurut saya ini merupakan wewenang dari DPR," imbuhnya.
Dia berharap pada Pemilu 2024 masih menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Untuk perubahan kedepan saya minta DPR ini mungkin bersama presiden nantinya merumuskan untuk sistem pemilu apa yang terbaik dipakai di Indonesia. Dengan catatan sebelum tahpan pemilu berjalan," harapnya.
Lain halnya disampaikan Nanang Trenggono yang juga mantan Ketua KPU Provinsi Lampung periode 2014-2019. Nanang mengatakan kedua sistem pemilu ini mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Dia juga menyebutkan lebih menerima apa yang akan diputuskan MK nantinya dan lebih condong kepada sistem proporsional tertutup. "Saya melihat dari perspektif pragmatis (pemikiran berdasarkan tindakan). Kalau nanti yang diputuskan sistem tertutup ada beberapa alasan saya untuk menerima. Yang pertama itu stabilitas politik di Indonesia. Ketika proses pemilihan umum itu menetapkan calon dari partai politik itu sudah banyak persoalannya," kata Nanang.
Kemudian, lanjut dia, dari sisi potensi pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu saat sistem tertutup itu akan turun.
"Karena tidak ada lagi intervensi dari perseorangan. Penyelenggaraan pemilu akan lebih mudah," papar mantan ketua KPU Lampung itu.
Sedangkan, Wendy Melfa mengatakan apapun keputusan MK mengenai sistem pemilu ini adalah yang paling besar manfaatnya dan tidak menguntungkan pada suatu kelompok tertentu.
"Berkaitan soal sistem pemilu ini saya sepakat open legal policy (kebijakan hukum terbuka). Tapi MK juga punya kewenangan, salah satu butirnya judical riview (pengujian yudisial). Kewenangan ini lah yang menyebabkan perjalanan tidak terlalu mulus karena judicial review ini masuknya setelah tahapan berjalan," terang Wendy.
Agar dunia politik ini tidak galau, jelas dia, MK harus memutuskan sistem ini dengan tiga nuansa. Yaitu, nuansa keadilan, nuansa manfaat dan nuansa kepastian bagi pembangunan politik di Indonesia.
"Harapannya kita ambil jalan tengah, tidak ekstrim dengan sistem proporsional terbuka juga tidak ekstrim dengan proporsional tertutup dan penerapannya tidak ekstrim pada pemilu ini," harapnya.
"Jadi, kita punya tenggang waktu untuk menterjemahkan baik dari internal partai dan sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga betul-betul dianggap siap untuk menjalankan keputusan sistem politik yang baru atau proporsional campuran," imbuhnya.(**)
Editor: Agus Setyawan