MOMENTUM, Bandarlampung--Polemik harga singkong di Lampung tak kunjung usai.
Hal itu dikarenakan Sungai Budi Group (BW Group) melalui PT Budi Starch & Sweetener tak menerapkan harga yang ditetapkan Kementerian Pertanian (Kementan).
Sebaliknya, pabrik tapioka milik BW (Bumi Waras) justru menetapkan standar harganya sendiri.
Berdasarkan selebaran yang diterima, pabrik BW membeli singkong seharga Rp737 perkilogramnya dengan kadar aci 16 persen, kadar aci 17 persen seharga Rp779, kadar aci 18 persen Rp825, kadar aci 19 persen harga Rp871 dan kadar aci 20 persen harga Rp917.
Kemudian, singkong dengan kadar aci 21 persen seharga Rp963, kadar aci 22 persen harga Rp1.008, kadar aci 23 persen harga Rp1.054, kadar aci 24 persen harga Rp1.100 dan kadar aci 25 persen harga Rp1.164.
Selanjutnya, kadar aci 26 persen harga Rp1.192, 27 persen Rp1.238, kadar aci 28 persen Rp1.283, 29 persen Rp1.329 dan 30 persen harga Rp1.375.
Untuk kadar Aci di bawah 16 persen tidak diterima pabrik. Termasuk singkong yang banyak tanah dan pasir, bonggol, busuk dan kecil atau muda.
Standar tersebut jauh berbeda dari yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian beberapa waktu lalu.
Untuk harga yang ditetapkan Kementan, singkong dengan kadar aci 17 persen dibeli dengan harga Rp956. Sedangkan singkong dengan kadar aci 30 persen Rp1.688
Menyikapi itu, Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung PT BSSW milik BW Group beroperasi semena-mena.
Ketua PPUKI Lampung Dasrul Aswin mengatakan, beberapa waktu lalu pabrik BW sempat tutup dan beroperasi kembali mulai 10 Maret 2025.
Menurut Dasrul, meski sudah kembali beroperasi pabrik BW membeli singkong petani dengan harga yang rendah dan tidak sesuai dengan kesepakatan.
"Meski sudah buka tapi harga jauh dan tidak sesuai dengan keputusan menteri. Keputusan menteri kan Rp1.350 (kadar aci 24 persen). Sedangkan mereka (BW) beli hanya Rp1.100 maksimal," kata Dasrul, Selasa (11-3-2025).
Selain itu, supir yang membawa singkong diminta untuk menandatangani surat musyawarah dan mufakat dengan menampilkan harga terbaru.
"Malah para supir yang antar singkong itu diminta tanda tangan surat yang mereka buat. Jadi istilahnya terkesan seperti pemaksaan," sebutnya. (**)
Editor: Agung Darma Wijaya