Bantuan Subsidi Upah Rawan Korupsi dan Tidak Ada Azas Keadilan

img
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Foto. Ist.

MOMENTUM, Bandarlampung--Pemerintah kembali mengucurkan bantuan subsidi upah (BSU) sebesar Rp600 ribu untuk dua bulan, atau Rp300 ribu per bulan, kepada buruh, guru, dan tenaga honorer bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan. Total anggaran yang dikucurkan mencapai hampir Rp10 triliun. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)  yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengapresiasi langkah pemerintah tersebut, sebagai bentuk stimulus ekonomi untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Namun, menurut Said, kebijakan ini belum menyelesaikan persoalan mendasar yang dihadapi buruh dan pekerja honorer. Ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan.

Pertama, BSU hanya berlangsung selama dua bulan. Artinya, ini hanya menjadi solusi jangka pendek yang bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi dalam angka, bukan kualitas. Selepas dua bulan, daya beli buruh dipastikan kembali menurun. Kebijakan semacam ini tidak berdampak struktural terhadap konsumsi jangka panjang.

Kedua, kami mendorong pemerintah untuk menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Saat ini, PTKP berada pada angka Rp4,5 juta per bulan. Kami menyarankan agar PTKP dinaikkan menjadi minimal Rp7,5 juta atau bahkan Rp10 juta per bulan. Dengan meningkatnya PTKP, buruh akan memiliki penghasilan bersih yang lebih besar, yang pada akhirnya akan digunakan untuk konsumsi. 

“Jika konsumsi naik, maka daya beli meningkat, dan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai lebih dari 5%. Kenaikan PTKP juga akan berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan bisa mencegah gelombang PHK,” ujar Said Iqbal.

Ketiga, perluasan cakupan penerima BSU menjadi sangat mendesak. Saat ini, BSU hanya diberikan kepada mereka yang tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, jutaan buruh, bahkan puluhan juta, tidak terdaftar sebagai peserta BPJS bukan karena kesalahan mereka, melainkan akibat kelalaian dan pelanggaran oleh pihak pengusaha. Jika pemerintah hanya menyasar kelompok yang tercatat di BPJS, maka BSU gagal menjangkau mayoritas buruh yang rentan dan membutuhkan bantuan tersebut.

Keempat, soal pengawasan dan penyaluran dana. Dengan anggaran sebesar Rp10 triliun, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting. Kami mendorong agar BSU disalurkan langsung dari rekening Kementerian Keuangan ke rekening penerima manfaat, tanpa melalui perantara seperti Kementerian Ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan. 

Data penerima dapat diperoleh dari BPJS dan Kementerian Pendidikan secara langsung. Tidak perlu ada penyaluran secara tunai. Semuanya harus ditransfer langsung ke rekening penerima untuk meminimalisir kebocoran.

“Kami berharap pemerintah tidak berhenti pada kebijakan populis jangka pendek, tetapi benar-benar membangun sistem perlindungan yang adil dan inklusif bagi seluruh buruh, guru, dan tenaga honorer di Indonesia,” tegas Said Iqbal. (**)






Editor: Muhammad Furqon





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos