MOMENTUM, Bandarlampung--Puluhan aktivis yang tergabung dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), ormas dan tokoh mendatangi kantor Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung, Senin (8-9-2025).
Mereka memprotes keputusan rehabilitasi rawat jalan bagi lima oknum pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung yang sebelumnya ditangkap dalam pesta narkoba, di Hotel Grand Mercure, Bandarlampung.
Aksi itu dipimpin Aliansi Anti Narkoba (AAN) Lampung yang dikoordinatori Destra Yudha, SH, MSi. Mereka menilai keputusan BNNP tidak adil dan berpotensi mencoreng integritas penegakan hukum di Lampung.
Baca Juga: Perkara Narkoba Oknum Pengurus HIPMI, GRANAT Desak BNN
Baca Juga: Dukung BNNP, HIPMI Nonaktifkan Pengurus dan Anggotanya yang Pesta Narkoba
“Kami tidak datang untuk mendengar teori rehabilitasi. Pertanyaan utamanya: kenapa lima pengurus HIPMI bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum?” tegas Destra.
Dugaan Suap Rp 1,5 Miliar
Kecurigaan publik makin menguat ketika beredar isu adanya praktik suap. Ketua Gepak Lampung, Wahyudi Hasim, menyebut dugaan aliran dana Rp 1,5 miliar digunakan untuk memuluskan status rehabilitasi rawat jalan tersebut.
“Kalau masyarakat kecil yang tertangkap, tidak ada istilah rehabilitasi. Tapi begitu elite HIPMI yang kena, hukum seolah bisa dinegosiasikan. Ada apa dengan BNNP Lampung?” ujarnya.
Aliansi menilai kasus ini memperlihatkan ketidakadilan yang nyata. Hukuman bagi warga biasa kerap keras. Namun terhadap kalangan pengusaha muda yang dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan, proses hukum justru tampak dilunakkan.
Dalam audiensi dengan Plt. Kepala BNNP Lampung, Kombes Pol Karyoto, aliansi menyampaikan tiga tuntutan. Pertama, menganulir keputusan rehabilitasi rawat jalan dan memproses 10 orang tersangka sesuai hukum pidana.
Kedua, menahan kembali seluruh tersangka hingga ada putusan pengadilan. Ketiga, meminta Propam Mabes Polri memeriksa dugaan keterlibatan oknum BNNP dalam praktik suap.
Aliansi memberikan tenggat enam hari kerja. Jika tidak diindahkan, mereka mengancam akan menggelar aksi besar-besaran hingga ke tingkat nasional.
Menanggapi desakan tersebut, Kombes Karyoto menyampaikan terima kasih atas masukan masyarakat. Ia menegaskan, rekomendasi rehabilitasi diberikan berdasarkan hasil assessment.
“Para pelaku dinyatakan layak menjalani rehabilitasi rawat jalan di klinik BNNP dua kali seminggu,” ujarnya.
Namun, penjelasan itu memicu perdebatan panas. Perwakilan AAN langsung memotong penjelasan Karyoto dengan mengatakan publik sudah tahu soal prosedur rehabilitasi, tetapi yang dipertanyakan adalah keadilan penerapannya.
“Jangan sampai hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas,” kata Destra lantang.
Kasus itu semakin menyita perhatian publik karena menyangkut nama-nama penting di HIPMI Lampung.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kelima pengurus yang diamankan adalah, AS (35), Wakil Ketua HIPMI Lampung, pengusaha kontraktor infrastruktur dan RM (32), Bendahara HIPMI, pengusaha properti dengan akses kuat ke pejabat Pemprov Lampung.
Kemudian, DP (34), Ketua Bidang Ekonomi Kreatif HIPMI, pengusaha hiburan malam dan FR (30), Sekretaris HIPMI Bandarlampung, pemilik usaha kuliner dan distributor minuman serta AA (29), Ketua HIPMI salah satu kabupaten, pengusaha tambang pasir.
Mereka ditangkap bersama lima wanita pemandu lagu dalam pesta narkoba di room karaoke Hotel Grand Mercure. Polisi menemukan barang bukti ekstasi dan sabu dalam jumlah signifikan.
Namun, hasil assessment menyatakan mereka hanya “pecandu” sehingga cukup menjalani rehabilitasi rawat jalan.
Aliansi Anti Narkoba menegaskan keputusan itu menunjukkan ketimpangan hukum yang berbahaya.
“Rakyat kecil bisa dipenjara bertahun-tahun. Sementara elite HIPMI yang tertangkap dengan barang bukti jelas di hotel mewah malah dilunakkan,” ucap Destra.
Ia menambahkan, kasus ini menjadi ujian besar bagi aparat penegak hukum di Lampung.
“Kalau berakhir dengan kompromi, citra pemberantasan narkoba akan makin rusak. Publik akan melihat hukum kita benar-benar tumpul ke atas, tajam ke bawah,” kata dia. (**)
Editor: Agus Setyawan