MOMENTUM, Bandarlampung--Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung, Deni Ribowo, menilai program Presiden Prabowo Makan Bergizi Gratis (MBG) harus tetap dilanjutkan karena memiliki manfaat besar. Tapi, ia memberi sejumlah catatan agar kualitas program lebih terjamin.
“Tapi MBG perlu ditingkatkan secara kualitas dari ketersediaan bahan baku dan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap adanya MBG ini,” kata Deni, Senin (29-9-2025).
Ia menekankan perlunya penyelidikan forensik untuk mencari sumber masalah kasus keracunan massal yang terjadi pada siswa. Baginya, hal itu penting guna memastikan apakah penyebabnya human error atau kondisi pribadi anak.
“Biasanya enggak makan ikan tapi dia makan ikan, ada kan yang begitu. Biasanya enggak makan, dia makan daging, atau enggak bisa makan ikan tertentu, atau enggak bisa susu misalnya,” jelasnya.
Deni meminta aparat penegak hukum (APH) dari Polda Lampung, Polres, hingga jajaran di bawahnya melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Kepala sekolah, dinas kesehatan, hingga Puskesmas juga harus dilibatkan untuk memastikan makanan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) layak dikonsumsi sebelum sampai ke sekolah.
“Penyelidikan ini fokusnya bukan mencari benar atau salah, tidak menghukum seseorang, tapi untuk memperbaiki kualitas MBG yang ada di sekolah kita,” tegasnya.
Sementara itu, Dosen Hukum Bisnis Darmajaya, Zulfikar Ali Butho, menyarankan agar struktur SPPG melibatkan pihak eksternal untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Sebenarnya struktur yang ada sudah cukup, tapi karena harus menghadapi jumlah yang begitu banyak makanya kurang. Lebih baik libatkan lembaga kesehatan, itu idenya Pak Deni,” kata dia.
Ali menambahkan, ada dasar hukum yang mengatur kejadian keracunan pada program MBG, yakni Pasal 72 ayat (1) PP Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
“Pasal 72 ayat (1) PP 86/2019 mengharuskan setiap orang untuk melaporkan kejadian dugaan keracunan pangan yang menimpa lebih dari satu orang,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menetapkan kasus keracunan massal sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sehingga, pelayanan kesehatan yang biasanya dilakukan di belakang, bisa dimajukan agar tidak terjadi lagi peristiwa ini.
Diketahui, sejumlah pelajar tingkat SD hingga SMP di Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) keracunan, usai menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
Polisi mencatat, ada 35 siswa yang terdampak insiden tersebut. Para pelajar tersebut dilaporkan mengalami gejala pusing, mual, hingga muntah-muntah setelah memakan roti sosis berisi keju yang diduga berjamur.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Yuni Iswandari mengonfirmasi peristiwa tersebut. Yuni bilang, sebagian korban masih harus menjalani perawatan medis.
"Benar, kemarin sejumlah pelajar di Lampung Timur mengalami gejala pusing hingga muntah usai menyantap sosis yang diduga berjamur," kata Yuni, Sabtu (27-9)
Sebelumnya diberitakan, Belakangan, ramai usulan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi pelajar sebaiknya diberikan dalam bentuk uang tunai, bukan makanan. Hal itu menyusul terjadinya pelajar yang keracunan makanan dari program tersebut.
Namun, pengamat kebijakan publik dan akademisi Universitas Lampung Dedi Hermawan menyebutkan, sebagai usulan dari masyarakat hal itu merupakan sesuatu yang lumrah.
"Sebagai sebuah usulan dari masyarakat, itu sah-sah saja dan bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah terkait evaluluasi pelaksanaan program MBG. Usulan itu juga kan perlu dikaji oleh pemerintah. Saya sih menyoroti, itu salah satu opsi yang bisa ditawarkan," kata Dedi, Selasa (23-9-2025).
Hanya saja, dia menilai, kesimpulan dari masalah program MBG ialah evaluasi yang menyeluruh.
"Tapi, yang paling penting kan sebenernya program yang sudah berjalan hampir setahun ini dievaluasi dulu secara menyeluruh, komprehensif dan mendalam. Supaya tahu dalam pelaksanaannya itu kelemahannya apa saja. Dicari dulu akar masalahnya, baru ditemukan solusinya. Nah apakah harus diganti uang tunai, ya itu kan tinggal bagaimana hasil dari evaluasi," jelasnya.
Ia menyampaikan, hal yang paling tersorot dari kacamatanya ialah persoalan pengawasan.
"Karena kan, secara umum disorotinya program MBG ini kelemahan dari pengawasan. Jangan sampai kelemahan dipengawasan ini tidak diberi solusi yang tepat," ujarnya.
"Artinya, solusinya ya pengawasan diperketat dari pelaksanaannya. Karena berbagai kejadian keracunan makanan itu berarti menandakan tidak adanya pengawasan atau kontrol pengujian terhadap bahan-bahan makanan. Harus dipastikan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk MBG itu dipastikan kondisinya baik, halal dan sehat," imbuhnya.
Kemudian, lanjut dia, pastikan standart pengolahannya juga aman, sehat. "Nah ini prakteknya sejauh mana, kalau banyak keracunan berarti selama ini ga berjalan pengawasan dibawahm," kata dia.
Bahkan, dia menuturkan, jika tidak mendapat solusi yang tepat maka opsi lain pun hanya akan menimbulkan masalah baru.
"Kalau solusinya nanti juga tidak tepat, ada masalah baru, dikhawatirkan. Karena kalau solusi ini tidak tepat, masalahnya ga dituntaskan, kalaupun diganti dengan uang tunai pun akan timbul masalah baru lagi. Apakah uang Rp15 ribu itu tepat sasaran? Apakah standart gizinya itu sudah terpenuhi? Kalau di lapangan kemudian menyimpang lagi karena ga ada pengawasan, akhirnya sama. Mau dia makan bergizi gratis ataupun uang tunai, dua-duanya bisa tidak tepat sasaran," tuturnya.
Dedi menegaskan, faktor pengawasan merupakan benang merah yang bisa menjadi tolak ukur sukses atau tidaknya program tersebut.
"Itu karena problem pengawasan, soal ini harus dibenahi pedomannya, siapa yang mengawasi, SOP nya, ini harus diperketat. Dengan program apapun kalau pengawasannya lemah, ini akan berpotensi terjadi penyimpangan juga. Dikhawatirkan juga, pemberian uang tunai itu tidak menyelesaikan masalah. Dan bisa jadi tujuan utama dari MBG itu tadi tidak tercapai," tegasanya.
Karena problem yang terjadi di dalam MBG tidak dituntaskan, maka dinilai percuma jika ada opsi lain. Karenanya, evaluasi total sangat diperlukan.
"Evaluasi menyeluruh, nanti setelah didiagnosa akan ketemu penyakitnya. Penyakit ini harus diobati dengan obat yang tepat. Maka yang terpenting evaluasi ini. Kalau sudah diketahui masalahnya baru cari solusi untuk memecah masalah itu tadi. Karena opsi itukan reaktif, kalau tidak melalui kajian yang mendalam nanti akan menimbulkan masalah lain," pungkasnya. (**)
Editor: Muhammad Furqon