Harianmomentum-- Hasil pemungutan suara Pilgub DKI
Jakarta putaran kedua telah usai. Meski
belum ada pengumuman resmi dari KPUD DKI Jakarta tentang rekapitulasi final
penghitungan suara, namun hampir dapat dipastikan bahwa Paslon No. 3,
Anies-Sandi memenangkan Pilkada dengan suara yang terpaut cukup jauh dari
Paslon No. 2, Ahok-Djarot.
Rilis
hasil Quick Count sejumlah lembaga survey seperti PolMark Indonesia menunjukan
perolehan Anies-Sandi sebesar 57,56% sedangkan Ahok-Djarot sebesar 42,44%, SMRC
Anies-Sandi 58,06% dan Ahok-Djarot sebesar 41,94%, dan LSI sendiri merilis
hasil yang tidak jauh berbeda dimana Anies-Sandi memperoleh 57,67% meninggalkan
Paslon Ahok-Djarot yang hanya mendapat 42,33% suara.
Hasil
QC ini tidak terpaut jauh dengan hasil penghitungan KPUD DKI Jakarta
berdasarkan form C1 di 13.034 TPS dimana Anies-Sandi memimpin dengan perolehan
suara 57,95% meninggalkan Ahok-Djarot sebesar 42,05%.
Meski
hasil penghitungan suara tersebut memberikan gambaran yang cukup meyakinkan
tentang hasil Pilkada DKI Jakarta, masyarakat tetap harus menunggu rekapitulasi
manual yang akan diumumkan oleh KPUD DKI Jakarta tanggal 4 Mei 2017 nanti.
Hasil
Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sendiri memang tidaklah terlalu mengejutkan
ketika Anies-Sandi berhasil meraup perolehan suara melampaui Ahok-Djarot.
Sejak
putaran pertama pasangan Anies-Sandi memang telah menunjukan tren elektabilitas
yang semakin melonjak dibandingkan pasangan lainnya.
Selain
karena isu program yang dianggap menarik bagi masyarakat seperti program One Kecamatan One Centre Enterpreunership(Oke
Oce) untuk mengakselerasi sektor riil dengan memberikan berbagai insentif bagi
kegiatan kewirausahaan dan program people
housingmelalui dukungan pemerintah terhadap akses rakyat untuk memperoleh
tempat tinggal layak dengandownpayment perumahan
0% yang menjadi magnet bagi pemilih, pasangan Anies-Sandi juga mendapat
insentif elektoral dari merosotnya popularitas Ahok-Djarot yang didera
permasalahan karena Ahok terjerat perkara hukum yang menjadi perhatian khalayak
luas.
Kombinasi
antara kualitas personal dari pasangan Anies-Sandi dengan kerja Tim Sukses
akhirnya mengantarkan Anies-Sandi sebagai pemenang Pilkada putaran kedua.
Memang,
pada awalnya banyak kalangan menaruh kekhawatiran bahwa Pilkada putaran kedua
akan diwarnai dengan berbagai persoalan baik terkait dengan teknis
penyelenggaraan Pilkada maupun sinyalemen tentang ekslasi sosial politik yang
melibatkan isu-isu SARA.
Namun,
berkat kerjasama dan profesionalitas seluruh stakeholder baik dalam
pemerintahan dan masyarakat, Pilkada akhirnya telah berlangsung dengan sukses
dan aman tanpa gangguan berarti.
Hal
ini tidak hanya menunjukan kredibilitas dari
stakeholder penyelenggara Pilkada, tetapi juga membuktikan bahwa masyarakat
DKI Jakarta telah beranjak menuju kedewasaan dalam berpolitik sebagaimana juga
ditunjukan oleh kematangan politik para pasangan calon yang bersaing dalam
Pilkada.
Potensi
Masalah
Hasil
Pilkada memang belum final karena menunggu penetapan resmi KPUD DKI
Jakarta. Potensi permasalahan masih bisa
terjadi baik yang terkait secara langsung dengan Pilkada seperti perselisihan
hasil penghitungan suara, maupun ekses yang ditimbulkan dari persaingan politik
yang berimbas ke tingkat akar rumput, maupun perkara hukum yang menyeret Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok ke Meja Hijau.
Terkait
dengan potensi sengketa hasil penghitungan suara, UU No. 8/2015 tentang
Pilkada, pasal 158 telah mengatur syarat pengajuan gugatan hasil pilkada yang
harus memenuhi ambang selisih suara yang dapat digugat ke Mahkamah
Konstitusi.
Dalam
Pilkada, ada empat kategori syarat untuk mengajukan sengketa Pilkada, pertama,
jumlah penduduk kurang atau sama dengan 2 juta jiwa maka selisih suara sebesar
2%; kedua, jumlah penduduk 2-6 juta persentase selisih suara sebesar 1,5%;
ketiga, jumlah penduduk 6-12 juta jiwa selisih suara sebesar 1%; dan keempat,
penduduk lebih dari 12 juta jiwa maka selisih suara sebesar 0,5%. Dengan ketentuan tersebut, tampaknya selisih
perolehan suara sementara antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot yang terpaut jauh
akan sulit untuk memenuhi syarat guna gugatan sengketa hasil penghitungan suara
ke Mahkamah Konstitusi.
Realitas
selisih suara antara Anies-Sandi dan Ahok-Djarot ini tampaknya disadari betul
oleh Tim Sukses dan pasangan Ahk-Djarot.Bahkan, pemungutan suara ulang (PSU)
yang digelar di TPS 01 Gambir, Jakarta Pusat dan TPS 19 Pondok Kelapa, Jakarta
Timur tidak mempengaruhi kemenangan yang telah diperoleh Anies-Sandi.Secara gentlemen, Ahok-Djarot sendiri telah memberikan
ucapan selamat atas kemenangan Anies-Sandi sekaligus menghimbau untuk segera
bekerjasama dan meninggalkan suasana persaingan Pilkada demi membangun
Jakarta.Ahok-Djarot juga menyatakan sinyalemen untuk tidak menempuh gugatan ke
MK atas hasil penghitungan suara.
Nada
yang sama juga disampaikan oleh Prasetyo, ketua Timses Ahok-Dajrot yang
menyatakan bahwa pihaknya belum terpikirkan untuk membahwa persoalan hasil
penghitungan suara ke MK.
Pernyataan
Ahok-Djarot dan pendukungnya ini tentu merupakan sikap politik yang menyejukan
dan kondusif bagi upaya membangun kembali keharmonisan sosial politik yang
diperlukan bagi pemerintahan dibawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih.
Sikap
legowo dari Ahok-Djarot dan Timsesnya merupakan rujukan penting bagi seluruh
pihak terkait untuk menerima hasil Pilkada secara legowo.Segresasi sosial yang
mengemuka akibat persaingan politik tingkat elit tentu harus segera dipulihkan.
Komunikasi
politik antara Paslon dan Timsesnya yang telah berjalan baik harus ditransformasikan
hingga akar rumput.Seluruh elemen masyarakat DKI Jakarta harus dapat
dikembalikan dalam suasana batin yang tidak lagi terkotak-kotak dan semangat
untuk bekerjasama tanpa diskriminatif berdasarkan pilihan politik sebelumnya.Isu-isu
SARA yang sempat mewarnai Pilkada tidak boleh menjadi faktor yang menghambat
pemerintahan dan pembangunan DKI Jakarta.Keragaman adalah fakta sosiologis
anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dikelola dengan baik sehingga tidak
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang hendak merintangi kepentingan
masyarakat membangun daerahnya.
Potensi
masalah yang justru harus dicermati adalah ekses dari perkara hukum yang
menyeret Ahok akibat dugaan penistaan agama.Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri
telah menuntut Ahok dengan pidana penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2
tahun.
Menurut
JPU, Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 156 KHUP tentang
pernyataan permusuhan dan kebencian terhadap suatu golongan. Perbuatan Ahok dinilai oleh JPU telah
menimbulkan keresahan masyarakat dan dapat menimbulkan kesalahpahaman antar
golongan rakyat Indonesia.
Konsekuensi
tuntutan JPU dengan pasal 156 KUHP dengan demikian menggugurkan dugaan
penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang menjadi isu utama dalam
masyarakat.
Selain
itu, tuntutan 1 tahun pidana penjara dengan masa percobaan 2 tahun juga berarti
Ahok tidak akan pernah merasakan hidup di balik jeruji besi jika dalam 2 tahun
percobaan tidak terlibat pidana.
Perkembangan
kasus Ahok ini berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.Sebagian masyarakat telah
meragukan kredibilitas peradilan, terutama ketika JPU mengundur pembacaan
tuntutan hingga tanggal 20 April 2017 atau sehari setelah pemungutan suara
Pilkada DKI Jakarta.
Selain
itu, gugurnya pasal tentang penistaan agama juga akan dipersepsikan sebagai
upaya untuk melindungi Ahok dari jerat hukum yang menjadi isu utama dalam
masyarakat.
Persoalan
rasa keadilan akan menjadi perhatian mengingat berbagai kasus yang identik
dengan penistaan agama hampir seluruhnya masuk dalam jeruji besi.
Karena
itu menjadi tantangan bagi para penegak hukum untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat atas kredibilitas peradilan terhadap kasus Ahok.Bersamaan dengan
itu, mobilisasi massa harus dapat diredam demi menciptakan suasana yang
kondusif untuk memulihkan keharmonisan sosial.
Persoalan
hukum ini akan menimbulkan ekses sosial dan politik yang tentu merupakan
tantangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih untuk dapat
menjaga stabilitas sosial dan politik.
Mengawal
Realisasi Janji Kampanye
Masa
pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih memang belum dimulai karena
Ahok-Djarot harus menuntaskan waktu beberapa bulan tersisa masa
pemerintahannya.
Bagi
Ahok-Dajrot, kesempatan yang pendek ini harus dimanfaatkan untuk merealisasikan
program yang masih tersisa sekaligus meletakan fondasi yang kokoh yang dapat
jadi pijakan dan diteruskan oleh penggantinya.
Hal
ini penting sebagai estafet pemerintahan yang efektif dan kebijakan pembangunan
DKI Jakarta yang berkelanjutan.Program pro rakyat harus tetap berjalan dan
ditingkatkan demi kepentingan warga DKI Jakarta.
Berbagai
persoalan pembangunan yang selama ini sempat tersendat akibat suasana
persaingan dan hiruk pikuk Pilkada DKI Jakarta harus kembali mendapat perhatian
serius dan prioritas bagi semua pihak.
Sementara
itu, bagi pasangan Anies-Sandi yang akan segera memimpin DKI Jakarta, sejumlah
tantangan telah berada di depan mata untuk segera direalisasikan. Program kampanye adalah janji politik yang
harus ditunaikan.Segala kebijakan pembangunan era pemerintahan sebelumnya yang
telah berjalan dengan baik tidak boleh ditinggalkan dan perlu untuk
ditingkatkan kembali.
Sedangkan
program-program baru yang muncul sebagai inovasi hendaknya dapat
diimplementasikan dengan tetap melihat realitas dan urgensinya bagi kepentingan
masyarakat DKI Jakarta.
Isu
perumahan, perbaikan sarana transportasi massa, infrastruktur publik, pelayanan
publik sektor kesehatan dan pendidikan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan,
serta tranparansi pemerintahan perlu menjadi prioritas yang harus dijalankan
oleh pasangan Anies-Sandi.
Ketidakharmonisan
antara pemerintahan dan stakeholdernya, terutama legislatif DKI Jakarta harus
dapat menjadi pelajaran berharga bagi pasangan Anies-Sandi.Komunikasi politik yang
tidak efektif antara pemerintah DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta tentu
mengganggu efektifitas kinerja pemerintahan.
Begitupula
dengan sinergi antara pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat tentu perlu
untuk dijalin secara harmonis.
Sebagaimana diketahui publik, pemerintah DKI Jakarta dan Kementerian
Dalam Negeri sebagai representasi pemerintahan pusat pernah berada dalam
suasana komunikasi yang tidak mendukung bagi sinergi antara pemerintah pusat
dan daerah terkait dengan pembahasan APBD DKI Jakarta sebelumnya.
Harus
dipahami bahwa pemerintahan DKI Jakarta adalah bagian dari pada sistem
pemerintahan nasional yang tidak terpisahkan.Karena itu, Anies-Sandi perlu
untuk meningkatkan kembali sinergi dalam tata kelola pemerintahnnya kelak
dengan merajut komunikasi yang efektif baik dengan DPRD DKI Jakarta maupun
pemerintahan pusat.Ego sektoral tidak boleh lagi mendominasi dalam tata kelola
pemerintahan DKI Jakarta dibawah pemimpin barunya.
Anies-Sandi
harus mampu merangkul seluruh kekuatan dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan
berdasarkan afiliasi politik sebelumnya.
Dengan
demikian, segenap masyarakat DKI Jakarta dapat meninggalkan suasana persaingan
politik harus beralih pada kemitraan dan dukungan kritis terhadap pemerintahan
baru.Seluruh kekuatan masyarakat harus mengambil peranan dalam mengawal
realisasi janji-janji politik saat kampanye lalu.
Tanpa
dukungan masyarakat, janji kampanye akan berpotensi hanya sekedar menjadi janji
yang miskin realisasi. Karena itulah,
kehadiran dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan DKI
Jakarta menjadi sangat penting untuk memastikan Jakarta Baru adalah Jakarta
yang maju pembangunannya di segala bidang dengan manusia penghuninya yang
bahagia karena mendapatkan akses layanan publik yang layak dan memadai. (***)
Editor: Harian Momentum