MOMENTUM, Jakarta--Gubernur Anies Baswedan sebelumnya telah menertibkan Pedagang Kaki Lima PKL di Tanah Abang sehingga kawasan Tanah Abang menjadi tempat yang tertib dan rapih. Namun, kembali lagi dihancurkan oleh Gubernur Anies Baswedan dengan menutup jalan Jati Baru di Tanah Abang untuk PKL Berjualan.
Anggota DPRD DKI Jakarta Terpilih Periode 2019 – 2024 dari PSI, William Aditya Sarana, menuturkan kewenangan menutup jalanan untuk tempat berdagang berasal dari Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang ketertiban umum pasal 25 ayat (1) yang berbunyi : ‘Gubernur menunjuk / menetapkan bagian – bagian jalan / trotoar dan tempat – tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima.
Menurutnya, hal tersebut berarti, setiap jalan dan trotoar di DKI Jakarta bisa ditutup untuk tempat jualan sama Gubernur DKI Jakarta. Tentu bisa dibayangkan, saat ini orang berjualan secara tidak tertib di jalanan yang dilarang, apalagi ada kewenangan ini, bisa tambah kacau dan hancur jalanan dan trotoar di DKI Jakarta.
Imbas dari penutupan jalan di Jati Baru tersebut, mulai dari pejalan kaki sampai kendaraan umum yang hendak melintas tentu dirugikan. Namun, apakah jalanan sebenarnya bisa ditutup?
Tentu saja bisa, untuk menjawab pertanyaan diatas ada peraturan yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah yaitu Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 127 ayat (1) tertulis bahwa jalan bisa ditutup karena alasan : 1. Kegiatan keagamaan; 2. Kegiatan Kenegaraan; 3. Kegiatan Olahraga; 4. Kegiatan kebudayaan.
Namun tidak bisa digunakan untuk kegiatan berdagang, itulah yang menjadi dasar Wiliam untuk melawan Gubernur DKI Jakarta dengan membenturkan Undang – undang nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum.
Perlu kita ketahui bahwa Perda tidak boleh mengatur hal yang di luar dari peraturan yang lebih tinggi yakni Undang – Undang dan ketika Perda mengatur lebih dari Undang – undang artinya perda tersebut bertentangan dan harus dicabut.
Gugatan pun akhirnya dikabulkan dengan amar putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari para pemohon, yakni 1. William Aditya Saranda, 2. Zico Leonard Djagardo.
2. Menyatakan bahwa pasal 25 ayat (1) Perda Provinsi Jakarta Nomor 8 Thun 2007 tentang ketertiban umum bertentangan dengan Pasal 127 ayat (1) Undang – Undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada sekretariat daerah untuk dicantumpak dalam Berita Daerah.
4. Menolak Permohonan Para Pemohon yang lain dan selebihnya.
5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000.000
Dengan terkabulnya hal ini maka Anies Baswedan tidak hanya harus menertibkan PKL di jalanan Jati Baru, tapi di seluruh DKI Jakarta karena kewenangannya untuk menutup jalan untuk berdagang sudah tidak ada.
Artinya tidak boleh ada lagi kabar tentang preman – preman yang sok – sokan minta duit ke PKL di Jalan. Putusan tersebut sudah sepatutnya menjadi preseden untuk DKI Jakarta agar lebih rapi dan tertib, karena Indonesia adalah negara hukum bukan negara preman.
Anies Baswedan mungkin dikenal sebagai smart konseptor, namun kredibilitasnya sebagai eksekutor tampaknya masih perlu dipertanyakan kembali, sehingga wajar bila saat ini nama Anies Baswedan sering nampak di layar kaca karena maraknya tuntutan yang dilancarkan kepadanya.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penggunaan Jalan untuk lapak usaha PKL merugikan kepentingan umum yang jauh lebih besar yaitu para pejalan kaki dan kendaraan umum. Selain itu, membiarkan PKL berjualan di jalan dan trotoar dianggap sama dengan menumbuhkan premanisme.
Dampak premanisme tersebut tentu saja tidak diantisipasi oleh Anies, tentu para pedagang akan merasa berat dan tidak nyaman jika aktifitas dagangnya harus diganggu oleh para preman yang hanya bermodal tato.(**)
Oleh : Deny Kurniawan. Penulis adalah pengamat sosial politik
Editor: Harian Momentum