MOMENTUM, Lampung Selatan--Proyek pembangunan gedung eks Samsat Provinsi Lampung senilai Rp7 miliar pada tahun 2018 memasuki babak baru.
Selain telah terjadi kerusakan pada gedung yang kini ditempati Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) itu, alamat PT Harapan Jejama Wawai (HJW) selaku kontraktor proyek itu juga diduga fiktif.
Berdasarkan pantauan di website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Lampung, alamat PT HJW berada di Jalan Raya Pesisir Kelurahan Rajabasa, Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
Namun, saat wartawan harianmomentum.com melakukan penelusuran di sepanjang ruas jalan tersebut, Selasa (27-8-2019), tidak ditemukan kantor PT HJW.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Rajabasa Herman mengaku tidak mengetahui adanya perusahaan tersebut di wilayahnya. Bahkan, dia juga baru mendengar nama perusahaan itu.
"Kalau perusahaan itu, saya tidak tahu," ujar Herman kepada harianmomentum.com.
Senada, Kades Banding Kecamatan Rajabasa Juherudin juga tidak mengetahui alamat perusahaan tersebut. "Kurang tahu juga alamatnya di mana," sebutnya.
Menariknya, Sekretaris Kecamatan Rajabasa Komarrudin justru merasa aneh dengan alamat PT HJW. Sebab, menurut dia, di Kecamatan Rajabasa tidak ada kelurahan.
"Disini (Rajabasa) tidak ada kelurahan, semuanya itu desa. Ada 16 desa dan tidak pernah dengar dan tahu juga alamat itu," terangnya.
Sekretaris Aspekindo (asosiasi pengusaha kontruksi indonesia) Lampung Selatan Nizar mengaku baru mendengar nama PT HJW yang beralamat di Rajabasa.
"Baru dengar juga nama PT itu. Setahu saya, kalau yang kontraktor lokalan sini kemungkinan untuk nilai proyek sebesar itu tidak ada yang sanggup," kata Nizar
Menanggapi hal itu, Kasi Jasa Konstruksi Dinas Cipta Karya dan Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Lampung Dhanny Yuristiawan mengaku tidak tahu, saat dikonfirmasi terkait alamat yang diduga fiktif.
"Mohon maaf saya tidak tahu," singkatnya saat dikonfirmasi harianmomentum.com, kemarin.
Terpisah, Kepala Badan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (BLPBJ) Zainal Abidin menyebutkan apa yang dimasukkan dalam website LPSE, sesuai dengan dokumen yang dilampirkan perusahaan.
Menurut Zainal, BLPBJ tidak melakukan verifikasi keaslian dokumen. Sebab, pihaknya hanya mencocokkan alamat antara dokumen yang satu dengan yang lainnya.
"Kami memang tidak mengecek satu persatu. Karena Pokja PBJ ini adalah melaksanakan proses barang dan jasa. Bukan memverifikasi keaslian," sebutnya.
Meski demikian, dia mengatakan setiap perusahaan tidak boleh melampirkan alamat fiktif. Karena sesuai dengan pakta integritas yang ditandatangani, semua dokumen yang dilampirkan harus sesuai.
"Tidak boleh fiktiflah seharusnya. Karena penyedia barang dan jasa itu sudah meneken pakta integritas, bahwa yang disampaikan itu baik dan benar," ujar Zainal.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan harianmomentum.com belum berhasil mengonfirmasi manajemen PT HJW.
Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung didesak menyelidiki proyek pembangunan gedung eks Samsat senilai Rp7 miliar yang dikerjakan PT HJW.
Sebab, gedung yang kini digunakan untuk Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Lampung itu sudah rusak.
Terjadi kebocoran bagian atap pada lantai I dan II gedung itu. Bahkan pada dinding di lantai terlihat ada sedikit keretakan.
Padahal gedung itu baru tiga bulan diresmikan oleh Gubernur Lampung (2014-2019) M Ridho Ficardo pada 14 Mei 2019.
Menurut Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung, Kejati dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus segera mengaudit proyek tersebut.
“Kejati harus turun menyelidiki proyek ini. BPK juga harus segera mengaudit. Kuat dugaan pekerjaan ini gagal konstruksi,” jelas Gindha Ansori, Koordinator Presidium KPKAD Lampung, Senin (26-8-2019).
Menurut Ginda rusaknya gedung yang baru hitungan bulan digunakan mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Dia menjelaskan setiap proses pembangunan pasti melalui tahap penganggaran, perencanaan hingga pelaksanaan.
"Rusaknya beberapa struktur bangunan, diduga pekerjaan ini dikerjakan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada dalam kontrak. Karena tidak mungkin suatu kontrak dengan nilai yang cukup fantastis hasil bangunannya sudah mulai rusak dalam hitungan bulan," jelasnya.
Menurut dia, proyek bangunan itu harus dilakukan audit investigasi karena ditengarai bermasalah. “Baik saat perencanaan hingga proses pelaksanaan di lapangan harus dicek," sebutnya.
Gindha mengatakan jika hasil audit terbukti merugikan keuangan negara, maka pihak rekanan dan Dinas Cipta Karya Provinsi Lampung harus mempertanggungjawabkannya.
"Karena menurut Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengembalikan keuangan negara tidak menghapuskan sifat pidana perbuatannya," tegasnya.
Dia juga menyayangkan PT Harapan Jejama Wawai serta Dinas Cipta Karya dan PSDA baru memperbaiki gedung tersebut setelah beritanya dimuat di media terlebih dahulu.
"Kan masa pemeliharaan itu lama, kenapa tidak dimanfaatkan untuk memperbaikinya? Kenapa setelah diberitakan dulu baru diperbaiki," sebutnya. (bob/adw/ap)
Editor: Harian Momentum