MOMENTUM, Bandarlampung--Persaudaraan Alumni (PA) 212 berniat menggelar kembali Reuni 212 pada 2 Desember 2019 di Kawasan Monas. Acara tersebut dianggap tidak relevan karena doa dan munajat dapat dilaksanakan di daerah masing tanpa perlu datang ke Jakarta. Kedatangan massa besar dari berbagai daerah ke Jakarta hanya menimbulkan tumpukan sampah dan mobilitas masyarakat, sehingga tidak berlebihan jika Reuni 212 dianggap minim manfaat.
Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Yusuf Martak mengklaim izin kegiatan Munajat dan Maulid Akbar Reuni Mujahid 212 sudah dikantongi. Ia mengatakan, panitia Alumni 212 sudah memegang izin pemberitahuan dari Polda Metro Jaya dan manajemen Monas.
"Perizinan semua sudah clear, alhamdulillah. Dari pemberitahuan kepada aparat dan kepada Monas semuanya sudah alhamdulillah, sudah semua," kata Martak saat ditemui di kantor MUI, Jakarta, Selasa (19/11/2019). Seperti yang dimuat dalam tirto.id.
Meskipun sudah mengantongi Izin, Panitia masih terus mengumpulkan anggaran dana untuk perhelatan reuni alumni 212 yang akan diselenggarakan pada 2 Desember 2019.
Namun demikian, nampaknya rencana Reuni 212 yang direncanakan akan diselenggarakan pada 2 Desember 2019, sepi peminat. Seperti yang sudah-sudah, agenda tersebut selalu kental dengan nuansa politis mengingat kali ini hanya mengundang Gubernur DKI Anies Baswedan, tanpa Prabowo Subianto yang saat ini sudah masuk lingkaran Pemerintahan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir pernah mengatakan, bahwa Muhammadiyah memastikan tidak akan bergabung dalam reuni akbar yang dilakukan oleh alumni 212. Muhammadiyah menilai, reuni 212 tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat.
Menurut Haedar, reuni 17/8/1945 yang merujuk pada tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat. Reuni kemerdekaan juga dinilai dapat membangkitkan kembali spirit kemerdekaan.
Dari pernyataan tersebut, tentu menunjukkan bahwa faedah ataupun kebermanfaatan dari reuni 212 masih dipertanyakan, apalagi isu politis selalu disemburkan secara bar-bar, tentu kita sama-sama tahu jika kelak tokoh Habib Rizieq datang dalam reuni tersebut, sound sistem akan dibuatnya mendenging atas ceramahnya yang jauh dari kesan sejuk, lontaran kebencian-pun bisa saja terucap secara ringan.
Haedar menambahkan, bahwa saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan hal-hal yang lebih bermanfaat. Karena itu, pihaknya tidak akan bergabung dalam reuni akbar tersebut. Haedar menyebut, pihaknya memilih melakukan kegiatan yang lebih positif, yang memberikan manfaat bagi banyak orang.
Di beberapa media sosial, beredar beragam meme untuk mengajak masyarakat menghadiri reuni PA 212 tersebut, namun disisi yang lain juga beredar banyak meme-meme yang menyuarakan penolakan terhadap rencana tersebut. Diantara beberapa meme yang beredar, konon, Rizieq Shihab akan menghadiri reuni tersebut. Tampaknya penggagas reuni PA 212 juga mengutip pendapat E Knowles dalam Journal of Personality yang mengatakan, semakin besar massa yang bergabung semakin besar pula “gairah” yang berhasil mereka ciptakan untuk menyuarakan aspirasinya. Sehingga wajar jika mereka militan menyebarkan meme-meme dan kegiatan lainnya agar momen 2 Desember bisa terlaksana dengan baik seperti yang mereka harapkan (walaupun belum semua umat Islam menyetujui urgensi reuni PA 212 ini).
Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Yaqut Cholil Quomas menilai sepatutnya Imam Besar FPI Habib Rizieq tak perlu dipaksa-paksa pulang kembali ke Indonesia. Yaqut mengatakan bahwa Rizieq sengaja pergi ke Mekkah, Arab Saudi karena kemauannya sendiri. Oleh karena itu, sudah seharusnya Rizieq kembali ke tanah air dengan kemauannya sendiri. Pihaknya juga memberikan saran kepada Rizieq untuk membayar denda overstay di Mekkah Arab Saudi agar dapat dengan mudah pulang ke Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa faedah ataupun kebermanfaatan dari reuni 212 masih dipertanyakan, apalagi isu politis selalu disemburkan secara bar-bar, tentu kita sama-sama tahu jika kelak tokoh Habib Rizieq datang dalam reuni tersebut, sound sistem akan dibuatnya mendenging atas ceramahnya yang jauh dari kesan sejuk, lontaran kebencian-pun bisa saja terucap secara ringan.
Tampaknya kalangan penggagas reuni PA 212 perlu mencermati sinyalemen Edmund Burke. Dalam bukunya berjudul “Reflections on the Revolution in France”, Edmund Burke menegaskan, jika demokrasi diartikan dengan kebebasan, maka kebebasan tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain, karena kepentingan orang lain adalah hak asasi.
Sementara itu, dalam situasi nasional saat ini, masyarakat Indonesia lebih membutuhkan hal-hal yang bermanfaat dibandingkan dengan datang ke Jakarta yang hanya menimbulkan tumpukan sampah serta mengganggu aktivitas masyarakat sekitar, sehingga tidak berlebihan jika Reuni 212 pada 2 Desember 2019 mulai dipertanyakan apa manfaatnya.
Disamping itu, penggagas reuni PA 212 juga harus menyadari berkumpulnya massa juga rentan menimbulkan tindakan anarkis, karena sifat massa yang berkumpul dalam jumlah besar cenderung menurun tanggung jawabnya. Hal ini dikemukakan sejumlah ilmuwan manca negara seperti Leon Festinger dalam Human Relations mengatakan, kebersamaan interaktif manusia dalam suatu kelompok massa berpotensi menimbulkan fenomena deindividuasi atau menurunnya “tanggung jawab”masing-masing individu. Sementara, Theodore Newcombe dalam The Aquitance Process mengatakan, berpadunya “kegairahan” dengan “penurunan” rasa tanggung jawab mudah untuk menyulut massa melupakan norma-norma sosialnya dan melakukan tindakan destruktif. Sedangkan, Irving Janis dalam Groupthink mengatakan, akan sulit bagi individu-individu di dalamnya untuk tidak larut bersama tindakan kelompok. Padahal jika menimbulkan aksi anarkis, selain penggagas reuni PA 212 akan berhadapan dengan mekanisme hukum, disisi lain menurunkan citra Islam di Indonesia. Oleh karena itu, sudah tidak ada relevansinya mengadakan reuni PA 212, karena “tidak ada isu politik apapun yang bisa dijual”. Semoga.(**)
Oleh : Erlangga Pratama dan Jokist. Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.
Editor: Harian Momentum