MOMENTUM, Bandarlampung--Dengan terpilihnya kembali Presiden Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, periode 2019 sampai dengan 2024, menjadikan salah satu tujuan tentang pembangunan ekonomi pada pemerintahan Jokowi pada jilid I, masih terus digalakkan bahkan didukung dengan tindakan yang cukup tegas. Hal ini dilakukan, mengingat salah satu indikator dari suatu negara adalah peningkatan pendapatan masyarakat atau kemajuan ekonomi, diikuti dengan peningkatan pendidikan SDM.
Meninjau kondisi saat ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia cenderung bersifat stagnan, hal ini didukung dengan adanya data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menyatakan, tahun 2019 investasi yang masuk ke Indonesia terus mengalami pelemahan. Data realisasi investasi per 2018, Investasi di Indonesia hanya tumbuh 4,1 persen pada 2018 dibandingkan dengan tahun 2017.
Lesunya investasi ini tidak lain disebabkan oleh ketidakefektifan regulasi, sehingga dengan regulasi saat ini yang cenderung bersifat lama dan melalui banyak pintu, membuat investor yang akan masuk ke Indonesia menjadi terhambat bahkan tidak berminat. Hal ini tentunya merugikan Negara Indonesia dalam perkembangan sektor ekonomi.
Disisi lain permasalahan regulasi sendiri juga muncul karena adanya ketidak sinkronan, seperti halnya tentang Hak Guna Bangunan (HGB), dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disebut jangka waktunya 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun ke depan. Sementara, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diungkapkan HGB dapat diberikan hingga 80 tahun dengan diberikan dan diperpanjang di muka 50 tahun serta diperbarui untuk 30 tahun. Hal ini tentunya membingungkan bagi para pelaku usaha, sehingga permasalahan regulasi ini menjadi kelemahan untuk optimalisasi sektor ekonomi maupun sektor-sektor lainnya.
Kendala Dan Mengoptimalkan Regulasi
Langkah penyederhanaan regulasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah langkah strategis yang baik, untuk mewujudkan implementasi paket kebijakan, sehingga pembuatan RUU Omnimbus Law merupakan salah satu langkah yang efektif untuk menanggulangi kebijakan-kebijakan yang tidak sinkron atau tumpang tindih. Mengingat konsep dari Omnimbus Law sendiri meliputi, mengatasi konflik peraturan Perundang-Undangan baik Vertikal maupun Horizontal serta menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah.
Perlunya penyeragaman kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah, karena masih banyaknya jumlah regulasi peraturan di tingkat daerah yang justru memberatkan para pelaku usaha, sehingga investasi tidak berlangsung optimal dan hal ini justru memperbesar Ego Sektoral dari pemerintah daerah sendiri. Sedangkan di tingkat kementrian juga masih terdapat peraturan yang tidak sinkron akibat ego sektoral dan masih digunakannya peraturan turunan dari zaman hindia-belanda, sehingga aturan-aturan tersebut dinilai sudah tidak relevan, bahkan dinilai menimbulkan ketidak sinkronan antara satu aturan dengan aturan yang lain.
Selain itu keputusan dari Jokowi tentang Perizinan terpadu satu pintu (PTSP) adalah langkah yang tepat karena mendukung terciptanya efisiensi business process pengurusan izin. Seperti percepatan dalam hal waktu, kemudahan dalam syarat/prosedur dan biaya yang proporsional. Di sisi lain, PTSP di daerah terus berbenah bahkan di tingkat pusat BKPM pun kini sudah memiliki PTSP nasional yang mendapat pelimpahan kewenangan penerbitan izin dari beberapa kementrian lembaga.
Berbagai langkah startegis telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pembangunan sektor ekonomi-sosial, tetapi masih saja hal ini menjadi isu yang kontradiktif, bahkan jikapun sudah terrealisasikan masih dalam tahap efektivitas, sehingga langkah-langkah strategis ini juga tidak dapat memberikan sumbangsih yang optimal jika belum terimplementasikan dan hal ini perlu menjadi pertimbangan bagi kita semua, dalam rangka mengupayakan Indonesia maju, tentunya didukung dengan digitalisasi di setiap lini pemerintah, guna mempermudah koordinasi data, dengan tujuan percepatan kinerja (**)
Oleh: Almira Fadillah, penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadarma.
Editor: Harian Momentum