MOMENTUM, Bandarlampung--Januari 2020 situasi laut Natuna Utara menjadi perhatian nasional setelah aksi provokasi kapal penjaga pantai RRC mengawal puluhan kapal nelayan RRC yang mencuri ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Lemahnya kemampuan pengamanan laut kita memaksa pemerintah untuk memobilisasi 8 KRI milik TNI AL serta pesawat intai maritim untuk mengusir para pencuri dan penerobos ZEE Indonesia di laut Natuna Utara.
Mobilisasi kekuatan tempur ini memang menciptakan efek gentar bagi kapal-kapal sipil milik RRC, namun menunjukkan bahwa Indonesia memiliki celah kelemahan yang sangat fundamental dalam kemampuan pengamanan laut sehingga harus mengandalkan dukungan militer. Semestinya, jika coastguard Indonesia kuat maka tidak perlu mobilisasi militer untuk menghalau kapal-kapal sipil.
Peristiwa di laut Natuna Utara diperkirakan telah mengalami eskalasi sejak tahun 2014. Tidak hanya kapal nelayan, tetapi coastguard dan kapal oseanografi RRC telah hilir mudik di Laut China Selatan (LCS).
Intensitas kapal-kapal sipil dari RRC ini tampaknya sejalan dengan kebijakan politik RRC untuk meneguhkan klaim atas LCS sebagai relevant waters dan traditional fishing zone, suatu konsep yang tidak diakui dan tidak dikenal dalam rezim hukum internasional. Konsekuensi dari aktifitas kapal-kapal sipil RRC ini tidak hanya menimbulkan potensi ancaman keamanan laut saja, tetapi dapat menjadi sengketa diplomatik masa depan dengan Indonesia karena tampaknya RRC sedang menjalan strategi effective occupation (pendudukan nyata) di LCS. Strategi ini pernah dijalankan oleh Malaysia dan mengantarkannya pada kemenangan dalam sengketa Sipadan-Ligitan dengan Indonesia. oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memiliki suatu sistem keamanan laut yang terintegrasi dan responsif terhadap setiap potensi ancaman laut melalui kerangka regulasi yang lebih komprehensif.
Karakteristik Ancaman Laut
Gagasan untuk mewujudkan suatu sistem keamanan laut yang tangguh sebagaimana hendak diadopsi dalam Omnibus Law Keamanan Laut tentu harus beranjak dari persepsi dan identifikasi tentang karakteristik ancaman laut, baik yang bersifat militer maupun nirmiliter. Laut sebagai sumber daya strategis masa depan tentu akan diperebutkan oleh berbagai negara. Hal ini telah disadari oleh Presiden Jokowi dalam visi maritim yang melihat lautan sebagai masa depan Indonesia. Karena itulah, pengamanan laut sama saja dengan pengamanan masa depan bangsa dan negara.
Menilik dari kompleksitas masalah keamanan laut yang dihadapi, setidaknya terdapat empat karakteristik ancaman laut yang dapat diidentifikasi, yakni : pertama, ancaman kekerasan (violence threat), muncul dari kekuatan bersenjata yang terorganisasi seperti pembajakan, perampokan, dan aksi teror; kedua, ancaman terhadap sumber daya laut (natural resources tribulation), yaitu ancaman berupa pencemaran dan perusakan terhadap ekosistem laut dan konflik pengelolaan sumber daya laut yang dipolitisasi dan diikuti dengan penggelaran kekuatan
militer; ketiga, ancaman pelanggaran hukum (law transgression threat), yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, dan penyelundupan; dan keempat, ancaman navigasi (navigational hazard), yaitu ancaman yang timbul oleh kondisi geografis maritim dan hidrografi akibat kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Potensi ancaman yang demikian kompleks tentu memerlukan kerangka regulasi yang terpadu dan dapat mensinergikan aktor-aktor yang berkepentingan terhadap keamanan laut. Realitas bahwa saat ini ada 24 UU dan 2 PP yang saling tumpang tindih mengatur mengenai kelautan, serta ada 7 institusi di antaranya Empat di antaranya yaitu TNI Angkatan Laut, Polisi Air, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Perlu ada leading sector dan peningkatan kapasitas institusional yang didukung infrastruktur keamanan laut yang memadai. Hal ini untuk mengakhiri kondisi kekacauan dalam sistem keamanan laut yang melemahkan kemampuan kita dalam merespon ancaman secara efektif.
Memperkuat Visi Maritim
Visi Maritim Indonesia sangat relevan jika dikaitkan dengan pertimbangan geopolitik. Letak geografis yang strategis menghadirkan peluang sekaligus ancaman kawasan yang semakin sengit dikemudian hari. Banyak negara berkepentingan terhadap perairan pasifik dan LCS dan mulai memobilisasi kepentingan ekonomi sipil yang didukung oleh kebijakan negara dan alokasi kekuatan militer. Potensi LCS dimana sepertiga dari perdagangan minyak dunia dan lebih dari setengah perdagangan gas alam melintasi kawasan tersebut tentu sangat menggiurkan. LCS menjadi jalur lintasan utama perdagangan dunia yang menghubungkan kawasan Timur dan tenggara Asia dengan nilai mencapai USD 5,3 T/tahun. Selain itu, LCS juga menyimpan SDA cadangan minyak sebesar 11 miliar barrel dan potensi cadangan gas alam yang tersimpan sebesar 190 Trillion Cubic Feet (TCF). Potensi SDA yang besar itu justru sebagian besar berada di wilayah pantai sekitar LCS, termasuk di antaranya adalah wilayah yang masuk dalam ZEE Indonesia. Nilai ekonomi strategis inilah yang diperkirakan akan memicu terjadinya eskalasi di kawasan dan menghadirkan ancaman yang signifikan bagi kepentingan nasional Indonesia, dan pada saat itu terjadi maka Indonesia telah siap dengan berbagai respon yang efektif.
Pentingnya segera untuk menyelesaikan Omnibus Law Keamanan Laut tidak hanya sekedar mengkodifikasi berbagai aturan yang tumpang tindih dan mengatur tata kelola aktor keamanan laut, namun juga merupakan jalan bagi realisasi visi maritim Indonesia yang dicanangkan presiden Jokowi. Visi maritim ini beranjak dari realitas bahwa 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan dengan karakteristik negara kepulauan. Sehingga, pengamanan wilayah lautan menjadi sangat vital dan kebutuhan mendesak mengingat potensi ancaman di kawasan. Dengan demikian, Omnibus Law Keamanan Laut tidak hanya merespon potensi ancaman tetapi juga menjadi semacam pijakan bagi Indonesia untuk mengkonstruksi kepentingan nasionalnya atas wilayah perairan dan lautan yang didukung oleh infrastruktur dan kapasitas institusional yang tangguh.(**)
Oleh: Ade Reza Hariyadi, penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia.
Editor: Harian Momentum