Begini Tanggapan Polda dan LBH Soal Penangkapan Nelayan di Lamtim

img
Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol Zahwani Pandra //ist
MOMENTUM, Bandarlampung--Kepolisian Daerah (Polda) Lampung dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung angkat bicara terkait pernyataan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung Wahrul Fauzi Silalahi.

Pernyataan itu, menyebut bahwa polisi terlalu berlebihan —membawa senjata laras panjang— dalam melakukan penangkapan terhadap nelayan di Desa Margasari, Kualapenat, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, pekan lalu.

Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Lampung Kombes Pol Zahwani Pandra menjelaskan, penangkapan terhadap nelayan berinisal R dilakukan oleh tim khusus anti bandit (Tekab) 308 yang memang dilengkapi dengan senjata pendek dan laras panjang.

"Itu namanya keperluan perlengkapan perorangan, dimana tiap anggota Polri dilengkapi senjata laras panjang dan pendek. Ini bukan polisi biasa, tapi Tekab 308 untuk kejahatan tingkat tinggi," kata Pandra saat dikonfirmasi, Jumat malam (13-3-2020).

Lebih lanjut Pandra menuturkan, penangkapan R bermula saat Tim Tekab 308 Polres Lamtim melakukan penyelidikan dan penyekatan sehingga mendapatkan R di wilayah Desa Mandalasari.

"Saat melakukan pengamanan, Katim Tekab 308 melakukan pembicaraan persuasif kepada R untuk dapat ikut dengan Tim Tekab untuk dimintai keterangan," tuturnya.

Saat diamankan, kata Pandra, di dalam mobil tersebut R bersama dengan istri dan tiga anaknya serta ibunya. Pada saat melakukan upaya pengamanan, salah seorang anggota menyandang senjata laras panjang jenis V2 Pindad namun bersifat pasif tanpa mengarahkan atau pun menodongkan senjata tersebut kepada R.

"Setelah melakukan penjelasan, saudara R dengan sukarela tanpa ada paksaan mengikuti Tim Tekab 308 Polres Lamtim untuk dibawa dengan tujuan dimintai keterangan," ungkapnya.

Pandra menegaskan, jika memang merasa ada yang salah dalam prosedur penangkapan, dia mempersilahkan untuk melaporkan hal tersebut kepada Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Lampung.

"Kalo memang merasa ada yang salah prosedurnya silahkan ajukan ke Propam," tegasnya.

Lebih lanjut Pandra mengungkapkan, pasca penangkapan terduga pembakar kapal tongkang penyedot pasir, Polisi melakukan mediasi di rumah terduga pembakaran.

Pandra mengatakan, mediasi itu dilakukan sebagai tindak lanjut pasca pengamanan terduga pelaku pembakaran kapal tongkang pasir laut.

"Mediasi dilakukan di rumah yang bersangkutan, antara kepolisian, masyarakat dan stakeholder, tadi siang," kata Pandra.

Hasil mediasi, lanjutnya, masyarakat nelayan Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai bersedia menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif selama kapal tongkang sedot pasir tersebut tidak datang ke laut desa setempat dan menyerahkan semuanya ke pihak berwajib.

Pandra pun menuturkan jika kasus pembakaran kapal sedot pasir tersebut ditangani oleh Dit Polair Polda Lampung.

"Saat ini untuk proses penyidikan lebih lanjut ditangani Dit Pol Air Polda Lampung," ujarnya.

Baca juga: Legislator Lampung Kecam Penangkapan Nelayan Bagai Teroris

Terpisah, Direktur LBH Bandarlampung Candra Mulyawan menyebut bahwa polisi seharusnya dapat memperhitungkan dengan baik, terkait adanya senjata laras panjang atau senjata organik lainnya dalam proses penangkapan.

“Penggunaan senjata api ini telah diatur dalam Peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian. Nah dalam hal ini dugaan apa penangkapannya? Jadi tidak perlu tindakan berlebihan,” kata Candra.

Menurut dia, hal itu perlu menjadi perhatian. Termasuk dari Bid Propam Polda Lampung. “Apakah ada dugaan pelanggaran dalam penindakan tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut dia pun menyebut bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan telah diatur dalam Pasal 17 KUHAP. Ayat pertama, seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; kedua dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

“Maka penangkapan tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Harus disertai surat perintah penangkapan,” jelasnya.

Kemudian, sambung dia, setelah seseorang ditangkap maka dia berhak untuk menghubungi dan didampingi oleh seorang penasehat hukum/pengacara.

Selanjutnya segera diperiksa oleh penyidik; kemudian dapat diajukan kepada penuntut umum; minta untuk dilepaskan setelah lewat dari 1 X 24 jam; diperiksa tanpa tekanan seperti intimidasi, ditaku-takuti dan disiksa secara fisik. “Jadi penangkapan itu harus jelas dan terukur,” ujarnya.(**)

Laporan: Ira Widia

Editor: Agung Chandra Widi






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos