MOMENTUM, Bandarlampung--Periode kedua pemerintahan Jokowi, beliau membuat suatu gebrakan baru melalui Omnimbus Law, yang tujuannya sendiri untuk menyederhanakan regulasi, dalam rangka memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia guna memperkuat perekonomian nasional. Mengingat semakin ketatnya persaingan maupun tantangan di era globalisasi.
Apalagi saat ini kita telah memasuki era revolusi industri 4.0 yang memicu perubahan industri dan pola hidup masyarakat, sehingga menuntut setiap individu tidak hanya meningkatkan kualitasnya tetapi juga harus memiliki strategi maupun prioritas dalam perkembangannya.
Dan hal ini bisa dikatakan bukanlah hal yang mudah, mengingat Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2019 sebesar 71,92, lebih tinggi dari IPM tahun 2018 yang sebesar 71,39.
Proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah penduduk Indonesia 2015-2045 di Pulau Jawa, pada 2019 mencapai 150,4 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan separuh penduduk Indonesia yang mencapai 266,91 juta jiwa. Adapun jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan, yakni masing-masing 75,23 juta jiwa dan 75,17 juta jiwa.
Sehubungan dengan perkembangan RUU Omnimbus Law saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan empat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Keempat RUU Omnibus Law tersebut adalah RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Meninjau Efektifitas RUU IKN Dan Relokasi Ibu Kota Negara
Rencana Pemerintah yang akan melakukan pemindahan Ibu Kota Negara dari Prov. DKI Jakarta ke Penajam Paser Kalimantan Timur (Kaltim), meciptakan opini Pro-Kontra di kalangan masyarakat termasuk Elite Politik, hal ini bisa dikatakan wajar mengingat pemindahan lokasi Ibu Kota Negara memerlukan banyak pertimbangan akademis, untuk mengukur efektifitas Pemerintahan di Ibu Kota Negara yang baru.
Penerapan RUU IKN sendiri merupakan Pilot Project yang dapat dijadkan sebagai acuan untuk RUU Omnimbus Law lainnya, mengingat relokasi Ibu Kota Negara adalah project strategis yang secara umum memisahkan fungsi dari DKI Jakarta sebagai Kota penunjang Ekonomi dan Kota pemerintahan, sehingga melalui pemisahan fungsi tersebut DKI Jakarta dapat menentukan prioritas pembangunan tata kelola kota sebagai pusat ekonomi dan bisnis.
Keputusan tersebut dinilai sesuai, sehingga pembangunan ekonomi di Indonesia, yang terpusat di Prov. DKI Jakarta lebih terkelola dan optimal. Disisi lain, kepadatan penduduk di DKI Jakarta dinilai terlalu banyak atau sekitar 10.467.600 jiwa per akhir tahun 2018, sehingga banyak menimbulkan permasalahan seperti tidak efektifnya pendirian bangunan, terutama pemukiman, dan tingginya inflasi, mengingat selama Januari-Oktober tahun 2019 inflasi di DKI Jakarta mencapai 2,73 persen, lebih tinggi dari inflasi pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 2,35 persen (Data BPS 2019)).
Meninjau kepadatan jumlah penduduk dan pemukiman di DKI Jakarta, dinilai kondis ini tidak sehat dan bahkan dapat meningkatkan angka kemiskinan yang akan berdampak pada peningkatan beban biaya untuk kesejahteraan sosial penduduk DKI Jakarta serta memicu melebarnya masalah banjir di kawasan DKI Jakarta. Dengan demikian keputusan Bapak Jokowi untuk merelokasi Ibu Kota negara didukung dengan RUU IKN, adalah langkah yang tepat. Mengingat jika kita menilik kembali di beberapa negara seperti Amerika, Ibu Kota Negara dan pusat ekonomi berlangsung di kota yang terpisah, dengan tujuan untuk mengkondisikan serta mendukung tercapainya tujuan-tujuan strategis Nasional, sehingga tidak akan ada lagi cerita atau aksi yang dapat menganggu roda di pusat perekonomian Indonesia.
Jika kita berinstropeksi diri, bisa dikatakan pelaksanaan pemerintahan maupun bisnis-ekonomi di Kota DKI Jakarta tidak dapat berlangsung secara beriringan, contohnya: bila dalam suatu kondisi tertentu seperti terjadinya aksi massa ataupun tindakan anarkis, secara tidak langsung, hal ini juga akan mempengaruhi roda perekonomian. Disisi lain dengan posisi Ibu Kota Negara di Kalimantan dapat memacu pemerataan ekonomi serta penduduk di wilayah Barat dan Timur Indonesia, Namun perlu dicatat juga bahwa Kalimantan yang padat akan hutan perlu juga mendapat atensi, sehingga sangat diharapkan dan ditekankan agar pembangunan Ibu Kota Negara di Klaimantan tidak merusak ekosistem maupun sampai terjadi penebangan secara berlebihan, sehingga kondisi alam dan lingkungan tetap terjaga.
Sejak upaya relokasi Ibu Kota Negara ini diupayakan melalui RUU IKN, pihak Bappenas telah elakukan sinkronisasi 43 regulasi, terpantau terdapat 4 UU yang akan diselaraskan yang bersangkutan dengan kedudukan IKN yakni, UU terkait batas dan wilayah, UU terkait bentuk dan susunan pemerintah, UU tentang kawasan khusus pusat pemerintahan yang perlu diselaraskan, UU tentang penataan ruang terkait lingkungan hidup, dan UU tentang penanggulangan bencana. Penyelarasan ini tentunya merupakan angin segar bagi penyederhanaan regulasi di Indonesia, sebagai langkah untuk mengefektifkan kinerja di pemerintahan.(**)
Oleh: Almira Fadhillah, penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadharma.
Editor: Harian Momentum