MOMENTUM--Pada tahun 2018 Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementeran Dalam Negeri Mayjen (Purn) Soedarmo menyebut 19,4 pegawai negeri sipil (PNS) di Idonesia tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Pernyataan Soedarmo tersebut merujuk pada hasil survei yang dilakukan Alvara Research pada 2017. Data inilah yang menjadi dasar dari keprihatinan radikalisme di kalangan ASN.
Lebih jauh lagi keterlibatan ASN dalam terorisme juga sudah menjadi fakta di Indonesia. Sebelumnya Menhan pada perioden 2014-2019 Ryamizard Ryacudu menyebutkan 3 persen anggota TNI terpapar paham radikal. Data lain pada bulan Mei 2019 seorang anggota Polwan di Polda Maluku Utara terpengaruh paham radikal. Pada 2015 seorang anggota Polres Batanghari Brigadir Syahputra diketahui bergabung dengan ISIS di Suriah.
Pada tahun 2018 di Jawa Timur, ASN dari Politeknik Negeri Banyuwangi, Dinas Pertanian Pemkab Probolinggo, dan Guru di Kota Probolinggo, terlibat kelompok teroris yang merupakan hasil aksi penindakan pasca bom Surabaya Mei 2018. Selain itu pada tahun yang sama seorang karyawan BUMN diketahui memberikan modal kepada dua orang anggota kelompok teroris untuk beraksi di Mako Brimob. Pada 2016 mantan ASN dari Kementrian Keuangan, lulusan STAN dan S2 Public Policy dari Australia, dideportasi dari Turki karena ingin bergabung dengan ISIS di Suriah. Jauh sebelumnya pada 2010 tiga ASN alumni STPDN (sekarang IPDN) ditangkap di Aceh karena terlibat aksi terorisme.
Fakta-fakta tersebut di atas menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme di kalangan ASN, termasuk diantaranya BUMN bukan hanya ilusi, namun fakta yang memprihatinkan. Tentu saja pencegahan dan penanganan fenomena radikalisme di kalangan ASN tidak mudah.
Secara teknis pemerintah sudah mengeluarkan produk hukum berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri dan Kepala Badan yang mengatur tentang penanganan radikalisme pada aparatur sipil negara (ASN). Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Mudzakir menyebutkan bahwa Surat Keputusan Bersama 11 menteri dan kepala badan tersebut dibuat untuk melindungi aparatur sipil negara dari bahaya radikalisme.
Selain regulasi, pemerintah juga meluncurkan platform portal aduan radikalisme bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan nama www.aduanasn.id. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan portal aduan tersebut merupakan upaya pemerintah dalam memastikan ideologi negara dan konstitusi tetap menjadi pedoman ASN. Portal ini merupakan kerjasama antara Kementrian dan Lebaga yaitu KemenPAN-RB, Kemendagri, Kemenko Polhukam, Kemenag, Kemendikbud, Kemenkumham, BKN, BNPT, BIN, BPIP, dan KPK.
Dari dua langkah teknis yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, yaitu menerbitkan SKB 11 Menteri/Kepala Badan dan peluncuran platform aduan ASN tersebut, nampak bahwa radikalisme di kalangan ASN sudah mulai serius sehingga ditangani dengan fokus pada ranah penindakan. Upaya-upaya yang sistematis untuk melakukan pencegahan seperti membangun sistem seleksi yang ketat, sistem doktrinasi Pancasila yang kuat, dan berbagai mekanisme lain untuk menguatkan benteng pertahanan ideologi Pancasila supaya tidak dirusak oleh ideologi lain belum nampak dilakukan secara masif.
Pemerintah perlu fokus pada pencegahan terjadinya radikalisasi di kalangan ASN dengan melakukan seleksi ASN secara ketat dan membangun penguatan ideologi Pancasila yang sangat kuat sehingga tidak mudah untuk digoyahkan oleh ideologi lain. Selain penguatan ideologi melalui doktrinasi, celah-celah yang bisa menjadi pintu masuk ideologi selain Pancasila harus ditutup rapat.
Ketegasan pemerintah dalam mencegah dan menangani radikalisasi di kalangan ASN harus dilalakukan. Jika pemerintah lambat atau justru membiarkan fenomena radikalisasi di kalangan ASN ini maka hal tersebut menjadi indikator bahwa ancaman terhadap ideologi negara sudah sangat serius.
Oleh: Stanislaus Riyanta, analis terorisme
Editor: Harian Momentum