Tolak Omnibus Law, Gebrak Datangi Sekretariat DPD RI Lampung

img
Gebrak Lampung menggelar aksi menolak RUU Omnibus Law./Rifat

MOMENTUM, Bandarlampung--Massa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) Lampung menggelar aksi menolak RUU Omnibus Law cipta lapangan kerja, Senin (6-7-2020).

Aksi itu dimulai dari Tugu Adipura, kemudian massa melakukan konvoi menuju kantor DPD RI Lampung di Jalan Patimura Nompr 19, Kupangkota, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandarlampung.

Koordinator aksi, Ihsan Teja mengatakan menolak rencana pengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada 16 Juli 2020 di Gedung DPR RI Jakarta.

“Kami dari Gebrak Lampung menolak disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sebab aturan itu menciderai hak para buruh dan hanya menguntungkan para pengusaha,” ucap koordinator sekaligus ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokratik- Dewan Nasional (LMND-DN) Bandarlampung itu.

Setelah melakukan aksi di Tugu Adipura, mahasiswa dan buruh itu berkendara menuju ke Kantor DPD RI Provinsi Lampung untuk menyatakan sikap yang sama dan mengharap agar aspirasi tersebut dapat tersampaikan.

Kepala Sekretariat DPD RI Provinsi Lampung, Chandra Kirana membuka ruang mediasi di Kantor DPD RI Provinsi Lampung bersama dengan lima orang perwakilan massa.

Ketua LMND-DN Provinsi Lampung, Kristina Tia Ayu mengatakan dalam mediasi tersebut, tidak ada perwakilan DPD RI Provinsi Lampung yang menemui massa.

Oleh sebab itu, massa menyerahkan surat pernyataan sikap menolak RUU Omnibus Law agar segera ditandatangani oleh perwakilan DPD RI Provinsi Lampung, dan diberikan tenggat waktu hingga tanggal 9 Juli 2020.

“Sekretariat DPD RI Provinsi Lampung tadi menyatakan sikap setuju untuk menolak RUU Omnibus Law, tetapi dia tidak mau menandatangani surat pernyataan sikap karena belum ada perwakilan DPD RI Provinsi Lampung yang lain,” ujar Kristin.

Menurutnya ada empat poin alasan mengapa GEBRAK Lampung menolak RUU Omnibus Law yang akan disahkan lembaga legislatif tingkat pusat tersebut.

"Pertama, melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan," jelas Kristin.

Kedua, penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan mendaur ulang pasal inkonstitusional

Ketiga, Satgas Omnibus Law bersifat elitis dan tidak mengakomodasi elemen masyarakat yang terdampak keberadaan seperangkat RUU Omnibus Law.

"Keempat, sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat yang mencederai semangat reformasi dan otonomi daerah," pungkasnya. (**)

Laporan: Rifat Arif

Editor: Agus Setyawan 






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos