MOMENTUM--Sekitar empat abad yang lalu, tahun 1749, Gottfred Achenwall, seorang ekonom dan ahli statistik Jerman kala itu, mendefinisikan statisticum collegium (dewan negara) sebagai science of state (ilmu tentang negara). Kemudian pada abad ke-19, Sir John Clair mendefinisikan statistik sebagai ilmu pengumpulan dan klasifikasi data.
Statistika mengalami perkembangan yang lebih modern pada akhir abad ke-19, Karl Pearson menjadi pelopor dengan memperkenalkan teori probabilitas, regresi linear, dan istilah deviasi standar. Disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti Ronald Fisher (peletak dasar statistika inferensia) dan William Sealey Gosset (masalah ukuran sampel kecil).
Sejak saat itu statistika berkembang pesat pada semua lini bidang pengetahuan.
Di Indonesia, kegiatan statistik sudah dimulai sejak tahun 1920 oleh pemerintahan Hindia Belanda. Lembaga yang mengurus dan mempublikasikan statistik waktu itu adalah Directeur Van Landbouw Nijverheld en Handel (Direktur Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan) di Bogor.
Pada tanggal 24 September 1924, kegiatan statistik pindah ke Jakarta dengan nama Centraal Kantoor Voor De Statistiek (CKS) dan melaksanakan sensus penduduk pertama kali di Indonesia pada tahun 1930. Di era penjajahan Jepang (1942–1945), CKS berubah nama menjadi Shomubu Chosasitsu Gunseikanbu, lebih difokuskan untuk pendataan kegiatan perang.
Setelah kemerdekaan RI, kantor statistik dinasionalisasi menjadi Kantor Penyelidikan Perangkaan Umum Republik Indonesia (KAPPURI). Lalu pada tanggal 12 Juni 1950, KAPPURI dan CKS dilebur menjadi Kantor Pusat Statistik (KPS) di bawah Menteri Kemakmuran.
Tanggal 1 Juni 1957, KPS berubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS) yang bertanggung jawab secara langsung kepada Perdana Menteri waktu itu. Sesuai UU nomor 6 tahun 1960 tentang sensus, pada tahun 1961 BPS mengadakan sensus penduduk secara serentak untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka.
Terakhir, pada tanggal 19 Mei 1997 dengan ditetapkannya UU nomor 16 tahun 1997 tentang statistik, Biro Pusat Statistik diubah namanya menjadi Badan Pusat Statistik dan ditetapkan sebagai instansi vertikal pemerintah non departemen.
Perkembangan statistik di negara maju -–yang notabene masyarakatnya lebih data oriented, lebih melek forecasting, teori induktif, dan sejenisnya– lebih akseleratif. Bagi mereka, statistik adalah informasi berharga.Statistik bukan sekadar sekumpulan angka diam, statistik adalah bunyi berupa keputusan atau regulasi. Oleh sebab itu, respon mereka terhadap kegiatan survei lebih antusias dan terbuka.
Di Indonesia –termasuk negara berkembang lainnya–, masyarakat melek statistik bisa dikatakan belum cukup masif dan dominan. Jika kita telusuri, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia tahun 2019 masih di angka 8,34 tahun (kelas 2 SLTP).
Sementara kurikulum statistik dasar baru diterima ketika kita duduk di bangku kuliah. Bagi sebagian kalangan intelektual saja, statistik masih dianggap himpunan angka yang rumit untuk dibunyikan.
Lebih dalam, sekumpulan rumus njlimetyang bisa membuat isi kepala pusing tujuh keliling. Statistik terkesan rumit, ribet, kompleks, dan “makhluk” yang banyak dihindari para mahasiswa, jauh dari kesan estetis.
Lebih jauh, pada bagian kelompok awam lainnya, masyarakat memberi label statistik sebatas proses pendataan, titik. Ada pendataan artinya akan ada bantuan. Fungsi kegiatan statistik berupa survei yang seharusnya menjadi kamera untuk memotret suatu keadaan pada waktu tertentu seorisinil mungkin untuk di-capture, justru “dikaburkan” sebagian responden agar potretnya yang tertangkap menjadi gambaryang iba demi asumsi mendapat bantuan pemerintah yang belum tentu benar.
Dengan kualitas SDM yang masih terbatas, jumlah penduduk yang besar, dan geographical space yang teramat luas, statistik di Indonesia memiliki tantangan yang berat terutama pada sebaran jumlah personil, kompleksitas metodologi, dan penganggaran versus beban kerja.
Belum lagi secara administratif, di Indonesia instansi yang punya wewenang penuh dalam merilis angka indikator masih berbeda, masih adanya sumber data dengan versi data yang berbeda.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai pemain tunggal statistics official pemerintah mesti berjibaku dengan segala constraints yang ada. Bukan saja dituntut menyuplai data berkualitas (core product) namun juga harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bagaimana data mudah diakses dan hangat disajikan kepada konsumen (new core business).Selain dua hal di atas, tantangan terberat BPS adalah menyadarkan pentingnya statistik di tengah masyarakat.
Beberapa tahun terakhir, dunia perstatistikan di Indonesia mulai diramaikan oleh adanya berbagai lembaga survei.Di satu sisi, kondisi ini tentu menggembirakan karena proses sosialisasi, edukasi, dan literasi perstatistikan di Indonesia bagi masyarakat awam semakin meriah dan masif.
Metode polling dan quick count sebagai bagian kegiatan statistik oleh berbagai lembaga survei menjadi semakin familiar di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, muncul ancaman baru, muncul image baru di tengah masyarakat, statistic by ordered.
Badan Pusat Statistik sebagai leading sector perstatistikan di Indonesia terus bertransformasi menuju organisasi yang lebih profesional. Branding imparsial atau independensi harus terus melekat pada tubuh organisasi.
Data sebagai produk utama BPS mesti memiliki jaminan kualitas. Data berkualitas tentu bukan data yang berbasis “menyenangkan” pimpinan. Data berkualitas harus berangkat pada prinsip-prinsiprelevan, akurat, mutakhir, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penyusunan data berkualitas perlu sinergitas seluruh komponen pembentuk. Badan Pusat Statistik sebagai statistics officialmembangun metodologi sesuai kaidah agar data dan kesimpulan yang keluar unbias sehingga lebih representatif. Namun demikian, metode statistik yang sempurna disertai interviewer yang cakap tidak akan menghasilkan output yang baik ketika responden tidak memberikan jawaban jujur yang menjadi salah satu penyebab non sampling error menjadi besar.
Dari sisi regulasi lain, Perpres nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI) adalah upaya untuk “menertibkan” versi data yang berbeda antara satu instansi dengan instansi lain. Tujuannyaagar proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan yang dilakukan pemerintah memiliki data dasar yang kokoh, seragam, dan tidak berbeda perspektif antar kementerian/lembaga.
Data berkualitas dalam menggapai Indonesia Maju adalah harga mati. Bagaimana mungkin kita membangun dengan data semu? Data semu mengakibatkan arah kebijakan tidak lagi inline, tidak lagi on the track, tersesat melenceng ke arah yang kurang tepat. Ujung-ujungnya pembiayaan program pemerintah menjadi mubazir. Kepala BPS RI, Suharianto, pernah menyampaikan “membangun data itu mahal, tapi jauh lebih mahal membangun tanpa data”.
Tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional. Kita berharap semoga perstatistikan di Indonesia kian maju dan berkembang. Semoga awareness masyarakat terhadap pentingnya data dalam pembangunan semakin terus meningkat. Maju statistik Indonesia! (*)
Gun Gun Nugraha - ASN BPS Provinsi Lampung dan Pemerhati Isu Ekonomi dan Sosial Kependudukan
Editor: Harian Momentum