DPR Independen

img
Andi Panjaitan, Pemred Harian Momentum

MOMENTUM—Kebijakan DPR mengesahkan Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Kerja membuat publik sakit hati. Terutama kaum buruh. 

Begitu curhatan Kang Omen kepada Bang Mun, di sebuah kedai kopi. Sesama buruh pabrik itu terlibat obrolan serius usai berdemonstrasi.   

Mereka menganggap, DPR telah bersekongkol dengan pemerintah untuk mengebiri haknya—sebagai buruh. 

Teriakan penolakan dari jutaan rakyat tak digubris. DPR di parlemen seakan pura- pura tuli. 

“Seharusnya mereka sadar. Jika memang regulasi yang diciptakan itu pro-rakyat, tak mungkin terjadi penolakan di seluruh pelosok negeri,” cerocos Kang Omen.

Sudahlah. Ibarat kata pepatah; nasi sudah menjadi bubur. “RUU yang sudah disahkan tak mungkin bisa ditarik kembali,” ujar Bang Mun menimpali.

Setelah menyulut sebatang rokok, dia menjelaskan bahwa keputusan itu sudah final. Dalam waktu 30 hari UU itu akan dimasukkan dalam lembaran negara. 

Kecuali, ada pihak yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu hakim mengabulkan. Otomatis, UU Sapu Jagat yang terdiri dari 1.028 halaman itu akan batal.

Bang Mun: Persoalannya, ada nggak pihak yang mau menggugat UU itu ke MK?

Kang Omen: Pasti ada. Sejak awal mencuat, RUU Omnibus Law banyak ditentang oleh rakyat. Apalagi sudah disahkan begini, pasti timbul gejolak.

Gugatan ke MK adalah harapan terakhir kaum buruh. Kalau mengadu ke pemerintah percuma saja. Apalagi ke DPR. Mereka sudah tak punya nurani. 

Pasti bergeming. Sebagaimana revisi UU KPK sebelumnya. Disaat penolakan terjadi disana- sini, mereka tetap masa bodoh.

Nyatanya, DPR tak bisa lagi diandalkan. Saat ini mereka bertindak sebagai wakil partai. Bukan lagi wakil rakyat. 

Bang Muni: Kalau begitu, buat saja “DPR Independen”. Setidaknya nanti akan ada “Fraksi Rakyat” sejati di gedung parlemen. 

Wakil yang benar- benar menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai penyeimbang fraksi dari partai A, partai B dan seterusnya.

Dengan begitu, DPR Independen bisa bebas menentukan hak suara dalam sidang paripurna. Tidak lagi terbelenggu dengan perintah partai.

Kang Omen: Bukankah sudah ada 136 Anggota DPD di parlemen? untuk apalagi dibentuk DPR Independen.

Bang Muni: Memang betul. Tapi mereka tidak punya kewenangan penuh, sebagaimana senator di negara lain yang menganut paham demokrasi.

Kang Omen: Lalu, bagaimana cara mewujudkan DPR Independen itu?

Aku: Itu gampang. Ubah saja UU tentang pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD. 

Tinggal diatur. Berapa jumlah perolehan suara minimal untuk bisa duduk di DPRD kabupaten/ kota, DPRD Provinsi hingga DPR RI. 

Itu bukan persoalan sulit. 575 anggota parlemen saat ini sangat handal dalam merumuskan aturan semacam itu. 

Hal itu sangat memungkinkan. Sebagaimana UU nomor 32 Tahun 2004 yang direvisi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Dengan adanya revisi UU tersebut, para calon kepala daerah dari jalur independen kini sudah bisa menikmati hasilnya. Mereka sudah punya alternatif lain untuk maju pilkada. Tidak melulu harus melalui jalur partai.

Kang Omen: Benar juga. Tapi ide kamu terlalu gila! mana mungkin hal itu bisa terwujud.

Ratusan anggota DPR yang duduk di kursi empuk saat ini tidak akan mau membuat regulasi yang mengancam keberadaan mereka sendiri.

Begitupun dengan partai yang mereka wakili. Mustahil akan menerima DPR Independen yang mengancam perolehan kursinya di fraksi. 

Bang Muni: Terserah. Hanya sekedar gagasan. Didengar syukur, tidak juga nggak masalah.

Tapi, biarlah diskusi kecil kita menjadi saksi. Jika suatu saat nanti DPR Independen terwujud, setidaknya sejarah sudah mencatat. Bahwa ide gila kita sudah ada, jauh sebelum regulasi itu lahir. 

Kang Omen: Ya sudah. Ayo kita pulang! Jangan terlalu serius bahas kerjaan DPR. Untuk apa kita pusing mikirinnya, mereka aja nggak pernah mikirin kita. 

Tabikpun. (**)






Editor: Harian Momentum





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos