PK Yutuber Terganjal Perma, Komisi III: MA Jangan Diskriminatif

img
Paslonkada Kota Bandarlampung, M Yusuf Kohar-Tulus Purnomo (Yutuber). Foto: ist

MOMENTUM, Bandarlampung--Langkah upaya hukum lanjutan yang hendak diajukan pasangan calon kepala daerah (paslonkada) Kota Bandarlampung M Yusuf Kohar - Tulus Purnomo (Yutuber) terganjal Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung (MA) atau Perma Nomor 11 Tahun 2016.

Perma tersebut menyatakan bahwa putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK). 

Yutuber adalah paslonkada yang merasa dirugikan atas putusan MA yang menganulir keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandarlampung dalam surat nomor 007/HK.03.01-Kpt/1871/KPU-Kota/1/2021 tentang pembatalan pasangan calon peserta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bandarlampung, Eva Dwiana-Deddy Amarullah, setelah paslonkada nomor urut 03 tersebut melakukan kasasi ke MA. 

Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, Perma tersebut terkesan diskriminatif. 

"Kalau dibilang sudah final dan mengikat, lalu tak boleh mengajukan PK? Putusan sidang Bawaslu juga final dan mengingat. Tapi yang merasa keberatankan masih diberi ruang hukum ke MA," kata Pangeran, dilansir dari journaltime.co, Rabu (10-2-2021).

Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional itu menyebut bahwa hakim MA itu juga manusia biasa.

"Bisa saja melakukan kesalahan dan kehilafan sehingga menimbulkan kerugian. Kalau ada yang merasa dirugikan lalu mengadu kemana?" tambahnya.

Ia pun berpendapat, putusan final dan mengikat itu juga harus diberi ruang upaya hukum luar biasa dengan nama PK. "Kalau belum final dan mengikat bernama Banding dan Kasasi," lanjut Pangeran.

Yang juga disoroti oleh Pengeran adalah kenapa hanya putusan MA mengenai sengketa pilkada saja yang dilarang PK, sementara perkara lain diperbolehkan.

"Padahal Pilkada ini dalam rangka mencari pemimpin yang akan mengatur hajat hidup orang banyak. Sekali lagi jangan ada diskriminasi," tegasnya.

Menurutnya Peraturan MA seharusnya juga tunduk kepada Undang-Undang (UU) nomor 48 tahun 2009 pasal 24 ayat 1 tentang kekuasaan kehakiman dan UU nomor 14 tahun 1985 yang diubah menjadi UU nomor 5 tahun 2004, pasal 28 ayat (1) huruf C dan pasal 34, bab IV bagian 4 dari UU ini tentang kewenangan MA memutus permohonan PK.

Terpisah, Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa Perma soal larangan PK untuk sengketa pilkada landasannya adalah Pasal 135A, UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

"Dalam UU Pilkada itukan tidak disebutkan bahwa disitu bisa mengajukan PK. Di situ hanya menyebutkan bahwa yang merasa dirugikan (oleh keputusan KPU/pembatalan calon, red) bisa mengajukan keberatan setelah ditetapkan. Kemudian MA memutuskan," kata Andi saat dikonfirmasi harianmomentum.com melalui sambungan telepon, Rabu (10-2-2021).

Andi juga turut menanggapi pernyataan Pangeran Khairul yang menyebut bahwa putusan MA diskriminatif.

"Ya itu silahkan saja, hak dia berkomentar. Tapi yang jelas dalam UU tersebut (UU pilkada, red) tidak mengatur adanya PK dari putusan MA," ucapnya.(**)

Laporan/Editor: Agung Chandra W






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos