Mitra Binaan PTPN VII, Pejahit Dewi Pilih Tenteram Asal Tak Rugi

img
Aktivitas penjahit Dewi Indahsari sebagai mitra binaan PTPN VII.

MOMENTUM, Gedongtataan--Rumah mungil sederhana di sisi kanan jalan menanjak menuju Gugusan Gunung Pesawaran, Desa Bogorejo, Gedongtataan itu terlihat asri. Meski dibangun hanya dua meter dari jalan, pagar hidup dari tanaman acalypha (teh-tehan) yang dipangkas rapi memberi kesan sejuk. Demikian juga, walaupun berdinding batu bata tanpa plester, tetapi pengecatan yang rata membuat hunian keluarga Ridi Sumaryanto ini terlihat asri.

Di balik pot-pot bunga gantung yang tertanam berbagai jenis tanaman menjalar itu, ruang kerja Dewi Indahsari berada. Perempuan 33 tahun itu adalah penjahit pakaian rumahan yang menjadi binaan PTPN VII. Selain mendapat bimbingan konsep dasar mengembangkan usaha, ibu dua anak ini juga mendapat pinjaman dana lunak dari PTPN VII sebesar Rp10 juta.

“Memang situasinya sedang kurang ramai, mungkin karena Covid (coronavirus desease-19), ya. Jadi, dana pinjaman yang saya terima kemarin baru sebagian untuk beli bahan. Lainnya masih disimpan, nunggu ramai lagi. Mudah-mudahan nanti menjelang Lebaran ramai lagi,” kata Dewi, sapaan akrabnya.

Mengantongi ijazah kursus menjahit dari satu lembaga keterampilan di Ibu Kota Kecamatan, Dewi seperti sudah merancang masa depan sebagaimana yang dijalani saat ini. Hidup tenteram bersama suami dan anak-anak di desa sejuk kaki gunung yang lestari dengan keramah-tamahan penduduknya, tetapi mempunyai penghasilan cukup.

“Saya memang lahir di Desa ini. Sejak gadis, setelah kursus menjahit di Gedongtataan, saya langsung buka jasa jahitan. Suami saya juga lebih suka tinggal di sini. Ya, alhamdulillah menjahit ini menjadi usaha sampingan saya membantu ekonomi keluarga,” kata wanita ramah ini.

Ruangan untuk mengerjakan aneka pakaian pelanggannya hanya berukuran 3x4 meter. Ada satu unit mesin jahit warna hitam dan satu unit mesin obras berada di ruangan itu. Beberapa setelan baju aneka model dan corak tercantel di gantungan baju di samping lemari gantung. Juga tumpukan kain bahan yang terlipat-lipat di rak-rak.

Ketika bekerja, suara mesin jahit atau mesin obras mendominasi ruang dengar. Sebab, jalan di depan rumahnya, meskipun aspal mulus, tidak terlalu banyak lalu lalang kendaraan lewat. Kicau aneka burung yang ditangkarkan oleh Ridi, suaminya, justru meneguhkan suasana alam perdesaan yang terasa asri.

Tentang hasil karyanya, Dewi mengaku belum punya pengalaman terlalu tinggi semisal menjahitkan baju artis. Ia mengaku pelanggannya belum sampai jauh dan baru seputar warga desa-desa tetangga. Namun, beberapa tetangganya pernah mengajak saudaranya yang tinggal di Bandarlampung ikut menjahitkan pakaian pesta kepada dia.

“Ya, namanya penjahit desa, Pak. Pelanggannya rata-rata yang tetangga atau dari tetangga desa. Kebanyakan juga pakaian-pakaian biasa seperti terusan gamis, begitu. Pesanan pakaian pesta juga ada beberapa, karena musim covid begini. Kalau sebelum Covid, ya Alhamdulillah banyak juga,” kata Dewi.

Berbagai jenis dan model pakaian wanita pernah ia buat untuk melayani pelanggan. Termasuk pakaian seorang penyanyi atau biduan dangdut di kampungnya, pernah dia buatkan.

“Hah...baju artis? Belum pernah, lah Pak. Namanya juga penjahit desa. Tapi kalau artis dangdut kampung, sudah pernah. Dia masih sering minta jahitkan di sini. Tapi, ya namanya juga artis desa...hehehe,” kata dia saat ditanya tentang reputasi karya desainnya.

Sesuai reputasi, lokasi, dan pelanggannya, Dewi mengaku upah untuk setiap jahitannya juga menyesuaikan. Ia mengaku untuk jenis baju gamis biasa, misalnya, ongkos jahitnya antara Rp80—120 ribu per potong. Harga itu bisa naik bertahap sesuai dengan kerumitan model dan aksesorisnya.

“Penjahit desa itu nggak seperti di kota, Pak. Harga di sini bisa berubah-ubah dengan banyak pertimbangan. Kalau sama saudara, tetangga dekat, tetangga jauh, orang lain, bisa beda. Juga modelnya, bahannya, dan aksesorisnya. Misalnya pakai puring, pakai bordir, bordirnya banyak atau sedikit, dan lainnya. Kalau sama tetangga, yang penting nggak rugi, saja. Soalnya, tetangga itu kan saudara terdekat kita.”

Apakah ingin pindah ke kota untuk menjemput peruntungan yang lebih baik? 

Mendapat pertanyaan ini, Dewi menggelang. Ia mensyukuri apa yang telah didapat dari jalan rezeki ini. Lebih dari itu, ia menyebut suaminya sepertinya tak bakat tinggal di kota. Sebab, lelaki yang sudah menghadirkan dua buah hati itu sudah amat sibuk dengan aneka piaraannya.

“Suami saya itu apa saja dipelihara. Di belakang itu ada penangkaran burung love bird, burung parkit, dulu ada burung murai, tetapi sekarang tinggal love bird dan parkit. Kalau yang ingonan (piaraan bukan ditangkar) macam-macam. Ada perkutut, kutilang, dan nggak tahu lagi apa. Ada ayam, kelinci, bebek, mentok, dan apalagi.”

Cerita tentang kegigihan suaminya belum selesai. Ridi yang punya aktivitas harian sebagai guru, juga punya beberapa petak kolam untuk memelihara berbagai ikan. Belum selesai, ia juga rutin jualan gas dengan stok puluhan tabung ukuran tiga kilo gram. Seperti yang tertempel dengan sablon di tembok rumah berjudul “Aisy & Sela Cels”, ia berpromosi jual pulsa, token listrik, foto copy, dan scan berwarna.

Ridi mengaku hobi dengan anek hewan piaraan. Selain senang, memelihara ternak itu, kata dia, adalah tabungan yang mirip dengan ATM pada suatu bank. Yakni, kapan membutuhkan uang untuk berbagai keperluan harian, ternak-ternak itu bisa dijual ke pasar.

“Saya memang hobi memelihara ternak, karena bisa dapat uang cepet kalau pas perlu. Misalnya, kalau kita butuh uang Rp100 ribu, cukup jual dua ekor burung. Kalau butuh lebih, ya bisa bawa ayam atau kelinci ke pasar. Memang cukup rumit, tetapi saya senang,” ujarnya. (**)

Editor: Nurjanah/rilis






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos