MOMENTUM, Lampung--Di balik hamparan hijau tanaman tebu yang tumbuh subur di tanah Lampung, mengalir kisah yang sering luput dari sorotan headline nasional.
Bagi sebagian orang, kebun tebu dan pabrik gula hanyalah simbol industri, mesin produksi, dan keuntungan. Tapi bagi sebagian lainnya terutama Masyarakat akar rumput Lampung, ia adalah napas hidup, sumber penghidupan, dan kadang satu-satunya jaring pengaman sosial sejak hampir tiga puluh tahun lamanya.
Perspektif ini diangkat oleh Hendra Mukri, Ketua Organisasi (CEO) Perguruan Paku Banten Indonesia. Sebagai penerus ajaran Abah Mukri, tokoh kharismatik yang dikenal sebagai Guru Besar di kalangan masyarakat adat dan spiritualis Lampung, Hendra berbicara bukan dari ruang rapat atau meja birokrat, melainkan dari lapangan-lapangan tempat rakyat menggantungkan harapan dan kehidupannya.
"Kami ini bukan bicara korporasi besar atau kecil, tapi soal apa yang mereka berikan untuk manusia di sekitarnya. Dan Sgc, sejak lama sudah menunjukkan bagian daripada itu," ujar Hendra ketika ditemui usai menghadiri pengajian rutin masyarakat pekerja di Kecamatan Seputih Banyak.
Kepedulian yang Terlihat: Dari Dapur Buruh hingga Ruang Kelas Anak
Sebagian besar anggota keluarga Ormas Paku Banten adalah masyarakat adat dan petani informal yang hidup berdampingan dan menyatu dengan kawasan produksi Sgc. Hendra menjelaskan bagaimana SGC hadir tidak hanya sebagai pemberi kerja, tetapi juga sebagai pengasuh sosial di dalam berbagai krisis nasional dalam lingkungan produksi sehingga lingkungan tersebut tetap dapat terjaga bagi perekonomian rakyat setempat.
"Kalau urusan jalur bidang pabrik itu hanya dilihat manisnya saja, saya tantang mereka jelajah ke dapur-dapur buruh itu. Di situ bisa dilihat anak-anak buruh bisa sekolah gratis sampai tingkat SMK dan D3. Lihat juga klinik kesehatan yang aktif 24 jam di lingkungan perusahaan untuk merawat tenaga medis masyarakat setempat."
Ratusan siswa, SMP hingga pendidikan tinggi sekolah khusus SGC mulai dari Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMK hingga Sekolah Politeknik D3 sudah ada di sediakan opsi berkualitas nasional yang bisa diakses oleh anak-anak karyawan dan masyarakat Lampung seperti anak petani, anak buruh dan anak nelayan yang kurang mampu secara gratis.
"Kami tahu, anak-anak buruh dulu jarang bisa lanjut sekolah. Tapi sekarang, banyak yang lulus Sarjana atau D3 dan bisa kerja di tempat sangat layak. Bahkan ada yang lanjut ke berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia dan kembali bekerja ke pabrik dan Perkebunan. Itu bukan sulap, itu hasil dari kepedulian Perusahaan yang konsisten selama puluhan tahun lamanya."
Warisan Sosial Abah Mukri: Keadilan yang Membumi
Bagi Hendra Mukri, apa yang dilakukan oleh Sgc sejalan dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh sang guru, Abah Mukri: bahwa pembangunan sejati bukan hanya membangun gedung dan mesin, tapi menanam pembangunan kehidupan rakyat pedesaan dalam hati manusia dan relasi sosial.
Itulah sebabnya, Ormas Paku Banten menilai bahwa dalam polemik atau isu lahan yang dibuat-buat oleh segelintir oknum yang mau merusak kehidupan puluhan ribu masyarakat Sgc, maka publik tidak boleh terjebak pada framing negatif tersebut.
Ada aspek lain yang justru perlu dilindungi: ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya, dan anak-anak yang sedang bertumbuh bersama harapan.
"Kami bukan membela korporasi, tapi kami membela kehidupan rakyat dengan realitas. Kalau SGC diganggu dengan isu-isu framing, siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan puluhan ribu Masyarakat SGC itu? Yang penting bagi kami adalah : 'ada keadilan dan kepastian hukum, jangan sampai yang katanya berjuang dengan framing-framing malah ternyata sebaliknya, merusak keadilan, dan kehidupan rakyat Lampung setempat dan juga bisa merusak kepastian hukum negara'."
Membaca Ulang Peran Korporasi dalam Kehidupan Masyarakat
Melalui kacamata Paku Banten, SGC bukan hanya korporasi gula. Ia adalah pertanian dan perindustrian yang sudah membentuk kemandirian pangan nasional dan menyangkut nasib puluhan ribu keluarga dan rakyat Lampung, bekerja membangun, membantu, dan terus berupaya menyeimbangkan kemajuan industri dan nilai kemanusiaan.
Suara Rakyat Bukan Sekadar Riuh
Dalam dunia yang kadang terlalu cepat menilai dari headline dan cuitan suara seperti yang diangkat oleh Ormas Paku Banten patut dipertimbangkan. Sebab mereka berbicara dari ruang-ruang paling dasar: dapur rakyat, sekolah rakyat, dan hati rakyat masyarakat pedesaan.
"Kalau gula itu manis, ya biarlah ia manis tidak hanya di mulut, tapi juga di hati masyarakat. Itu baru namanya nasionalisme yang membangun bangsa bukan merusak diri sendiri, jangan membuat Indonesia tergantung pangan impor dan melemahkan kemandirian pangan serta lapangan kerja nasional" tutup Hendra Mukri, dengan senyum tenang warisan Abah-nya.(**)
Editor: Harian Momentum