MOMENTUM, Bandarlampung--Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Bandarlampung layak jadi bahan studi semua pihak dalam menetapkan regulasi.
Sehingga, ke depannya ada kepastian hukum yang mengikat (tidak simpang siur) selama proses pilkada berlangsung.
Hal itu diungkapkan Pengamat Hukum dari Universitas Lampung (Unila), Budiono kepada harianmomentum.com, Senin (15-2-2021).
Komentar Budiono menanggapi diregistrasinya pengajuan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Yusuf Kohar ke Mahkamah Agung (MA), kemarin.
“Sebenarnya sah-sah saja Yusuf Kohar mengajukan PK. Meskipun dia tidak menjadi pihak terkait pada sidang sebelumnya,” jelas Budiono.
“Dulu jaksa tidak boleh PK, yang boleh ahli waris atau korban. Tapi dalam kenyataanya jaksa bisa PK. Ini contoh kasus,” ungkap Budiono.
Menurut dia, di Indonesia banyak yang tidak pasti, tidak jelas, dan tidak tegas. “Maka apa yang tidak bisa dan tidak boleh?” sambungnya.
Pernyataan Budiono tersebut turut menjawab soal adanya Pasal 24 Peraturan MA atau Perma Nomor 11 Tahun 2016 yang berbunyi: putusan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan PK.
Nyatanya, MA justru melanggar sendiri ketentuan yang telah dibuatnya.
Lebih lanjut soal diterima atau tidaknya PK Yusuf Kohar pada keputusan nantinya, menurut Budiono, itu kembali pada argumentasi MA.
“Tapi kenapa dia bisa dan tidak bisa, semuanya harus punya argumentasi hukum yang jelas. Begitupun pada keputusan akhirnya, harus juga jelas: kenapa harus menerima dan kenapa menolak,” harapnya.
Dengan demikian, apapun keputusan MA nantinya tidak membuat publik berprasangka buruk. “Putusan MA harus bisa memberi pencerdasan pada publik,” ujarnya.
Dia berharap, tidak terulang persoalan yang kini sedang bergulir. Ada pihak yang merasa dirugikan atas putusan MA. Itu imbas dari tidak jelasnya argumentasi hukum yang disampaikan MA dalam mengambil keputusannya.
“Sekarang ada yang merasa haknya dirugikan. Makanya menempuh PK,” ucapnya.
Budiono belum bisa menganalisis lebih jauh soal sengketa yang kini kembali bergulir di MA.
“Saya melihatnya inikan baru pendaftaran dan baru teregister. Nantinya MA melihat secara formal dan meteril, memenuhi syarat atau tidak untuk dipersidangkan,” jelasnya.
Dalam proses ini, sambung dia, hakim akan menilai seacara formal dan materil. “Biasanyakan ada putusan sela. Setelah itu baru kita bisa menganalisis kenapa MA menerima dan atau menolak permohonan PK ini,” terangnya.
Lebih lanjut Budiono menyebut ada dua kemungkinan kosekuensi hukum yang akan timbul dari proses PK tersebut.
Pertama, jika MA memutuskan menerima serta mengabulkan permohonan PK Yusuf Kohar, yang berarti kembali di diskualifikasinya Eva Dwiana-Deddy sebagai pasangan calon kepala daerah (paslonkada) peraih suara terbanyak.
“Maka MA harus berani mengambil sikap tegasnya, apakah menetapkan paslonkada peraih suara terbanyak kedua, atau pemungutan suara ulang (PSU),” sebutnya.
Untuk itu, dalam amar putusannya nanti MA harus jelas. Sehingga tidak terjadi ketidakpastian hukum. “Karena ini akan menjadi pedoman untuk pilkada selanjutnya,” ujarnya.
Namun putusan memenangkan Yusuf Kohar harus disampaikan sebelum dilantiknya walikota-wakil walikota terpilih berdasarkan SK Kemendagri.
“Kalau sudah dilantik itu yang jadi persoalan, bagaimana eksekusinya? Maka saya harapkan ketika MA menerima PK harus bisa dieksekusi putusannya,” paparnya.
Kedua, jika pada akhirnya MA menolak PK Yusuf Kohar, berarti Eva-Deddy yang akan dilantik sebagai walikota dan wakil walikota terpilih periode mendatang. “Kalau menolak kan sudah selesai,” ujarnya.(**)
Laporan: Agung Chandra Widi
Editor: Andi Panjaitan
Editor: Harian Momentum