Oleh: Muhammad Habibi
Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2021-2023
MOMENTUM--Kontroversi merupakan suatu hal biasa yang dilakukan para pelaku industri seni hiburan guna menaikan popularitas. Popularitas, baik bernada positif maupun sebaliknya digunakan untuk menunjang eksistensi diri agar tidak redup dalam buah bibir publik.
Pun halnya yang dilakukan Nadiem Anwar Makarim akhir-akhir ini, ibarat artis, dirinya tidak henti-henti menjadi buah bibir publik. Salah satunya dengan pengesahan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguran Tinggi yang menimbulkan pro dan kontra dikalangan akademisi dan masyarakat.
Hal tersebut dipicu dengan adanya frasa “atas persetujuan korban” dalam ketentuan pengaturan mengenai definisi kekerasan seksual. Dengan adanya frasa tersebut pula, berbagai pihak dalam laman publik menganggap “Mas Menteri” berupaya melegalkan perilaku seks bebas dilingkungan perguruan tinggi.
Dalam melihat serta menganalisa persoalan tersebut, perlu adanya kejernihan pikiran dan emosional agar kita benar-benar dapat menilai persoalan ini secara objektif. Lantas, benarkah frasa tersebut dapat dikatakan upaya menteri membentuk kebijakan inisiatif dalam bentuk Peraturan Menteri guna melegalkan perzinahan?
Disharmonisasi Peraturan Menteri PPKS dan Undang-Undang Pornografi
Menilai suatu produk hukum yang dibentuk oleh pemerintah bersama legislatif perlu diperhatikan aspek daripada politik hukum pembentukannya.
Dalam ketentuan hierarki atau tingkatan dari jenis peraturan, ditegaskan jika peraturan dengan tingkatan lebih rendah berlandasakan, bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan yang lebih tinggi.
Selain itu, ketentuan materi muatan dalam suatu peraturan dengan tingkat tingkatan lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Bahkan, ketentuan peraturan yang lebih rendah tingkatannya apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi harus dianggap tidak memliki kekuatan hukum dan tidak mengikat (Bagir Manan/2003).
Teori hierarki peraturan perundang-undangan yang dicetuskan oleh Hans Nawiasky tentang “Theorie vom Stufenaufbau Rechtsordnung” dijadikan sebagai teori pedoman bagi Bagir Manan dalam berpendapat demikian.
Maka, dalam konteks materi muatan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g dan h Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristekdikti PPKS) bertetangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam ketentuan yang penulis maksudkan, diaturnya frasa “atas persetujuan korban” bertentangan dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pornografi yang mengatur secara tegas “setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”.
Artinya, jika merujuk pada pendapat Bagir Manan, ketentuan Permendikbudristekdikti PPKS ini harus dimaknai tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat.
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri tersebut membentuk norma baru yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang secara formal. Jika secara materil, pengaturan Pasal 5 ayat (2) yang terdapat frasa “atas persetujuan korban” bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Pornografi.
Dalam Peraturan Menteri tersebut, yang dikategorikan kejahatan seksual jika tindakan berbentuk seksualitas dipublikasikan tanpa persetujuan korban, artinya jika pelaku dan korban saling menyepakati untuk mempublikasikannya maka itu bukan dikategorikan sebagai kejahatan seksual.
Berbeda dengan Undang-Undang Pornografi yang mengatur setiap publikasi seksual secara digital, baik “disetujui maupun tidak disetujui” oleh korban tidak boleh dilakukan. Sebab, jika hal tersebut dilakukan maka dikategorikan sebagai tindakan pornografi.
Artinya, jika merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri tersebut yang terdapat frasa “atas persetujuan korban”, mempublikasikan tindakan seksual secara digital diperbolehkan selagi dengan persetujuan. Maka secara tidak langsung, dalam Peraturan Menteri tersebut kegiatan seksualitas diluar pernikahan yang sah dibolehkan.
Menurut penulis, baik disetujui maupun tidak disetujui oleh korban, mempublikasikan gambar, video dan lain-lain berbentuk seksual merupakan tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang Pornografi. Bahkan, secara ketentuan agama dan budaya manapun di Indonesia, perbuatan/tindakan seksual diluar pernihakan yang sah tentunya tidak boleh dilakukan.
Maka jika melihat pendapat berbagai akademisi dan masyarakat yang mengatakan jika Mendikbudristekdikti secara “formal” melegalkan adanya hubungan seksual diluar pernikahan selagi atas persetujuan bersama para pihak yang melakukannya, itu adalah pendapat yang tepat.
Sanksi bagi Perguruan Tinggi, Perlukah Menurunkan Akreditasi?
Materi muatan Permendikbudristekdikti PPKS tidak hanya mengatur persoalan norma baru, melainkan juga mengatur sanksi tegas kepada Perguruan Tinggi yang tidak sejalan dengan peraturan yang dibentuk Menteri.
Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan sanksi administratif kepada Perguruan Tinggi yang tidak melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dihentikan bantuan keuangan dan sarana serta penurunan tingkat akreditasi.
Lalu bagaimanakah dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dimana Pimpinan Pusat Muhammadiyah sendiri sampai dengan saat ini belum menyetujui bahkan masih merekomendasikan dilakukannya revisi atau pembatalan Permendikbudristekdikti PPKS tersebut.
Katakanlah jika Permendikbudristekdikti PPKS ini terus berjalan tanpa ada perubahan materi muatan ataupun pembatalan pelaksanaannya dengan tidak disetujuinya Peraturan Menteri tersebut oleh PP Muhammadiyah, apakah Perguruan Tinggi Muhammadiyah akan dikenakan sanksi penurunan akreditasi yang dimilikinya?
Menurut hemat penulis hal tersebut bukan suatu kebijakan yang tepat dalam mengatur pengenaan sanksi bagi perguruan tinggi. Sebab, mengukur indikator akreditasi perguruan tinggi bukan dilihat dari hanya kepatuhan perguruan tinggi pada kebijakan atau peraturan yang dibentuk Mendikburistekdikti saja.
Terdapat banyak sekali indikator dalam penilaian akreditasi perguruan tinggi seperti yang ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Indikator tersebut diantaranya bagaimanakah mutu kepemimpinan dan kinerja tata kelola, bagaimanakah mutu produktivitas luaran dan capaian perguruan tinggi, bagaimanakah mutu proses serta bagaimanakah mutu input yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Maka, dapat dikatankan layakkah pengenaan sanksi administratif berupa penurunan akreditasi perguruan tinggi yang ditetapkan BAN-PT seluruh indikatornya telah dicapai oleh perguruan tinggi Muhammadiyah.
Hanya karena Muhammadiyah tidak menyetujui dan melaksanakan Permendikbudristek PPKS yang masih memiliki ketidakpastian hukum tersebut, maka Menteri dengan mudah menjatuhi sanksi administrasi penurunan akreditasi.
Penulis rasa hal tersebut perlu dikaji ulang oleh “Mas Menteri”, jangan sampai karena potensi ketidaktoran aturan kontroversial yang dibuat ini menjadikan seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah dapat dirugikan akibat penuruan akreditasi karena alasan yang kurang tepat.
Peran Menteri untuk Berdialog Menyusun Kebijakan dan Peraturan
Menteri selaku pembantu Presiden memiliki tugas dan kewajiban dalam membantu melaksanakan tugas pemerintah secara konstitusional perlu memiliki peran interaktif kepada masyarakat sebelum membentuk kebijakan dan peraturan menteri yang akan dibentuknya.
Maka ada baiknya kedepan, selain Permendikbudristekdikti PPKS tersebut dirubah materi muatannya dengan menghilangkan frasa “atas tanpa persetujuan” ataupun dilakukannya Executive Review pemberlakuan Peraturan Menteri tersebut, ada baiknya Menteri perlu mengadakan dialog terlebih dahulu sebelum memberlakukan suatu kebijakan. Terlebih kepada perwakilan Mahasiswa Muhammadiyah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM).
Mengapa pentingnya Mendikbudristekdikti perlu mengajak perwakilan mahasiswa berdiskusi ilmiah dalam kebijakan serta peraturan yang dibentuknya, khususnya dalam persoalan pro dan kontra Permendikbudristekdikti PPKS ini.
Sebab, DPP IMM secara nasional mewakili kepentingan seluruh mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Indonesia.
Mahasiswa pula merupakan salah satu subjek atau pihak dalam civitas akademika, selain dosen dan tenaga kependidikan. Dalam kasus kekerasan seksual, subjek yang berpotensi menjadi korban adalah mahasiswa, maka baiknya untuk dapat menyelesaikan problematika pro dan kontra Permendikbudristekdikti PPKS ini, baik secara disharmonisasi peraturan perundang-undangan serta pengaturan sanksi yang tidak tepat. Mas Menteri dapat memiliki kerendahan diri untuk mengundang DPP IMM dan organisasi kemahasiswaan lainnya di Indonesia berdialog serta berdiskusi ilmiah bersama untuk menyelesaikan persoalan ini.
Karena kedepan DPP IMM berharap, jangan sampai Mas Menteri Nadiem terus mengulang-ulang kebijakan kontroversial yang didasari inisiatif tanpa ada proses dialog terlebih dahulu kepada masyarakat, terkhusus kepada mahasiswa. (*)
Oleh: Muhammad Habibi
Koordinator Riset Lembaga Kajian dan Pendidikan Pelayanan Publik (LKP3) Lampung.
Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2021-2023.
Editor: Harian Momentum