Harianmomentum--Kebutuhan warga negara
untuk menyampaikan pendapat di muka umum telah diakomodasi oleh negara melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Unjuk rasa sebagai cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum harus
dilakukan dengan ketaatan terhadap UU No 9 Tahun 1998. Jika unjuk rasa
melanggar Undang-Undang tersebut maka kegiatan tersebut termasuk kategori
inkonstitusional yang bisa ditindak dengan tegas oleh penegak hukum.
Sebagai suatu hak warga negara, menyampaikan pendapat di muka umum dengan
wujud unjuk rasa adalah sah. Namun sering kali unjuk rasa tersebut hanya
menimbang sisi sebagai hak warga negara, sisi lain yaitu kewajiban untuk
mentaati Undang-Undang yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum kadang justru dilanggar.
Dalam menyampaikan pendapat di muka umum, sesuai dengan pasal 6 UU No 9
Tahun 1998, warga negara wajib untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang
lain. Pasal ini juga mengatur kewajiban untuk menaati hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peserta unjuk rasa juga wajib untuk menjaga dan menghormati keamanan
dan ketertiban umum.
Paling penting dalam pasal 6 UU No 9 tahun 1998, terutama dihadapkan dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah kewajiban warga negara yang
menyampaikan pendapat di muka umum untuk menjaga keutuhan persatuan dan
kesatuan bangsa. Hal ini harus dijaga dan disadari oleh seluruh warga negara
Indonesia.
Sesuai pasal 9 UU No 9 Tahun 1998 disebutkan bahwa unjuk rasa dapat
dilaksanakan di tempat terbuka untuk umum, kecuali; di lingkungan Istana
Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan laut,
bandara, stasiun KA, terminal, dan obyek-obyek vital nasional, serta pada hari
besar nasional.
Perlu ditegaskan bahwa Istana Kepresidenan dan tempat ibadah adalah tempat
terlarang untuk unjuk rasa, apalagi sebagai sasaran unjuk rasa.
Selain hal tersebut di atas, pada pasal 9 UU No 9 Tahun 1998 juga mengatur
bahwa peserta penyampaian pendapat dilarang membawa benda-benda yang dapat
membahayakan keselamatan umum.
Kewajiban untuk memberitahukan rencana unjuk rasa secara tertulis kepada
Polri selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai juga diatur sebagai
kewajiban warga negara sesuai pasal 9 UU No 9 Tahun 1998.
Aturan tentang tempat unjuk rasa dan kewajiban untuk lapor 3x24 jam sebelum
kegiatan dimulai harus ditaati oleh warga negara yang melakukan unjuk rasa.
Apapun nama, motif, dan tujuan unjuk rasa, aturan main harus dijalankan.
Aparat penegak hukum tidak perlu khawatir untuk bertindak tegas dalam
menegakkan aturan tersebut.
Ketegasan aparat terutama dalam tindakan untuk membubarkan unjuk rasa
dijamin oleh pasal 15 UU No 9 Tahun 1998.
Pasal tersebut dapat diartikan bahwa unjuk rasa dapat dibubarkan jika
melanggar aturan tentang lokasi, larangan membawa benda yang membahayakan
keselamatan umum, dan tidak melakukan pemberitahuan tertulis kepada Polri.
Selain dapat dibubarkan oleh Polri, peserta unjuk rasa yang melanggar hukum
dapat dikenakan sanksi hukum (pasal 16).
Tujuan orang atau kelompok menyampaikan pendapat di muka umum adalah agar
pendapatnya diketahui secara luas dan aspirasinya dapat disalurkan,
didengarkan, dan dilaksanakan.
Namun tidak jarang ada pihak yang menyampaikan pendapat di muka umum dengan
cara-cara tertentu untuk memaksakan keinginannya.
Pihak-pihak ini melakukan cara-cara yang menunjukkan kekuatannya sebagai
senjata agar keinginannya dipenuhi.
Unjuk rasa kemungkinan juga dilakukan karena pihak pelaku unjuk rasa
tersebut tidak bisa atau tidak mau menggunakan cara formal seperti lewat
gugatan hukum atau peradilan.
Kemungkinan lain adalah pihak ini memang tidak mungkin melalui cara gugatan
hukum atau peradilan karena sadar bahwa hal tersebut tidak didukung atau
bertentangan dengan undang-undang. Akhirnya cara unjuk rasa dengan mengerahkan
kekuatan massa dilakukan.
Demokrasi di Indonesia sudah mempunyai mekanisme bagi warga negara untuk
menyampaikan pendapatnya terutama melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh
masyarakat untuk menjadi legislator.
Wakil-wakil rakyat inilah yang seharusnya bisa menggali dan menampung suara
aspirasi masyarakat yang memilihnya, kemudian aspirasi tersebut dikaji untuk
diwujudkan dan dilaksanakan melalui kewenangannya dalam badan legislatif.
Dengan banyaknya unjuk rasa di Indonesia tentu akan memunculkan pertanyaan
apakah legislator sebagai wakil yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut
belum bisa maksimal menjadi saluran aspirasi pemilihnya?
Tentu negara ini akan lebih indah jika pendapat dan aspirasi masyarakat
bisa ditampung dan dikaji dalam suatu lembaga legislatig yang terhormat
sehingga dapat diaplikasikan sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Jika legislator, yang seharusnya menjadi wakil rakyat untuk menyampaikan
pendapat dan aspirasinya, kurang maksimal maka menjadi suatu kewajaran jika
kegiatan menyampaikan pendapat terjadi di jalanan.
Menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak warga negara yang dijamin
oleh Undang-Undang, dengan syarat kewajiban untuk mentaati Undang-Undang
tersebut dilaksanakan.
Keinginan dan kepentingan pihak tertentu wajar saja disampaikan melalui
pendapat di muka umum, namun jangan sampai keinginan dan kepentingan pihak
tertentu tersebut justru mengalahkan kepentigan masyarakat atau negara yang
lebih luas.
Banyaknya massa yang menyampaikan pendapat belum tentu menggambarkan bahwa
kepentingannya bermanfaat untuk masyarakat luas apalagi untuk negara.
Berlindung dibalik banyaknya massa dan dengan situasi yang seolah sulit
dikendalikan, bukan menjadi pembenaran untuk melanggar Undang-Undang.
Demokrasi di negara Indonesia harus dipertahankan agar tidak mengarah
kepada suatu kegiatan yang inkonstitusional. Salah satu cara untuk tetap
mempertahankan negara yang menjunjung tinggi demokrasi adalah dengan mentaati
dan menegakkan Undang-Undang yang berlaku. (**)
Editor: Harian Momentum