Harianmomentum--Organisasi
kemasyarakatan yang baik pasti memiliki visi menjaga NKRI, karena bagaimanapun
juga harus diakui bahwa NKRI adalah warisan ulama, habaib dan ulama terdahulu,
termasuk tokoh-tokoh agama lainnya yang berjuang di beberapa daerah seperti I
Gusti Ngurah Rai di Bali, Frans Kaisieppo di Papua Barat dll, sehingga merupakan
suatu keharusan untuk menjaga supaya kita bersatu saling menghormati.
Harus dipahami bahwa Indonesia negara
besar dan kaya ada 13 ribu pulau berbagai macam suku yang Tuhan YME titipkan di
Indonesia.
Tahun 1945 Indonesia merdeka karena
ulama dan kyai serta santri pejuang menenteng senjata demi kemerdekaan
Indonesia. Indoneaia merdeka dengan darah cucuran dan keringat, sehingga
komitmen menjaga keutuhan NKRI adalah kewajiban syari yang harus ditegakkan.
Menurut Habib Hamid Al Qodri dalam
sebuah acara istighotsah yang diselenggarakan GP Ansor di Jakarta belum lama
ini, ajaran agama Islam adalah ajaran yang membawa kedamaian, Alquran datang
untuk mententramkan untuk kebahagian bukan untuk mencari kesengsaraan,
kegaduhan jangan semestinya hadir ditengah-tengah kita, berkah ajaran
Islam yang benar maka lahirlah Negara Rebublik Indonesia, karena sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW datang bukan untuk mengacaukan di dunia ini, namun beliau
datang untuk menciptakan kedamaian.
Atas dasar ini para pendahulu kita,
alim ulama, para habaib menjaga nilai yang ditanamkam oleh Nabi Muhammad SAW.
Indonesia terdiri berbagai macam
suku, lahirlah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, sampai detik ini
adalah salah satu bentuk keberkahan dari Allah SWT. Bila mana saat
ini ada pihak memanfaatkan suhu politik yang kian memanas, ingin mengajak untuk
menumpahkah darah sesama padahal mereka orang yang bertauhid, maka dengan
alasan apapun tidak boleh dan dilarang oleh agama.
“Seharusnya saat ini waktunya
memperbaiki hubungan, hubungan sesama mahluk dan hubungan dengan pencipta yaitu
Allah SWT. Bukan mengotori, bukan memperkeruh suasan hati, bukan menimbulkan
permusuhan satu dengan yang lainnya,” ujar Hamid Al Qodri selanjutnya.
Menurutnya, sesungguhnya orang
yang menegakkan Tauhid, adalah saudara kita apapun latar belakang bangsanya,
sukunya. Nabi Muhammad SAW bersabda, para penyanyang akan disayang oleh Allah,
sesama muslim dan handaitaulan. Bangun komunikasi tidak ada permasalahan apapun
yang tidak bisa diselesailan dengan komunikasi, bukan kita mencaci-maki satu
dengan yang lainnya, namun kita musyawarahkan bila mana dianggap tidak adil
sudah ada lembaga yang mengatur.
“Kalau kita ribut, saling
menumpahkan darah dengan atas nama apapun, contoh di negeri Arab mereka saling
membunuh, yang mengajarkan seperti itu adalah setan dan hawa nafsu. Lihat di
Suriah, Irak, Libya, Mesir, Yaman dan Somalia, konflik diantara mereka mengatas
namakan agama sudah 20 tahun dan apa yang terjadi adalah kesengsaraan dan
kelaparan,” ujarnya.
Ancaman
Ideologi Asing
Kita telah sepakat menetapkan
ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa, namun dalam perkembangan terkini,
Pancasila mendapatkan ancaman dari ideologi asing yang kurang cocok apabila
diterapkan di Indonesia seperti ideologi liberal, ideologi komunis ataupun
ideologi transnasional yang mempropagandakan sistem khilafah Islamiyah.
Ideologi Pancasila: memandang
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Monodualisme ini adalah
kodrati, maka manusia tidak dapat hidup sendirian, ia selalu membutuhkan yang
lain. Menurut konsep Pancasila, yakni manusia dalam hidup saling tergantung
antar manusia, saling menerina dan memberi antar manusia dalam memasyarakat dan
menegara.
Saling tergantung dan saling memberi
merupakan pasangan pokok dan ciri khas persatuan serta menjadi inti isi dari
nilai kekeluargaan. Ideologi Pancasila, baik setiap silanya maupun paduan dari
kelima sila silanya, mengajarkan dan menerapkan sekaligus mengehendaki
persatuan.
Pancasila merupakan tatanan nilai
yang digali atau dikristalisasikan dari nilai-nilai dasar budaya bangsa
Indonesia yang sudah sejak ratusan tahun lalu tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia (Bung Karno, 1 Juni 1945). Kelima sila dalam
Pancasila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, sehingga pemahaman dan
pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, ideologi liberal
memandang bahwa sejak manusia dilahirkan bebas dan dibekali penciptanya
sejumlah hak azasi, yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak kesamaan, hak
kebahagiaan, maka nilai kebebasan itulah yang utama. Metode berfikir ideologi
ini ialah liberalistik yang berwatak individualistik.
Aliran pikiran perseorangan atau
individualistik diajarkan oleh Hoobbes, Locke, Rousseau, Spencer dan Laski.
Aliran pikiran ini mengajarkan bahwa
Negara adalah masyarakat hokum (legal society) yang disusun atas kontrak
semua orang (individu) dalam masyarakat itu (kontrak sosial).
Menurutnya kepentingan harkat dan
martabat manusia (individu) dijunjung tinggi, sehingga masyarakat merupakan
jumlah para anggotanya saja tanpa ikatan nilai tersendiri. Hak dan kebebasan
orang seorang hanya dibatasi oleh hak yang sama dimiliki orang lain bukan oleh
kepentingan masyarakat seluruhnya.
Liberalisme bertitik tolak dari hak
azasi yang melekat pada manusi sejak ia lahir dan tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun termasuk penguasa, terkecuali atas pesetujuan yang bersangkutan.
Faham liberalisme mempunyai
nilai-nilai dasar (intrinsik), yaitu kebebasan dan kepentingan pribadi yang
menuntut kebebasan individual secara mutlak yaitu kebebasan mengejar
kebahagiaan hidup di tengah-tengah kekayaan material yang melimpah dan dicapai
dengan bebas. Faham liberalisme selalu mengkaitkan aliran pikirannya dengan hak
azasi manusia menyebabkan paham tersebut memiliki daya tarik yang kuat di
kalangan masyarakat tertentu.
Sedangkan, ideologi komunis mendasarkan
diri pada premise bahwa semua materi berkembang mengikuti hukum kontradiksi,
dengan menempuh proses dialetik. Ciri konsep dialetik tentang manusia, yaitu
bahwa tidak terdapat sifat permanen pada diri manusia, namun ada keteraturan,
ialah kontradiksi terhadap lingkungan selalu menghasilkan perkembangan dialetik
dari manusia, maka sejarahpun berkembang secara dialetik pula.
Sehubungan dengan itu, metoda
befikirnya materialisme dialetik dan jika diterapkan pada sejarah dan kehidupan
sosial disebut materialisme-historik. Aliran pikiran golongan (das theory)
yang diajarkan oleh Karl Marx, Engels, dan Lenin bermula merupakan kritik Karl
Marx atas kehidupan social ekonomi masyarakat pada awal revolusi industri.
Aliran pikiran golongan (das theory) beranggapan bahwa Negara ialah susunan
golongan (kelas) untuk menindas golongan (kelas) lain.
Kelas ekonomi kuat menindas ekonomi lemah, golongan borjuis menindas
golongan proletar (kaum buruh). Oleh karena itu, Marx menganjurkan agar kaum
buruh mengadakan revolusi politik untukmerebut kekuasaan Negara dari kaum
golongan karya kapitalis dan borjuis agar kaum buruh dapat ganti berkuasa dan
mengatur Negara.
Aliran pikiran ini erat hubungannya dengan aliran material-dialektis atau
materialistik. Aliran pikiran ini sangat menonjolkan adanya kelas/revolusi dan
perebutan kekuasaan Negara. Pikiran Karl Marx tentang sosial, ekonomi, dengan
pikiran Lenin terutama dalam pengorganisasian dan operasionalisasinya menjadi
landasaan paham komunis.
Last but not least adalah ideologi
transnasional yang berupaya untuk menegakkan sistem Khilafah Islamiyah di
negara Indonesia, terutama yang intensif dilakukan HTI melalui propagandanya
ataupun kegiatan-kegiatannya seperti melalui kegiatan Masirah Panji Rasulullah
di beberapa wilayah di Indonesia.
Padahal, paham Khilafah Islamiyah
yang diusung HTI tersebut bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, sehingga
mendapat penolakan dari beberapa pihak termasuk Ormas Islam lainnya secara
massif. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul penolakan kegiatan HTI
berasal dari ormas Islam terutama NU meliputi GP Anshor dan Banser di beberapa
daerah Indonesia yang membuat kegiatan HTI di daerah-daerah tersebut
dibatalkan.
Disebut sebagai ideologi
transnasional, karena keberadaan Hizbut Tahrir juga sudah ditolak bahkan
organisasinya dibubarkan di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara,
hanya di Indonesia Hizbut Tahrir berkembang pesat dan namanya akhirnya ditambah
dengan kata Indonesia menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kelompok ini memiliki militansi yang
tinggi dan cukup tersebar di Indonesia, karena berbagai peraturan perundangan
di Indonesia yang tidak konsisten melarang eksistensi kelompok-kelompok yang
mengancam ideologi Pancasila atau dengan kata lain belum ada TAP MPR ataupun
peraturan perundang-undangan yang melindungi eksistensi Pancasila saat ini dan
dimasa mendatang. (***)
Editor: Harian Momentum