Harianmomentum-- Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Diakui atau tidak Bangsa Indonesia yang terkenal mempunyai penduduk terbanyak di
dunia memiliki keragaman yang berbeda-beda, mulai dari agama, suku, ras,
kepercayaan yang beragam.
Dengan keberagamannya,
Indonesia selalu menjadi acuan bagi berbagai pihak terutama negara-negara lain
untuk mempelajari dinamika hubungan antarumat beragama. Kerukunan antarpemeluk
beragama di Indonesia menjadi salah satu rujukan bagi para ilmuwan atau ahli.
Sayangnya dengan potensi yang ada bisa menimbulkan masalah jika tidak dikelola
dengan baik.
Tak bisa dipungkiri,
salah satu masalah terbesar terkait kemajemukan Bangsa Indonesia adalah dalam
hal kehidupan beragama. Banyak kejadian kekerasan berlatar belakang intoleransi
antarumat beragama yang terus terjadi. Padahal sejarah panjang kehidupan
beragama di Indonesia diwarnai dengan cerita-cerita betapa harmonisnya hubungan
antarumat beragama.
Kisah golongan Islam
yang mengakomodasi permintaan kalangan nasionalis yang meminta penghapusan
tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan bagian dari Piagam Jakarta,
merupakan bukti adanya toleransi antar umat beragama.
Hal yang sama juga bisa
temukan di beberapa daerah yang masih menjaga hubungan antar umat beragama
menjadi hubungan yang saling memberikan dampak positif. Harus diakui, untuk
menjaga kerukanan di Indonesia, dengan semboyannya “Bhinneka Tunggal Ika” yang
mempunyai makna meski berbeda tetapi tetap satu jua, bukanlah perkara yang
mudah.
Lingkungan sosial di
wilayah Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat terbiasa hidup dalam
perbedaan suku, agama (termasuk di dalamnya aliran-aliran keagamaan), tradisi
(keleluasaan interpretasi dan ekspresi kultural), bahkan cara berpikir (dalam
perjumpaannya dengan pemikiran-pemikiran terbaru yang datang dari “luar”).
Sekalipun ada dinamika yang gelombang politiknya kadang bisa mengancam.
Upaya Merusak Persatuan, Menebarkan Teror
Timbulnya gerakan radikalisme,
aliran “menyimpang” disebabkan kurang maksimalnya sosialisasi, pembinaan
terhadap ummat beragama sehingga rentan terhadap masuknya paham-paham baru.
Selanjutnya adalah komunikasi antar ummat beragama.
Bentuk komunikasi antar
umat beragama misalnya saling menghormati aktifitas ibadah, membentuk
forum-forum dialog antar pemimpin agama, tidak diskriminatif dan juga
menghindari joke-joke di media sosial yang berbau SARA.
Dan ternyata, selama
gelaran Pilkada serentak 2017 ataupun sesudahnya banyak sekali propaganda,
hasutan ataupun upaya merusak persatuan dengan menebarkan semangat intoleran,
mengamini sikap radikal bahkan menebarkan teror.
Fenomena tersebut
terlihat dengan gamblang alias jelas dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta yang
akhirnya menghadirkan duel “el-Clasico” yang dimenangkan oleh Anies-Sandi atas
rivalnya Ahok-Djarot. Menjelang duel tersebut, banyak bertebaran terutama di
ranah Medsos berbagai isu-isu yang menyangkut identitas keagamaan,
primordialisme, ras, dan isu lainnya.
Dominasi atas isu-isu
tersebut meskipun hanya terkait Pilgub DKI Jakarta, namun dalam perkembangannya
bisa meluas ke beberapa daerah lainnya, cukup memprihatinkan, sebab “issue
makers” sangat lihai dalam mengoyak-koyak persatuan nasional, bahkan eksesnya banyak pihak yang mempertanyakan kebhinekaan
kita sebagai bangsa, yang begitu mudah terpicu oleh persoalan-persoalan SARA.
Meski begitu, itulah
tantangan kita sebagai bangsa untuk terus memperkuat identitas kemajemukan dan
kebhinekaan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak hanya itu saja,
beberapa kelompok kepentingan juga berkelindan memanfaatkan gemuruhnya situasi
dan kondisi menyongsong Pilkada DKI Jakarta yang harus diselesaikan dalam dua
putaran tersebut sebagai ajang untuk memperkenalkan ideologinya bahkan
sistemnya yang dinilai kelompok tersebut dapat menjadi soluasi atas
permasalahan Indonesia.
Kelompok ini yaitu
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) selalu “mendompleng” apapun riak-riak demokrasi
di Indonesia dan Jakarta dengan mengusung atau mempromosikan sistem khilafah,
walaupun secara jujur kalangan HTI harus mengakui bahwa mereka tidak
mempercayai demokrasi, namun mereka memanfaatkan celah-celah demokrasi untuk
memperkenalkan sistem khilafah.
Mungkin adalah menarik
jika ada kalangan akademisi yang membuat penelitian seberapa besar tingkat
Golput komunitas HTI dalam setiap hajatan demokrasi di Indonesia.
Padahal, bila kita
membalik sejarah dunia, tidak sedikit diperoleh catatan tentang rusaknya
persatuan dan kebangsaan suatu negara yang diakibatkan oleh setiap harmonisnya
hubungan atau pergaulan antara penganut agama yang berlainan.
Dengan belajar sejarah
umat beragama di Indonesia mendapat masukan berpikir secar historis dan
menjadikan fakta sejarah itu sebagai bahan dalam memelihara dan membina
persatuan.
Memelihara rasa
kebangsaan tidak akan melemahkan ikatan atau solidaritas golongan dalam hal ini
golongan agama.
Rasa kebangsaan
menghilangkan rasa asing dan sikap permusuhan antara golongan. Dengan
terhapusnya sikap ini, memudahkan bagi umat beragama mewujudkan dan memelihara
kerukunan.
Kultur toleran antar
ummat tidak bisa datang dengan sendirinya. Toleransi dapat terwujud jika
diawali dengan langkah-langkah dialogis.
Peran dialogis tersebut
dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi egaliter intern antar umat beragama.
Kerukunan dan kedamaian
diawali dari sesama pemeluk agama, sebab dalam satu agama dipastikan muncul
pemahaman-pemahan yang berbeda.
Komunikasi yang terjalin
adalah adanya pengakuan keberbedaan dalam menjalankan syariat agama. Akan
tetapi komunikasi yang menimbulkan kesamaan makna dimana feed back nya memberikan peluang para pemeluknya hidup berdampingan
dalam menjalankan ajarannya. Seringkali problem, gesekan intern antar pemeluk
agama disebabkan perbedaan yang bersifat syari tata cara dalam beribadah,
padahal tujuannya sama.
Selain komuniasi antar
elemen bangsa yang perlu ditingkatkan, ternyata untuk meminimalisasikan ancaman
teror juga dapat ditekan melalui jalur kesenian.
Hal ini disebabkan kesenian
merupakan cita, rasa dan karsa yang dapat membangun kehidupan umat manusia.
Sementara itu terorisme
dan radikalisme bertujuan untuk merubah toleransi menjadi intoleransi yang
berujung kepada pembunuhan atau pembinasaan umat manusia.
Pelibatan komunitas seni
budaya dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme menjadi peluang yang
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu solusi, mengingat keduanya berbeda dan
bertolak belakang.
Terorisme dan
radikalisme membunuh sedangkan seni budaya menghidupkan melalui kearifan lokal
dan budaya yang memiliki nilai yang luhur dan bermanfaat untuk memajukan harkat
kemanusiaan.
Seni budaya membutuhkan
perpaduan energi dari beberapa individu untuk mewujudkan suatu karya seni
diantaranya bernyanyi disertai permainan musik, permainan seni dan sebagainya.
Terorisme dan
radikalisme juga membutuhkan energi sekelompok orang untuk melakukan aksi
teroris.
Dengan pelibatan
komunitas seni budaya dalam penanggulangan terorisme maka akan dapat
mengarahkan manusia lebih mengarahkan energinya untuk hal-hal yang baik dan
indah yang dipraktekkan melalui kegiatan seni budaya.
Seni budaya merupakan
hasil pemikiran dan perbuatan terbaik dari manusia. Seni budaya memiliki
nilai-nilai yang luhur dan menghormati serta menjunjung tinggi harkat dan
martabat umat manusia.
Oleh karenanya aspek
seni budaya merupakan alternatif yang layak dikaji dan diterapkan untuk
menjangkau oknum-oknum yang terpengaruh paham radikalisme. Ditambah kisah
seorang penjahat yang berubah sehingga meninggalkan kejahatan karena sentuhan
seni budaya.(***)
Editor: Harian Momentum