MOMENTUM, Bandarlampung--Dari segi Historis dan yuridis sudah tidak ada celah lagi untuk mengungkit - ungkit bahwa Papua merupakan wilayah yang tak terpisahkan dari NKRI yang diakui secara de facto dan de jure, namun anehnya masih ada saja segelintir orang dan kelompok yang masih ingin agar Papua lepas dari Indonesia dengan berbagai alasan.
Alasannya yaitu PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada Tahun 1969 dilaksanakan dengan penuh intimidasi dan kecurangan Perbedaan RAS dengan suku bangsa Indonesia Lainnya. Perbedaan Budaya selama bergabung dengan Indonesia tidak ada pembangunan, justru kekayaan Papua yang dikeruk untuk orang luar Papua dan lain – lain.
Selain itu eksistensi KKB di Papua yang turut mendorong / memprovokator dari pihak eksternal yakni oportunis aktifis luar negeri dan satu negara kecil di pasifik selatan yang selalu bersuara minor terhadap Pemerintah RI yaitu Vanuatu.
Namun jika dicermati alasan diatas, semuanya itu dapat terbantah dengan data yang akurat, seperti diketahui PEPERA dilaksanakan oleh PBB, dimana dalam pelaksanaannya terdapat negara peninjau dan Pemerintah Belanda, sehingga sangat kecil kemungkinan adanya kecurangan ataupun intimidasi.
PEPERA di Papua pada tanggal 19 November 1969 telah dilaksanakan dengan lancar, tertib dan aman, PEPERA ini dilaksanakan oleh PBB dan diawasi langsung oleh beberapa negara peninjau, hasilnya Rakyat Papua dan Papua Barat menyatakan akan tetap bergabung dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil PEPERA tersebut telah diserahkan ke Sekjen PBB dan kemudian disahkan melalui sidang umum PBB. Tak hanya itu Belanda yang waktu itu masih menjadi negara kolonial juga menerima hasil PEPERA tersebut. Sehingga Papua yang setelah proklamasi 17 Agustus 1945 – tahun 1969 masih dibawah kolonial Belanda, setelah PEPERA menjadi sah “sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI”.
Sekjen PBB akhirnya menuju Jayapura untuk memperjelas bahwa PBB akan menjamin kelancaran proses alih kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintah Indonesia. Sebab pedoman integrasi Papua 1 Mei 1963 maupun hasil PAPERA 1969 yang melahirkan resolusi PBB 2405.
Hasil Papera tersebut akhirnya disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi 2505 pada 19 November 1969, yang artinya Papua telah kembali ke Pangkuan Indonesia dan sudah didukung penuh oleh masyarakat Internasional PBB.
Kebijakan pemerintah RI terhadap status Papua di tinjau dari Hukum Internasional sudah final yaitu, Papua dan Papua Barat merupakan begian dari wilayah NKRI. Mengingat ketika proses berintegrasinya hukum Internasional ke dalam hukum Nasional.
Oleh karena itu hukum Internasional tersebut juga harus menghormati hukum Nasional suatu negara. Termasuk Indonesia dalam hal ini.
Pada 2017 silam, Pemerintah Inggris melalui Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik mengungkapkan, bahwa kebijakan Pemerintah Inggris jelas mendukung persatuan Indonesia dan Papua sudah mutlak menjadi bagian dari NKRI
Perbedaan ras yang menurut kelompok separatis sebagai salah satu alasan mereka mau memisahkan ras Melanesia dari pangkuan NKRI, menurut mereka beda dengan ras Melayu, jadi harus pisah dari Indonesia, Namun secara statistik ternyata lebih banyak orang Ras Melanesia yang tinggal d Papua dan sekitarnya dibanding dengan diluar Papua, selain itu Ras Melanesia terpecah dalam puluhan negara di Pasifik selatan. Sehingga tidak ada negara khusus untuk Ras Melanesia dan tidak ada negara di dunia ini yang berdasarkan RAS sebagaimana faham Facis dari Adolf Hitler dulu sebelum Perang Dunia Kedua meledak.
Tentunya kita tidak ingin ada peperangan antar anak bangsa di Indonesia, Apalagi Papua akan menjadi tuan rumah perhelatan event Pekan Olahraga Nasional (PON). Oleh karena itu kita harus meyakinkan bahwa mereka adalah saudara kita. Papua dan Papua Barat adalah sahabat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita juga harus menghindari sikap rasisme terhadap masyarakat Papua. Hal ini tentu sebagai wujud kita dalam mengamalkan nilai – nilai Pancasila yang sudah menjadi ideologi Bangsa.
Selain itu dukungan masyarakat terhadap pemerintah dalam membangun Papua tentu sangat dibutuhkan, karena upaya pembangunan tersebut merupakan salah satu hal konkrit untuk Papua agar mereka tidak merasa dianaktirikan. (**)
Oleh : Edward Krey. Penulis adalah pengamat sosial politik
Editor: Harian Momentum