KPKAD Pertanyakan OTT oleh Polda Lampung

img
Koordinator Presidium KPKAD Lampung Gindha Ansori.

MOMENTUM, Bandarlampung--Komisi Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) menyoroti operasi tangkap tangan (OTT) Polda Lampung terhadap oknum ASN di Inspektorat setempat, Mahyuzard Margapala, Kamis (10-10-2019).

Menurut Koordinator Presidium KPKAD Lampung Gindha Ansori Wayka, penerapan pasal oleh penyidik Polda terkesan diskriminatif dan diduga terdapat kejanggalan.

"Hal ini disebabkan oleh implementasi pasal yang dikenakan; Pasal 11 dan 12 huruf (e) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diduga hanya dikenakan bagi penerima saja, sementara pemberi tidak ditangkap," kata Gindha kepada harianmomentum.com, Sabtu (12-10).

Sehingga, masyarakat menilai OTT Polda Lampung berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, dalam UU Tipikor disebutkan bahwa pemberi dan penerima suap harus ditangkap dan ditahan. 

"Seharusnya pasal yang dikenakan relatif sama dan berlapis. Pada dasarnya terhadap Tindak Pidana Korupsi berupa Gratifikasi tidak menempatkan orang yang memberi sebagai "korban", karena jelas kepentingannya dua arah dimana pemberi suap ada kepentingannya yakni diduga untuk menghilangkan sifat dari hasil temuan Inspektorat," tegasnya

Dia menyebutkan jika aparat penegak hukum menempatkan kepentingan dan kedudukan pemberi suap sebagai "korban", maka rumusan peristiwa yang disimpulkan penyidik masuk dalam rumusan perbuatan pemerasan. Sebagaimana ketentuan Pasal  368 ayat (1) Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan bukan masuk pada rumusan perbuatan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (e) UU Nomor 20 Tahun 2001.

Di dalam Pasal  368 ayat (1) KUHP dijelaskan “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Gindha mengatakan idealnya Pasal yang diterapkan oleh penyidik harusnya menurut ketentuan Pasal 5 junto Pasal 12 huruf (a) dan huruf (b) UU Nomor 20 Tahun 2001, baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.

"Menurut hemat kami pemberi suap dalam hal ini oknum Dinas Perindustrian Lampung harus juga dikenakan pidana sebagai gratifikasi dan diperlakukan sama hukumnya dengan pelaku. Karena pemberi suap diduga memberikan sejumlah uang itu terkait dengan kewajibannya yang tidak sesuai dengan UU, berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Lampung," terangnya.

Dia menjelaskan pemberi suap diduga telah melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) huruf (b)  yang menjelaskan bahwa "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

"Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya," jelasnya.

Selain itu, pemberi suap diduga telah melanggar ketentuan Pasal 12 huruf (b) yang menjelaskan bahwa "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

"Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," terangnya.

Sehingga jika Penyidik enggan dalam menerapkan Pasal 5 Ayat (1) huruf (b)  dan Pasal 12 huruf (b) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, maka tidak elok dan tidak manusiawi menerapkan Pasal 11 dan 12 huruf (e)  kepada Pelaku, tetapi lebih tepatnya penyidik menerapkan Pasal 368 Ayat (1) KUHP. 

"Karena hukum ini berdiri dan hadir di dalam hati nurani dan budi pekerti manusia. Maka hukum yang diwakili oleh aparatnya sebagai hukum dalam arti petugas, harus memberikan kesempatan dalam mengimplementasikan asasnya;  asas Equality Before The Law (setiap manusia sama haknya dihadapan hukum)," tegasnya lagi. (red)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos