MOMENTUM, Bandarlampung--Front Pembela Islam (FPI) memprotes keras Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memberikan Izin acara Djakarta Warehouse Project (DWP) dan Izin penghargaan pada diskotek Colosseum, karena dinilai pro terhadap perkembangan kemaksiatan dan memberikan kesan “Maksiat Friendly”.
Munarman, Sekretaris Umum FPI, mengatakan FPI menyoroti dua kebijakan Pemprov DKI yang disebut sebagai maksiat friendly. Pertama, izin terhadap kegiatan yang di dalamnya terdapat atau memfasilitasi dan memberi peluang terjadinya berbagai maksiat namun berkedok wisata hiburan, termasuk penyelenggaraan Djakarta Warehouse Project (DWP) yang secara bertahun-tahun sudah diketahui adalah kegiatan pesta pora, hura-hura dengan musik keras yang di dalamnya terdapat anak muda dan sangat potensial dirusak dengan cara berpakaian membuka aurat, mengkonsumsi makanan dan minuman haram. Kedua, penghargaan untuk diskotek-diskotek. FPI mengatakan hal itu merupakan tempat maksiat berkedok hiburan dan tidak ada manfaat untuk mencapai tujuan pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa.
FPI mengingatkan Anies bahwa pada 2017 saat ia didukung oleh umat Islam yang menginginkan perubahan mendasar di ibu kota. Perubahan itu dari yang hanya mengejar pendapatan daerah yang tinggi, pertumbuhan ekonomi, kehidupan glamor menjadi indeks pembangunan yang lebih mengedepankan aspek kehidupan yang religius dan nyaman bagi semua agama.
Karena itu FPI mendesak Anies mengkaji ulang dua kebijakan yang ditolak FPI itu yakni pemberian izin DWP dan penghargaan diskotek. Lebih baik Anies fokus mengembangkan wisata halal, religi, budaya, sejarah yang juga potensial di Jakarta. FPI mengingatkan Anies bahwa umat Islam DKI Jakarta masih menaruh kepercayaan guna menciptakan ibu kota yang mengedepankan religiusitas. Sesuai dengan sejarah Jakarta di zaman Fatahillah dan Pitung yang melawan kemaksiatan. Karenanya, FPI menyarankan Anies agar berkonsultasi kepada ulama.
Pernyataan sikap FPI tersebut ditandatangani Ketua Umum Ahmad Sobri Lubis dan Sekretaris Umum Munarman diterbitkan oleh DPP FPI pada 15 Desember di Jakarta.
Penolakan FPI terkait pemberian penghargaan terhadap diskotek Collosseum dan perizinan event Djakarta Warehouse Project (DWP) disinyalir karena selama ini FPI tidak lagi mendapat jatah dari kegiatan hiburan malam, khususnya di wiayah DKI Jakarta, pasca hilangnya Habib Rizieq Shihab yang hijrah ke negeri Arab. Selama kepemimpinan HRS, FPI sangat disegani para pemilik klub malam atau diskotek dan tempat hiburan malam, sebab HRS sering memberi komando untuk melakukan intimidasi, merusak fasilitas milik pengusaha, yang bergerak di bidang hiburan malam. HRS selalu memberi komando untuk menindak hiburan malam mana yang memang patut disambangi dan melakukan intimidasi. Saat ini, FPI sudah kehilangan taji nya sebagai ormas yang melakukan tindakan intimidasi, dan penolakan yang dilakukan saat ini, diduga disebabkan lemahnya FPI saat ini yang tidak memiliki komando dan kehilangan arah.
Sejumlah penolakan yang terjadi terkait bisnis “Maksiat Friendly” di DKI Jakarta, Alberto Ali, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta mengatakan Diskotek Colosseum dianggap memenuhi tiga kriteria, yakni dedikasi, kinerja serta kontribusi terhadap pariwisata di Jakarta. Collosseum mengalahkan 30 diskotek lainnya di ibu kota yang ikut dalam penilaian dan evaluasi. Alberto menambahkan pemberian penghargaan terhadap diskotek bukan hal terlarang. Terlebih dalam peraturan yang ada, diskotek adalah salah satu tempat usaha pariwisata.
Pemberian penghargaan Adikarya Wisata 2019 kepada Diskotek Collosseum dan pemberian izin DWP tentu saja masuk akal, mengingat sektor wisata termasuk hiburan malam dan event besar masuk pendapatan asli daerah dari sektor pajak. Selain itu, wisatawan lokal maupun asing bisa datang ke Jakarta, sehingga Jakarta menjadi salah satu wisata unggulan. Sektor pendapatan “Maksiat Friendly” di Jakarta itu termasuk angkanya cukup besar, Sedangkan APBD DKI jakarta mengalami Defisit. Deviden perusahaan bir angker yang diterima DKI Jakarta sebesar 100 Miliar/tahun, pajak dan retribusi diskotek sebesar puluhan miliar.
Berikut klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi DKI Jakarta terbagi tiga jenis yakni pajak restoran 10%, pajak live music 25%, dan pajak tempat karaoke dan spa 35%. PAD yang besar in tidak mungkin Pemprov DKI Jakarta mengabaikan begitu saja. Pendapatan di sektor uang miras dan hiburan malam memang sangat lumrah dibelahan dunia manapun, dan normalnya memang jadi milik pemerintah. Kalau masuk ke tempat hiburan di Jakarta memang sangat tinggi nominalnya, terutama pengenaan pajak hiburannya dan harusnya Pemprov DKI Jakarta dapat menikmatinya.(**)
Oleh : Yong Weheng. Penulis adalah warga Jakarta.
Editor: Harian Momentum