MOMENTUM, Bandarlampung--Gajah dipelupuk mata tidak tampak. Sedangkan kuman di seberang lautan dapat dilihat. Sepertinya peribahasa itu cocok dengan kondisi negeri kita saat ini.
Terlalu sibuk mempelajari bahasa asing tapi lupa dengan bahasa sendiri, Indonesia.
Sehingga tak heran jika banyak penggunaan bahasa yang tidak lazim ditemui dalam kehidupan sehari – hari. Kita contohkan saja program Bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS).
Gerakan pemerintah untuk menghentikan perilaku tidak sehat, membuang kotoran manusia sembarangan itu saya pastikan tidak sukses sampai kapanpun.
Mengapa? Sejatinya program yang sedang gencar- gencarnya digerakkan itu bertujuan untuk mengingatkan dan melarang manusia berperilaku tidak sehat.
Tapi di sisi lain, penggunaan bahasa dalam program itu sendiri yang justru membuat gagal paham.
Bagaimana mau melarang manusia BAB sembarangan jika nama programnya saja BABS? Kenapa prgramnya tidak dinamai Dilarang Buang Air Besar Sembarangan (DBABS)? Tentu akan lebih mudah dimengerti.
Tulisan kalimat lainnya yang sering kita temui di kantor pemerintahan adalah “kawasan bebas asap rokok.”
Kalimat tersebut tentu ambigu. Bagi orang berpendidikan tinggi tentu tulisan itu dimaknai bahwa area itu bukan tempat merokok.
Tapi bagi saya tentu hal itu bertentangan. Saya menganggap kata “bebas” itu sebagai maksud pembiaran atau diperbolehkan. Seharusnya kalimat itu ditulis dengan lugas saja. Contoh: Dilarang Merokok!
Adanya kata awal “dilarang” tentu sudah memperjelas kepada siapapun yang membacanya bahwa tidak diperbolehkan, tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan pada kata selanjutnya.
Masih banyak lagi kalimat dari serapan bahasa asing yang kita digunakan sehari- hari yang menurut saya sangat bertentangan.
Mirisnya, justru pemerintahlah yang selalu merusak tatanan bahasa itu.
Ke depan saya sangat berharap kantor bahasa yang ada pada setiap daerah di Indonesia menjalankan fungsi dan perannya sebaik mungkin.
Sehingga bisa meluruskan penggunaan kalimat ambigu yang sering dipakai pemerintah saat ini. Sebab, jika kondisi gagal paham ini terus berlanjut sangat berpotensi merusak budaya anak negeri.
Ketika larangan saja selalu kita langgar, bagaimana dengan hal bebas? Itu saja, tabikpun. (*)
Editor: Harian Momentum